Gambar yang memperlihatkan sosok Alvin, membuat Rissa bertanya-tanya, siapa pengirimnya? Akan tetapi, dia juga mempunyai firasat jika orang yang mengirimkannya adalah Fatma. Pemikirannya itu ditanggapi dengan cepat olehnya sendiri. Namun, untuk apa dirinya mengirimkan terhadapnya? Atau mungkin hal itu seolah menunjukkan bahwa dia tengah berada di tempat yang sama seperti suaminya.“Padahal enggak usah kirim-kirim foto segala, lagipula aku udah tahu kalau dia itu satu tempat kerja sama suamiku.” Rissa menggeleng pelan, karena dirinya tidak habis pikir pada si pengirim. Hal itu membuatnya merasa cemas sendiri karena takut terjadi hal-hal yang tidak diinginkan pada suaminya.Maka dari itu, Rissa mencoba untuk menghubungi suaminya memintanya agar segera pulang. Namun, justru sambungan telepon darinya tidak saja diterima Alvin. Setelah banyaknya kejadian yang membuat Rissa semakin tidak tenang dalam menjalani kehidupannya, bahkan dia juga jadi lebih banyak memberikan Batasan terhadap suami
Kehilangan Clarissa yang entah berada di mana, membuat Alvin benar-benar tidak tenang. Bahkan dia tak tahu harus mencarinya ke mana, tapi meski begitu, lelaki itu akan terus mencarinya.Rissa sedari tadi menangis tiada henti, dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya, terlebih lagi sebelumnya Clarissa itu Bersama dengannya. Tentunya hal itu membuatnya sangat terpukul sekali.“Aku enggak tahu harus cari Clarissa ke mana lagi.” Rissa menundukkan pandangannya, dia benar-benar terpukul sekali atas kehilangan putrinya yang sampai saat ini entah berada di mana.“Kamu malah nyerah gitu aja?” tanya Alvin, dia menggeleng pelan seolah kebingungan sendiri dengan apa yang dikatakan istrinya.“Aku bukannya nyerah, Kang. Tapi, aku cuman berada di fase yang enggak tahu lagi harus kayak gimana ngadepin ini semua.” Perempuan itu menangis tiada henti. Mana ada seorang Ibu yang tidak menangis sama sekali saat anaknya hilang begitu saja.“Ini juga gara-gara kamu!” sergah Alvin, dia mengatakannya dengan
Keberadaan Clarissa memang berada di tangan Fatma, alasannya membawa bayi mungil itu karena dia ingin memiliki Alvin sepenuhnya. Dirinya sudah sangat terobsesi dengan sosok pri atersebut yang tidak bisa pergi dalam pikirannya. Makanya, dia memutuskan untuk membawa bayi tersebut diam-diam pada malam hari saat kedua matanya terlelap.Bayi mungil yang kini tengah berada di pangkuannya tampak gelisah, sepertinya dia ingin sesuatu, tapi hanya bisa merengek membuat Fatma kesal sendiri.“Aduh, jangan nangis terus dong, pusing deh dengernya.” Begitu yang disampaikannya, dia benar-benar tidak bisa habis pikir pada Clarissa yang tidak bisa diam.“Kamu mau apa sih? Mimi?” tanya Fatma. Dia mencoba menanyakannya pada bayi mungil nan menggemaskan itu .Akan tetapi, justru tidak ada jawaban yang didapatkannya. Hal itu membuatnya mendengus kasar karena dirinya tidak tahu harus bagaimana lagi.“Tapi aku bukan ibu kamu.” Dia mengatakannya dengan tegas, Fatma pikir jika bayi dalam pangkuannya itu akan s
"Ini noda apa, Kang?" tanya Rissa, menunjuk seprai putih yang membalut kasur berukuran king size. Namanya juga ranjang pengantin pastinya selalu baru masih disegel, luas pula. Di sana terdapat bercak berwarna merah. Pekatnya seperti darah, tapi mana mungkin? "Noda? Maksud kamu, Neng?" tanyanya sambil menggosok rambutnya yang masih basah. Dia mandi di tengah malam begini, padahal tadi sore setelah selesai acara sudah membersihkan tubuhnya yang lengket karena menjadi Raja seharian. Karena ingin tahu Rissa mencolek noda itu, ternyata warnanya berpindah ke jari telunjuknya. Jika kembali ditilik dengan saksama, baunya juga anyir menguar sampai ke indra penciuman, dia membenarkan noda di seprainya memang darah yang masih segar. Terlalu sibuk kesana-kemari membuat Rissa tidak bisa menilik barang-barangnya dalam keadaan utuh. Bahkan selesai acara pun dia lebih dulu menemui ibu tirinya yang terus memanggil mengajaknya berbincang mengenai pembiayaan. Ada sebagian uangnya terpakai, padahal se
