"... Selama ini aku berusaha tahan. Aku berusaha nahan perasaan aku ke Mbak Sanaya. Tapi tetep gak bisa! Kenyataannya, perasaan aku emang gak bisa diilangin gitu aja. Aku cinta sama Mbak Sanaya. Aku sayang sama Mbak Sanaya. Mbak denger! Aku suka sama Mbak Sanaya.""Dilan …?"Pernyataan Dilan jelas membuat Sanaya termangu. Ketakutannya pun akhirnya menjadi kenyataan. Dilan menyimpan rasa untuknya selama ini.Lalu Sanaya? Bagaimana dengan perasaannya sendiri?"Nay ..." Dilan mengusap pipi Sanaya, hingga membuat perempuan itu terkesiap, lalu menatapnya nanar. "Maaf, aku udah melanggar kesepakatan kita. Aku gak bisa nahan perasaan ini, Nay. Aku gak bisa."Seringnya bersama, justru seperti sebuah pupuk yang memupuk benih cinta di dalam hatinya untuk Sanaya. Dilan sudah berusaha memupus harapan dan angan untuk bisa menjalani kehidupan bersama perempuan pemilik hatinya ini.Namun, hari ini ketika dia melihat Sanaya disentuh oleh laki-laki lain, hatinya berontak, merasa tidak terima. Dilan se
Seminggu berlalu, pernikahan Sanaya dan Leo tak terasa sudah semakin dekat. Setelah memilih souvernir pernikahan, maminya Leo mengajak calon menantunya yang paling cantik berbelanja ke sebuah Mall terbesar di ibu kota. Kali ini wanita paruh baya itu ingin melihat hasil cincin pernikahan yang telah dipesan sejak dua bulan lalu.Sanaya bisa apa, selain menuruti permintaan calon mertuanya. Padahal rencananya, dia dan Dilan hendak pergi jalan-jalan setelah dari restoran. Tetapi, mami Anne tiba-tiba datang dan mengajaknya pergi."Nay, abis dari toko perhiasan kita belanja yuk! Nanti kamu bisa pilih sendiri apa yang kamu mau buat seserahan," ujar Mami Anne antusias. Maniknya berbinar dan tak sabar ingin segera merayakan pesta tersebut.Keduanya lantas turun dari mobil, lalu masuk ke Mall yang cukup ramai, apabila di siang hari seperti sekarang. Mami Anne menggandeng tangan Sanaya, seolah dia tak menjaga jarak sama sekali dengan calon menantunya ini."Gimana, Nay, kamu mau, gak?" Mami Anne s
Menyudahi membicarakan Leo, mami Anne lantas beralih pada sang menantu."Gimana, Nay, suka gak?" tanya mami."Bagus, kok, Mom." Sanaya tersenyum, menatap cincin berlian yang melingkar di jari manisnya. Secara sadar dia pun berandai-andai, apabila cincin tersebut dari Dilan.'Ah, mikir apa aku ini?' Sanaya menggelengkan kepala, mengenyahkan harapan yang hadir dalam benaknya."Pas?" Meriana menimpali.Sanaya menatap Meriana, kemudian menyahut, "Pas, kok,Tan."Cincin pernikahan yang dibelikan calon mertuanya ini bagi Sanaya sangatlah spesial. Tak hanya sebagai simbol, tetapi juga sebagai bukti jika mereka sangat menghargai hubungan ini. Mami Anne lah yang paling antusias dengan pernikahan ini. Sanaya merasa sangat berdosa dan bersalah lantaran telah membohonginya."Sayang, Leo gak bisa ikutan nyoba," ucap Meriana.Mami Anne pun menyayangkan ketidak hadiran Leo. "Mungkin beberapa hari lagi dia bisa ke sini, Mer," ucapnya sambil mengambil cincin yang akan dipakai Leo. "Ini kayanya juga uda
"Bentar, Dilan." Langkah Sanaya terhenti karena ponselnya berdering. Dilan pun ikut menghentikan langkahnya. "Kenapa, Nay?" tanyanya, sambil memperhatikan Sanaya. "Hape aku bunyi. Aku cek dulu." Tergesa, Sanaya melepas genggaman tangan Dilan, lalu membuka tas selempang yang menjuntai di dadanya. Mengambil benda pipih yang tak kunjung berhenti berdering itu, nama pemanggil yang tertera di layar sontak mengerutkan kening Sanaya. Manik Dilan yang sedari tadi masih memperhatikan kemudian berkata, "Angkat aja, Nay. Maminya Leo 'kan?" "Iya." Pandangan Sanaya terangkat, beralih pada Dilan. "Aku jawab apa kalo misalkan Mami nanya?" Dia seakan sedang meminta bantuan Dilan, lantaran bingung ingin menjawab apa. "Bilang aja kamu balik ke restoran. Soalnya urgent," ujar Dilan memberi saran. "Oke." Sanaya mengangguk mantap, kemudian mengatur napasnya sesaat untuk mengenyahkan gugup. Menggeser tombol hijau ke atas, lalu menyapa, "Halo, Mom?" Semacam ada sesuatu yang mengganjal di dada Sanaya
