Di weekend seperti ini Restoran selalu di penuhi dengan pengunjung. Apalagi kebetulan hari ini ada yang menyewa ruangan VIP untuk acara khusus reuni. Restoran yang awalnya dibangun oleh William itu merupakan salah satu Resto yang cukup terkenal di kota Jakarta. Tak sedikit orang yang menjadi pelanggan tetap di sana dan sering menyewanya untuk berbagai macam acara.Namun seiring berjalannya waktu dan persaingan yang semakin ketat, Restoran tersebut tidak cukup mampu bertahan di era modern seperti sekarang. Banyaknya kafe-kafe yang bermunculan hingga membuat usaha ayahnya Sanaya itu perlahan meredup.Lalu, parahnya lagi Restoran yang menjadi satu-satunya sumber keuangan dan kehidupan banyak orang itu hampir mengalami kebangkrutan. William yang kebingungan dan tidak tega jika harus menutup Restoran, kemudian meminta bantuan kepada salah seorang temannya.Teman di masa kuliahnya dulu yang sekaligus sahabatnya itu, bersedia memberikan bantuan dengan meminjamkan dana yang cukup besar. Atas
Pergi dalam kondisi perut lapar dan tertekan rasanya sungguh tidak nyaman. Apalagi atmosfer yang sangat tidak mengenakan terpancar dari aura wajah lelaki bermanik hitam kelam di sisinya. Pemandangan di luar jendela sepertinya lebih menarik dan menyenangkan, daripada Sanaya harus menatap sang tunangan yang berwajah menyebalkan.ck!Saat pergi meninggalkan Restoran, Sanaya belum sempat berpamitan pada Dilan, dikarenakan pemuda itu yang tidak berada di tempatnya. Cemas sekaligus gelisah merajai pikiran Sanaya sedari tadi. Takut jika Dilan marah atau tersinggung karena dia sama sekali belum menyentuh masakannya.Rencana pergi bersama pun harus tertunda, dan bodohnya dia yang belum sempat mengatakan apapun, mengenai acara dadakan ini. Sanaya harus datang ke rumah Leo untuk melihat contoh souvernir pernikahannya. Ajakan sang calon mertua yang tidak bisa dia tolak.Leo menghentikan laju mobil saat lampu lalu lintas berubah merah. Menarik tuas rem, lalu menoleh ke arah Sanaya. "Udah tau'kan
Sesi pilih memilih souvernir pun akhirnya selesai. Sekitar pukul delapan malam mama Anne meminta Leo untuk mengantar Sanaya pulang ke apartemennya. Beliau tidak mau sang calon menantu kemalaman."Kamu bawa mobilnya jangan ngebut-ngebut, ya? Jangan sampe menantu mami yang cantik ini lecet. Awas aja!" pesan mama Anne pada anak lelaki satu-satunya itu.Leo hanya menanggapinya dengan anggukan seraya berpikir, kenapa sang mami begitu menyukai Sanaya. Padahal jika dilihat-lihat tidak ada yang spesial dari calon istrinya itu. Kalau dibilang cantik, sih, Sanaya memang cantik. Menarik dan enak dipandang. Memiliki bodi bak model kenamaan. Kulitnya juga sang bersih, putih dan terawat.Namun, apalah arti semua itu, jika dia tidak bisa mencicipi atau merasainya terlebih dulu. Berbeda dengan kekasihnya yang terpaksa harus dia sembunyikan. Leo bahkan sudah menikmati setiap jengkal tubuh sang kekasih yang sangat dia cintai itu."Nay pulang dulu, ya, Mi …." Sanaya berpamitan sekali lagi pada mami, mem
Leo memagut sebentar bibir Sanaya, beringsut mundur sambil tersenyum miring. "Malam ini kamu terbebas lagi, Sayang. Tapi lain kali gak akan," ucapnya seraya mengusap bibir bawah tunangannya itu dengan ibu jari.Seandainya, Leo tidak mendapat telepon dadakan dari sang kekasih, mungkin detik ini juga Sanaya sudah dia kerjai. Sayangnya, niat tersebut lagi-lagi harus tertunda, lantaran prioritas kekasihnya lebih penting.Sementara Sanaya tentu langsung bernapas lega, karena akhirnya bisa terbebas dari singa lapar. "A-aku turun." Dia hendak membuka pintu mobil, tetapi Leo mencegahnya."Biar aku yang buka." Leo pun turun, lalu mengitari badan mobil.Dari dalam mobil Sanaya mengerutkan kening, merasa aneh dengan sikap Leo yang tidak seperti biasa. "Dia kenapa? Tumben mau bukain pintu?" gumamnya, lalu turun dari mobil setelah Leo membukakan pintu untuknya."Besok aku jemput kaya biasanya." Leo berkata seraya memegang lengan Sanaya. Menatap calon istrinya sejenak, lalu mendaratkan ciuman lagi