"Rissa, kok kamu ada di sini?" tanya Kang Alvin, mengelus pipi istrinya dengan lembut. Maklum saja, masih pengantin baru mereka memamerkan kemesraannya meski pada wanita yang kini menatap lekat. Siapa lagi jika bukan Bi Ratih yang sedari tadi mematung di depannya, wanita janda beranak satu itu memalingkan pandangannya mungkin karena canggung melihat terus dua sejoli yang saling menautkan jemari dengan erat. "Aku ... cuman mau ke dapur ambil air," jawab Rissa gelagapan. "Dapur kan di sana, Sayang. Kok malah ke sini?" ucapnya lembut. "Kamu masuk lagi ya, di sini dingin. Nanti kamu kena flu."Saran Kang Alvin diangguki sang istri, nasihatnya dibenarkan jika dia memang tidak bisa berada di suhu rendah. Dia akan rentan sakit apalagi kalau tubuhnya terkena air dingin. Pria itu memang tahu apa yang tidak disukai atau sangat disukai sang istri. Kalau bisa dibilang, dia termasuk ke dalam kategori suami idaman. Namun, mengingat bercak noda di seprainya yang padahal masih baru, lalu memergok
Alvin memang membondong keluarga Rissa untuk tinggal di rumahnya saat pertama kali menikah. Bahkan pernikahan yang biasanya dirayakan di rumah mempelai wanita, mereka mengadakannya di kediaman si pria. Rissa seorang wanita sederhana, dia tinggal di sebuah kontrakan kecil yang tidak mampu menampung banyak orang. Nina, ibu tirinya yang sudah seperti orangtuanya sendiri selalu saja membuntuti wanita itu ke mana pun dia pergi. Begitu juga dengan adik tirinya yang bernama Nissa, dia pula ikut dengan kakaknya. Almarhum ayahnya memang berpesan kepada putri sulungnya untuk menjaga istri dan anaknya dari Nina. Meski pun gadis berusia tujuh belas tahun itu bukanlah adik kandungnya, tapi betapa sayangnya dia pada sang adik hingga apa pun yang diinginkannya selalu saja dituruti. "Bi Ratih itu asisten rumah tangga di sini. Memang masih baru sih, tapi Zidan cepat lengket banget," terang Kang Alvin. Ucapannya hanya diangguki pelan Rissa, lagipula dia tidak mau memperpanjang permasalahan. Kalau pu
"Aku kerja dulu ya, Sayang." Kang Alvin mengecup kening istrinya dengan lembut. Sesekali Rissa membenarkan letak dasi dan jas hitamnya. Bekerja di perkantoran membuatnya harus terlihat sangat rapi, apalagi di sana suaminya menjabat sebagai direktur utama. Ya, Kang Alvin memang keluarga terpandang mempunyai beberapa perusahaan di mana-mana, tidak heran jika dia mengeluarkan banyak uang saat pernikahannya beberapa hari lalu. Akan tetapi, tetap saja Nina mengatakannya tidak cukup masih saja memakai uangnya, padahal tidak sama sekali. Ibu tiri Rissa memang baik sangat menyayanginya, meski pun dia bukan anak kandungnya. Hanya saja Nina tipe orang yang pelit, dia tidak mau satu rupiah pun keluar dari dompetnya dan terlalu menghemat. "Nanti kamu pulangnya biasanya jam berapa, Kang?" tanya Rissa, dia memang belum tahu mengenai jam kerja suaminya. "Biasanya sih malam, tapi kalau kamu kangen siang juga aku bisa langsung pulang." Pria berjas hitam itu mengusap lembut pipi sang istri. Perlaku
"Aku enggak mau ke dokter, Kak!" sergah Nissa. "Kenapa? Kamu kan lagi sakit." ucap Rissa, mengelus puncak kepala sang adik dengan lembut. Ternyata ayahnya sudah lama meninggalkan mereka, kini Nissa sudah beranjak remaja dan Rissa merasa dia belum bisa menjadi kakak yang terbaik. "Nissa sekarang baik-baik aja kok, Kak." "Beneran?" tanya Rissa, menaikkan alisnya sebelah mencoba memastikan kebenaran dari ucapan adiknya. Dia mengangguk pelan, lalu sudut bibirnya ditarik ke atas membentuk senyuman yang manis. Bingkai wajahnya kini terlihat kembali sumringah meski sepertinya gadis itu memaksakan senyumnya. "Beneran, Kak.""Kalau gitu kamu makan aja dulu ya. Kakak bawain makanan buat kamu, Sayang." Rissa memperlihatkan makanan yang kini dia letakkan di atas nakas dekat petidurannya. Gadis berambut panjang yang dibiarkan terurai itu menganggukkan kepalanya pelan. Kalau pun memang sudah lapar pasti dia juga akan makan, tapi akhir-akhir ini Nissa tidak merasakannya mungkin karena banyakny