Share

Ijab Qobul

"Bismillahirrahmanirrahim. Ya Husein, saya nikahkan dan kawinkan anak kandung saya yang bernama Reynata Adizti binti Yusuf Ardiansyah dengan mahar seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan intan berlian dibayar tunai." 

"Saya terima nikah dan kawinnya Reynata Adizti binti Yusuf Ardiansyah dengan mahar seperangkat alat sholat dan satu set perhiasan intan berlian dibayar tunai!" 

Tuhan, aku tak hentinya menitikan air mata saat samar kudengar dia sedang merubah hal yang tadinya haram menjadi halal. Air mata penyesalan sih tepatnya! 

Lebih sedih lagi saat suara orang-orang serentak berkata sah yang membuat bulu kuduk ku merinding. Gila yah, bisa-bisanya aku menyerah dengan semuanya secepat ini. Padahal, aku anti banget sama nikah muda, mengurus rumah dan suami semacam itu adalah musuh bebuyutan aku. Tapi, kenapa Tuhan malah menjadikan musuh itu jalanku? 

Hanya belaian tangan ibu yang saat ini mampu menenangkan ku agar aku tak kabur dari pesta ini. 

Ibu mengusap air mataku yang tak berhenti menetes di pipi. 

"Sudah sayang nangisnya, make up kamu luntur nanti. Gak cantik lagi." 

Aku langsung menjatuhkan kepalaku dalam pelukannya. Ibu berulang kali meminta maaf karena sudah membuat keputusan yang jahat ini padaku. Alasannya sama, karena ingin menyelamatkan hidupku. Tapi apa benar ini jalannya? Apa mereka tidak memikirkan mental ku setelah menikah nanti. 

"Sabar ya sayang, ingsyallah Husein bisa membimbing kamu di jalan yang benar." 

Aku hanya terdiam, aku tak mood untuk menjawab kata-kata itu. Terlalu sering didengar sampai muak sendiri jadinya. 

Setelah orang-orang di luar selesai berdoa, maka aku pun harus bersiap di panggil untuk menuju aula itu acara itu. 

Kami menikah di pondok pesantrennya. Rumah kami sudah di sita oleh pihak bank. Entah ayah tertipu seperti apa sampai tak menyisakan satu pun hartanya, hutang di mana-mana yang jika dibayangkannya pun sangat mengerikan. Jelas saja ibuku juga sangat terguncang dengan situasi ini, tapi demi aku dia rela pura-pura tegar dan menutupi kepedihannya. 

Lalu harus ku gunakan alasan apa lagi untuk menolak perjodohan ini? 

Ibu mertuaku, alias ibunya pak ustadz yang memakai jilbab panjang seperti mukena itu membuka pintu kamar dan menjemput aku untuk bersanding bersama anaknya di meja akad. 

Bisa gak sih kayak di film-film gitu kabur atau minum racun tikus terus mati? 

"Nak Reynata, mangga temui suami kamu, salim padanya dan mintalah ridhonya," ucap ibu itu mengulurkan tangannya. 

Ibuku menarik pelan lenganku lalu menaruhnya digenggaman ibu itu. 

Ini bukan pernikahan impianku. Aku sering bermimpi memiliki konsep pernikahan ala-ala Korea, dengan gaun besar atau hanbok dan berjalan di atas altar, maksudnya karpet merah gitu. Bukan nikah sederhana dengan hanya memakai rok batik seperti ini. 

Terpaksa aku berdiri dari kursi perias dan berjalan pelan di belakangnya. Sedangkan ibu ikut berjalan di sampingku. Aku tak melepaskan tangannya sampai aku sudah duduk tepat di samping pak ustadz itu. Kami beda umur lima tahun, tapi tetap aja bagiku dia bapak-bapak. 

"Nak Husein, saya titipkan anak saya dengan segala kekurangannya. Tolong bimbing dia di jalan yang diridhoi Allah." Aku dengar ayah berkata itu tanpa mikrofon. Sedangkan Pak ustadz nya menunduk menghormati ayah. 

Aku melihat dia membuka kotak merah itu dan memasangkan cincinnya di jari manis ku. 

Asli, tidak ada sedikitpun senyuman yang terluas di bibir ini. Mengantup rapat dengan sangat judes. Air mataku sudah tak sudi ku keluarkan lagi. Percuma nangis sampai air mata darah pun pernikahan ini tetap aja jalan! 

"Cium tangan suamimu nak, agar ridhonya mengalir untukmu." 

Duh, ibu mertua bawel amat dari tadi rida rido rida rido, ngerti kali kalau nikah tuh harus cium tangannya. 

Mata kami bertemu lagi. Ya ampun kamu itu ganteng loh mas, mata kamu sehitam elang, alis kamu kek bedcover, tebel. Hidungnya apalagi, mancung kayak puncak gunung Everest. Mahluk sesempurna kamu sayang banget harus jadi suami perempuan yang gak mencintai kamu sama sekali. Harusnya kamu menolak dan cari wanita yang selevel dengan kesalehan kamu. Bukan aing yang baragajul begini. 

"Rey, cium tangannya." 

Aku terpecah dari lamunanku dan menarik tangan laki-laki itu dan menciumnya. Blitz kamera sudah mengabadikan momen itu dan mungkin akan dicetak dan ditaruh di dalam album. 