"Mbak Sanaya ngapain ke sini?"deg!'Mbak? Dilan manggil aku Mbak lagi?'Terkejut dengan pertanyaan yang dilontarkan Dilan, terlebih lelaki itu memanggilnya dengan sebutan Mbak. Sanaya sampai tak bisa berkata-kata. Datarnya suara Dilan membuatnya semakin serba salah.Mereka sempat sepakat tidak akan bicara formal ketika sedang berdua saja. Namun, malam ini kesepakatan tersebut nyatanya tak berlaku lagi, lantaran Dilan yang mungkin sedang merasa kesal."Aku … aku mau jelasin—""Jelasin apa, Mbak? Gak ada yang perlu dijelasin. Semua gak ada gunanya," sela Dilan memotong ucapan Sanaya dengan raut kecewa. Dia melanjutkan menghisap rokok yang ada disela-sela jarinya, lalu membuang asal asapnya.Penjelasan? Apa penting baginya sebuah penjelasan? Bila pada kenyataannya hubungan mereka memang tak pernah berarti apa-apa bagi Sanaya.Sanaya mendekat, meskipun hatinya terasa sakit mendengar ucapan Dilan yang terdengar menusuk. Lelaki di hadapannya ini benar-benar marah hingga tak mau mendengarka
"... Selama ini aku berusaha tahan. Aku berusaha nahan perasaan aku ke Mbak Sanaya. Tapi tetep gak bisa! Kenyataannya, perasaan aku emang gak bisa diilangin gitu aja. Aku cinta sama Mbak Sanaya. Aku sayang sama Mbak Sanaya. Mbak denger! Aku suka sama Mbak Sanaya.""Dilan …?"Pernyataan Dilan jelas membuat Sanaya termangu. Ketakutannya pun akhirnya menjadi kenyataan. Dilan menyimpan rasa untuknya selama ini.Lalu Sanaya? Bagaimana dengan perasaannya sendiri?"Nay ..." Dilan mengusap pipi Sanaya, hingga membuat perempuan itu terkesiap, lalu menatapnya nanar. "Maaf, aku udah melanggar kesepakatan kita. Aku gak bisa nahan perasaan ini, Nay. Aku gak bisa."Seringnya bersama, justru seperti sebuah pupuk yang memupuk benih cinta di dalam hatinya untuk Sanaya. Dilan sudah berusaha memupus harapan dan angan untuk bisa menjalani kehidupan bersama perempuan pemilik hatinya ini.Namun, hari ini ketika dia melihat Sanaya disentuh oleh laki-laki lain, hatinya berontak, merasa tidak terima. Dilan se
Seminggu berlalu, pernikahan Sanaya dan Leo tak terasa sudah semakin dekat. Setelah memilih souvernir pernikahan, maminya Leo mengajak calon menantunya yang paling cantik berbelanja ke sebuah Mall terbesar di ibu kota. Kali ini wanita paruh baya itu ingin melihat hasil cincin pernikahan yang telah dipesan sejak dua bulan lalu.Sanaya bisa apa, selain menuruti permintaan calon mertuanya. Padahal rencananya, dia dan Dilan hendak pergi jalan-jalan setelah dari restoran. Tetapi, mami Anne tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi."Nay, abis dari toko perhiasan kita belanja yuk! Nanti kamu bisa pilih sendiri apa yang kamu mau buat seserahan," ujar Mami Anne antusias. Maniknya berbinar dan tak sabar ingin segera merayakan pesta tersebut.Keduanya lantas turun dari mobil, lalu masuk ke Mall yang cukup ramai, apabila di siang hari seperti sekarang. Mami Anne menggandeng tangan Sanaya, seolah dia tak menjaga jarak sama sekali dengan calon menantunya ini."Gimana, Nay, kamu mau, gak?" Mami Anne s
Menyudahi membicarakan Leo, mami Anne lantas beralih pada sang menantu."Gimana, Nay, suka gak?" tanya mami."Bagus, kok, Mom." Sanaya tersenyum, menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Secara sadar dia pun berandai-andai, apabila cincin tersebut dari Dilan.'Ah, mikir apa aku ini?' Sanaya menggelengkan kepala, mengenyahkan harapan yang hadir dalam benaknya."Pas?" Meriana menimpali.Sanaya menatap Meriana, kemudian menyahut, "Pas, kok,Tan."Cincin pernikahan yang dibelikan calon mertuanya ini bagi Sanaya sangatlah spesial. Tak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai bukti jika mereka sangat menghargai hubungan ini. Mami Anne lah yang paling antusias dengan pernikahan ini. Sanaya merasa sangat berdosa dan bersalah lantaran telah membohonginya."Sayang, Leo gak bisa ikutan nyoba," ucap Meriana.Mami Anne pun menyayangkan ketidak hadiran Leo. "Mungkin beberapa hari lagi dia bisa ke sini, Mer," ucapnya sambil mengambil cincin yang akan dipakai Leo. "Ini kayanya juga uda