Penolakan dan bungkamnya Sanaya jelas membuat Dilan sedikit merasa kesal. Kenapa Sanaya seolah menghindar? Andaikan dia jujur pun, Dilan tidak akan keberatan. Mungkin, lain waktu dia bisa menanyakan hal tersebut. Setidaknya ada keterbukaan diantara mereka."Nay, ka—"ting!"Ck!" Dilan berdecak ketika denting pintu lift mengganggu obrolannya dengan Sanaya.Sementara Sanaya diam-diam menghela lega, karena Dilan tidak jadi melanjutkan ucapannya. Menoleh ke arah pintu lift yang terbuka lebar itu, Sanaya lantas berucap,"Dilan, ayo keluar. Pintunya udah kebuka."Dengan helaan berat dan setengah hati, Dilan melepas pinggang Sanaya, meraih tangannya dan menggandengnya. "Ayo."Keduanya melangkah keluar dari lift, berjalan menuju unit Dilan dengan pikiran bercabang ke mana-mana. Sanaya masih belum tenang, sebab Dilan pasti akan bertanya lagi."Masuk, Nay." Suara Dilan mengagetkan Sanaya yang nampaknya tidak fokus."Ah, i-iya." Tergagap, Sanaya bahkan ragu-ragu melangkahkan kakinya untuk masuk
Merasa tidak sanggup melanjutkan, Sanaya akhirnya memilih pergi ke kamar mandi. Dadanya memanas seperti terbakar. Pemandangan yang dia saksikan barusan sungguh membuat perutnya mual."Kenapa juga Dilan mau-maunya dicium sama Bianca? Ck! Ngeselin!" Sanaya bersungut-sungut sendiri di depan kaca wastafel. Bayangan Bianca saat mencium Dilan terus terngiang di ingatan. Tadi pada waktu dia hendak menutup pintu, telinganya tak sengaja mendengar Dilan menyebut nama Bianca. Karena penasaran, Sanaya pun akhirnya mengurungkan niatnya yang hendak masuk ke kamar mandi lebih dulu. Memilih mengintip lewat celah pintu, dan menguping percakapan kedua orang tersebut. Awalnya Sanaya senang, sebab Dilan terlihat tak acuh dan bersikap dingin kepada Bianca. Obrolan mereka pun semakin menarik perhatiannya, ketika Dilan mengatakan jika dia sebenarnya tidak ingin melakukan pernikahan itu. Intinya adalah, Dilan terpaksa karena Bianca yang mengejarnya. Namun, kesenangan Sanaya tak berlangsung lama, lantaran
Cemburunya orang suka itu memang berbeda, Dilan sampai tak berhenti tersenyum melihat sikap Sanaya yang katanya cemburu dengan Bianca. Perempuan itu tak malu lagi mengakui perasaannya.Apa semua perempuan akan seperti ini, kalau sedang cemburu? Marah dan kesal tidak jelas."Puaaasss! Puaaaaas ... banget!" Saking senangnya, Dilan menarik pinggang Sanaya hingga tubuh mereka saling merapat. "Kalo gini 'kan aku udah gak bingung lagi," ucapnya menyingkirkan helaian rambut Sanaya.Kening Sanaya mengernyit, Dilan bicara apa lagi, coba? Bingung? Apanya yang membuat bingung?"Bingung kenapa? Apa selama ini kamu bingung?" tanya Sanaya, menggigit kecil bibir bawahnya, sambil lekat-lekat menatap manik Dilan yang sibuk memainkan ujung rambutnya dengan jari."Bingung. Karena aku merasa digantung, Nay."Meskipun dia seorang laki-laki, Dilan juga butuh kepastian. Sanaya selalu menolak dan beralasan ini itu ketika Dilan mengajaknya serius."Aku bukannya mau ngegantung kamu. Bukannya kamu tahu gimana p
"Nay, bangun. Udah pagi. Ayo, aku anter pulang." Dilan menepuk pelan pipi Sanaya yang masih terlelap di kasurnya. Sebelumnya, dia sudah bangun lebih dulu dan mandi. Kemudian membuat sarapan instan yaitu sereal dicampur susu. Dia kembali ke kamar setelah urusan di pantry selesai, dan mendapati perempuan yang semalaman bergumul dengannya masih pulas. Menggeliat, seraya bergumam, Sanaya membuka perlahan maniknya lalu mengerjap lambat. Pemandangan pagi ini sungguh sangat indah, dapat memandangi wajah tampan lelaki yang dia cintai dengan puas, merupakan keinginannya sejak lama. "Morning, Dilan …." Senyum Sanaya mengembang, mengulurkan tangan menyentuh wajah Dilan yang nampak segar juga penampilannya yang sudah rapi. "Morning, Nay." Dilan membungkuk, menyingkirkan helaian rambut Sanaya yang berantakan, kemudian melabuhkan kecupan mesra di kening, hidung dan terakhir di bibir. "Ayo, bangun. Sebelum pulang, sarapan dulu." Maniknya melirik nampan yang ada di atas nakas. Manik Sanaya i