Setelah itu, dia menarik kepalaku lalu mendaratkan sebuah kecupan yang sangat tipis di dahiku. Ternyata janjinya sudah ia tepati mulai dari ijab qabul ini. Hanya formalitas di hadapan orang-orang saja saat mencium dahiku tadi. Janji yang takkan menyentuh tubuh ini tanpa seijinku. 

Mudah-mudahan janjiain yang tidak akan mengekang kehidupan ku bisa dia tepati juga. 

Aku menantikannya. 

** 

Resepsi kami diadakan setelah ijab qabul. Aku pun mengganti pakaian dengan gaun yang lebih lebar dari saat ijab tadi. Kami bersanding di sebuah kursi yang sama menyalimi para tamu undangan yang ku lihat rata-rata menggunakan jilbab yang sangat panjang. Sementara aku berpesan pada perias untuk menipiskan jilbabnya karena aku gak suka gerah. 

Membayangkan ke mana-mana harus pakai baju ninja dan jilbab kek mukena sudah membuat aku mual, pengen muntah. 

"Selamat ya ustadz, semoga menjadi keluarga sakinah mawadah warahmah, saya turut bahagia," ucap seorang wanita yang menadahkan tangannya mengucapkan doa yang entah apa itu, aku tidak paham. 

Tatapan wanita itu berbeda dari tamu-tamu lain, seperti tatapan wanita yang sedang merelakan kepergian orang lain. Jangan-jangan mantannya lagi? 

Ah, bodo amat aku gak urus. Toh aku juga masih punya pacar. Gimana cara kasih kabar ke Reza tentang pernikahan ku ini ya? Maafkan aku Za, aku terpaksa karena aku tidak diberi pilihan lain. Aku tidak memiliki waktu untuk menolak perjodohan ini. 

"Terima kasih Mba Aisy, aamiin allahuma aamiin. Semoga segera menyusul ya." Dia, si pak ustadz selalu menempelkan kedua telapak tangannya bagi tamu yang berlawan jenis. 

"Selamat ya Mba." Kini perempuan itu berdiri di depanku. Tatapan matanya berubah, tidak semelow saat di depan suamiku, eh aku mengakui nih dia suamiku?? 

"Makasih." Aku hanya menjawab itu singkat. Kemudian dia pergi dari hadapan kami, dan kami melanjutkan acara resepsi ini sampai tamu-tamu yang terakhir. 

Kebayang kan, kalau seorang tokoh agama kenalannya pasti banyak. Santri yang berjejer mengucapkan selamat pun tidak hanya satu atau dua puluh orang. Tapi segunung! 

Ketika Adzan dzhur dan Ashar pak ustadz pamit meninggalkan ku untuk menunaikan kewajiban sholat lima waktunya. Padahal kalau mau pergi mah pergi aja, gak urus sih!" 

*** 

Aku duduk di sebuah kursi dalam kamar pengantin yang sudah disiapkan untuk kami. 

Sejak selesai acara resepsi magrib tadi aku belum melihat sosok ustad itu lagi. Baguslah, toh aku juga gak menginginkan pernikahan ini. Jadi jauh-jauh dari dia juga gak masalah. 

Aku membuka kerudung melilit yang membuat leherku pengap, biasa pakek baju seksi tanpa jilbab eh sekarang harus jadi dibungkusin begini, kayak lontong aja, batinku. 

Akhirnya aku bisa merasakan segar setelah rambutku memiliki udara bebas. Kalau lembab nanti bisa jelek kan? Aku susah payah merawat rambutku saat di Jakarta, jangan sampai dirusak oleh namanya jilbab, aku bisa ngamuk nanti. 

Padahal jika aku bisa kembali ke Jakarta ada banyak pembukaan casting iklan lagi. Kira-kira orang sebanyak itu tau gak ya kalau aku pernah main iklan air mineral dengan artis papan atas? Yah walaupun munculnya cuma beberapa detik tapi kan dengan usaha aku bisa jadi bintang besar? 

Sudah, jangan dibayangkan lagi! Semakin ku bayangkan semakin sakit karena mimpi itu tidak bisa digapai. 

*** 

Glek! Kudengar seseorang memutar gagang pintu dan tak lama seorang laki-laki masuk ke dalam kamar ini. 

Kupikir ayah, taunya si pak Ustadz itu. 

Dia memakai jubah berwarna biru navy dengan peci hitam yang.. biasa aja menurut aku. Gak ada getaran apa-apa tuh. 

"Assalamualaikum, boleh saya masuk?" 

Dih, nanya kek gitu tuh pas masih di luar kek. Kalau sudah buka pintu sendiri ya ngapain pakek tanya lagi? Ini juga kamarnya kan, aneh! 

"Lawak! Masuk ya masuk aja kali, kalau aku larang juga situ bakalan tetap masuk!" sahutku kesal. 

Dia memaku di depan pintu cukup lama. Mikirin apa? Kaget ya sama amarahku, belum seberapa itu. Nanti akan lebih galak tergantung seberapa nyebelinnya sikap kamu. Aku tak melirik sedikit pun ke arahnya lagi. 

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status