Share

BAB 08 - CEMBURU

"Bisa pijitin bahu Kakang enggak, Neng?" tanya Kang Alvin pada Rissa yang tengah mengoleskan krim malam. Dia terduduk di depan cermin sehingga pantulan paras ayunya terlibat dengan jelas.

Rissa tidak memedulikan ucapan suaminya, dia terlalu kesal dengan sikap Kang Alvin pada anak si janda. Jika bisa berteriak sepertinya wanita itu akan bertanya, sebenarnya hubungan kalian apa? Namun, Rissa belum memiliki keberanian untuk menanyakannya. Lebih baik dia merayap perlahan demi mencari bukti-bukti mengenai suaminya. Apakah darah itu bukti perselingkuhannya, atau memang noda nyamuk yang tewas saat terbang.

"Neng ... disuruh suami kok enggak nurut?" tanya Kang Alvin, dia mulai beringsut dari petidurannya menghampiri istrinya yang masih terduduk di kursi depan cermin.

Wanita itu terus mengoleskan krim malam pada wajahnya, padahal sudah dua kali putaran dia selesai memakainya. Mungkin Rissa melimpahkan kekesalannya pada skincare yang seharusnya cukup untuk sebulan, tapi kali ini paling sampai seminggu.

Kedua bahunya dipegang Kang Alvin, lalu dia membalikkan tubuh sang istri ke hadapannya.

"Kamu kenapa, Sayang?" tanyanya pelan.

Kepalanya menggeleng pelan sebagai jawaban, padahal hatinya menjerit memberontak karena terbakar api cemburu. Selama menikah Rissa seringkali memergoki suaminya tengah bercanda dengan Zidan seperti anaknya sendiri. Entah karena wanita itu terlalu berlebihan menganggapnya, atau memang dia cemburu?

"Kamu pengin beli skincare lagi?" tanya Kang Alvin, matanya turun melihat krim wajah yang dikenakannya nyaris habis.

Rissa mengerucutkan bibirnya, suaminya memang tidak peka terhadapnya. Masa dia belum saja mengerti dengan sikap istrinya yang setiap kali dia dekat Zidan selalu menatapnya kesal, atau saat dia mengobrol dengan Bi Ratih kedua matanya menyilang.

"Uang yang aku kasih kemarin habis?" tanyanya lagi.

"Kamu enggak peka, Kang!"

"Ya terus kamu maunya apa? Kalau kamu kayak gini kan aku enggak tahu, Cinta," ucap Kang Alvin pelan.

"Siapa Cinta? Selingkuhan kamu, Kang?" tanya Rissa, matanya terbelalak.

Kang Alvin menahan tawanya yang nyaris pecah, dia berusaha untuk tidak menertawakan ekspresi istrinya yang sangat menggemaskan. Kedua matanya melotot nyaris keluar dari tempatnya, bibir mengerucut lucu, dan mimik wajah kebingungan.

"Cintaku hanya kamu, Istriku." Kang Alvin mencubit hidung mancung istrinya dengan gemas.

Kali ini Rissa tidak bisa menahan senyumnya, sudut bibirnya tertarik ke atas begitu mendapatkan gombalan dari suaminya. Hatinya luluh karena perlakuan Kang Alvin yang memang terbilang sangat manis.

"Awas kalau selingkuh!"

Lama Kang Alvin terdiam, hingga akhirnya dia terkekeh. "Mana mau aku selingkuh? Istriku saja sudah cukup membuatku tergila-gila."

Melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam, membuat Kang Alvin menarik lengan istrinya menidurkan di atas kasur berukuran king size. Namun, perlakuannya ditolak Rissa dengan cepat. Entah kenapa, wanita itu seolah tidak ingin disentuh suaminya sendiri. Merasa ada sesuatu yang janggal karena kejadian malam pertamanya.

"Aku belum siap, Kang." Rissa mengulum senyumnya.

Dia seolah tidak siap jika harus bersentuhan dengan sang suami yang sudah menodai perempuan lain jika memang itu benar.

"Kenapa? Kamu lagi datang bulan?" tanya Kang Alvin.

Rissa menganggukkan kepalanya, dia harus mencoba untuk menerima Kang Alvin meski suatu saat dia tahu jika suaminya memang berselingkuh. Namun, untuk sekarang hatinya menolak dengan keras.

"Yaudah bobo aja ya." Kang Alvin mengelus puncak kepalanya lembut.

Sikap Kang Alvin tidak pernah berubah, selama dua tahun menjalin hubungan dengannya tidak membuat pria itu mengurangi cintanya pada Rissa. Selama di perkuliahan pun dia hanya mengenal baik satu perempuan yaitu adik tingkatnya, siapa lagi jika bukan wanita yang kini sudah sah menjadi istrinya.

"Kang ...," panggil Rissa pelan.

"Iya, kenapa?" tanya Kang Alvin.

"Kenapa kamu menyayangi Zidan?" tanya Rissa hati-hati.

"Zidan kehilangan sosok ayahnya, aku hanya kasihan sama dia," jawabnya. "Udah kan cuman tanya itu? Sekarang kamu bobo ya."

Meski sebenarnya kedua mata Rissa belum ingin terlelap, tapi dia memaksakan begitu suaminya memejamkan netranya. Padahal, wanita itu masih mencerna perkataan Kang Alvin dengan baik-baik.

***

Nina masih terjaga, akhirnya dia memutuskan untuk membuat teh hangat ke dapur. Wanita paruh baya itu mendapati pembantunya yang tengah membuatkan susu formula teruntuk anaknya.

"Bu ... kok belum tidur?" tanya Bi Ratih dengan ramah.

"Saya belum bisa tidur," jawabnya. Nina terus memandangi si janda beranak satu yang memang masih muda. Sepertinya usianya juga tidak jauh beda dengan putri tirinya.

Mengingat sikap Rissa yang setiap kali memergoki kedekatan janda muda itu dengan menantunya membuat dia juga bertanya-tanya. Apakah menantunya ada main dengan pembantunya? Namun, mana mungkin Alvin seperti itu? Nina tahu betul menantunya sangat mencintai putri tirinya.

"Oh. Cepat tidur ya, Bu. Biar kesehatannya tetap terjaga," ucap Bi Ratih menasihatinya, Nina hanya tersenyum samar. "Kalau gitu saya permisi dulu ya."

Nina cepat mencekal pergelangan tangannya. "Tunggu."

"Iya, Bu. Ada apa?" tanya Bi Ratih, sudut bibirnya tertarik ke atas melengkung membentuk senyuman.

"Ada hubungan apa kamu sama menantu saya?" tanya Nina, kedua matanya menatap tajam pada pembantunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status