Share

Pendarahan

Sakit di perutku semakin hebat, bahkan hingga membuat kakiku menggeletar. Aku meringis, berusaha menahan rasa sakitnya. Kurasakan ada yang merembes dari dalamanku. Ya Allah, semoga kandunganku baik-baik saja. 

Aku mencoba bangkit, aku harus ke rumah sakit sekarang. Atau ke klinik yang terdekat dari rumah. Tertatih aku berjalan sambil memegangi perutku, kurasakan ada yang mengalir dari sela-sela pahaku. Aku tak dapat melihatnya, karena aku mengenakan gamis juga celana kulot di dalam gamisku. 

Ah sudahlah, tak usah dilihat dulu. Sekarang pikirkan saja, caranya bisa sampai ke rumah sakit. 

Kamar, kamar adalah tujuanku. Tasku tadi ada di kamar. Gawaiku ada di dalam tas. Aku ingin memesan taksi online dulu. Sampai di kamar, aku langsung meraih tasku. Sambil memegangi perut dan pinggangku aku duduk di tepian ranjang. 

Kuhapus kasar air mata yang terus saja mengalir. Ah, kenapa mata ini selalu saja tidak kompak dengan keinginanku. Aku tak ingin menangis, tapi mata ini, terus saja memanas. Mungkin rasa panas dari hatiku, mengalir ke mataku, hingga membentuk larva bening yang berjejalan ingin keluar. 

Mas Bima ikut masuk ke dalam kamar, dia terburu-buru memakai baju juga celananya. Cih, bahkan dia tak teringat untuk mandi junub dulu. Dasar rakus. 

"Mas bawa kamu ke rumah sakit," katanya. Dia hendak menggendongku. Aku menolak tubuhnya dengan kasar. 

"Ayolah Divya. Tunda dulu marahmu. Kamu pendarahan, kita harus cepat ke rumah sakit," katanya. 

Kenapa dia bilang aku pendarahan? Aku tak melihat ada darah di gamisku. Aku abaikan dia, cepat aku ambil gawaiku dari dalam tas. Saat itulah, mataku melihat titik titik darah di keramik kamarku. Hatiku semakin cemas. Jangan sampai ada apa-apa dengan anakku.

Dengan tangan gemetaran, aku mencoba memesan taksi online. Sial! Signal sedang tak bersahabat. Kenapa harus di saat genting seperti ini? 

"Sudah, jangan ngeyel. Kita harus cepat." Mas Bima memaksa menggendongku keluar kamar. 

Aku tak ada pilihan lain. Daripada nyawa anakku jadi taruhan. Bertahan Nak. Temani Bunda di dunia ini. Bunda butuh kamu. Jangan pergi. 

"Gimana Bim?" tanya Ibu. Dia sudah memakai pakaian yang terlihat sopan. Wajahnya tampak cemas. Tapi seperti sandiwara saja di mataku.

"Mau Bima bawa ke rumah sakit Bu. Divya pendarahan." Mas Bima juga terdengar cemas. 

Ibu segera membuka pintu depan dengan lebar, agar Mas Bima yang menggendongku bisa lewat.

Siapa saja yang melihat kepanikan di raut wajah Ibu dan Mas Bima, tak akan menyangka bahwa telah terjadi perselingkuhan paling menjijikkan terjadi antara mereka. 

Aku hanya diam saja. Perutku memang sakit, tapi tak seberapa dibanding dengan sakit di hatiku akibat pengkhianatan mereka. 

"Loh, kenapa Divya?" tanya Bapak, kami berpapasan tepat di ambang pintu. Bapak baru pulang.

"Pendarahan Pak," kata Ibu.

Ingin sekali rasanya mengadu pada Bapak. Tapi saat ini, waktunya belum tepat. Kondisi tidak memungkinkan untuk bicara banyak. 

"Hah, kok bisa! Ini mau dibawa kemana?" Bapak langsung cemas.

"Ke Rumah Sakit Medika, Pak," kata Mas Bima. 

"Ya sudah, naik mobil Bapak aja. Biar Bapak yang nyetir. Kamu temani Divya di belakang Bim," kata Bapak. 

Mas Bima langsung melangkah cepat. Terlebih dahulu aku dimasukkan ke mobil, disusul Mas Bima. Mas Bima memangku kepalaku yang tak berdaya. Tubuhku semakin melemah, tapi airmataku masih saja mengalir. Seakan tak ada habisnya persediaan air mata ini.

Pak, apa yang Bapak lakukan, seandainya Bapak tau perbuatan Mas Bima dan Ibu? 

Kasihan Bapak. Seharusnya di usianya yang sudah senja, beliau tinggal menikmati kebersamaan dengan pasangannya. Apalagi masa Bapak menjabat sebagai kepala desa sudah tinggal sebentar lagi. Tentunya beliau ingin menghabiskan hari-harinya nanti bersama Ibu. 

Selama ini Ibu tak pernah mengeluh, walau terpaut usia sangat jauh dari Bapak. Mereka tetap tampak romantis dan mesra. Walaupun usia Bapak sudah enam puluh lebih, Bapak masih terlihat gagah. Bapak sama seperti Ibu, selalu menjaga kebugaran tubuhnya. 

Setiap pagi, Bapak sama Ibu selalu jogging bersama, keliling kampung menyapa warga. Kelihatan harmonis. Dari kecil, tak sekalipun aku melihat mereka bertengkar. Mereka selalu bisa menyelesaikan masalah dengan baik-baik. Mereka jelas panutan bagiku. 

Namun sekarang, semuanya jadi berbeda di mataku. Ibu tak lebih dari seekor musang berbulu domba. Bahkan dia lebih kejam dari srigala. Rasa hormatku, lenyap tak berbekas buat Ibu. 

Dulu, aku selalu bangga dengan ibuku yang selalu tampak cantik, anggun dan aduhai. 

Ya, tubuh ibu yang langsing. Dengan tinggi badan 165 cm membuat postur tubuh Ibu sangat proporsional. Kulit ibu juga putih, dengan wajah oriental. Terlihat sangat cantik. 

Berbeda dengan aku, yang mirip Bapak. Wajahku sangat khas wajah ayu orang jawa, dengan warna kulit sawo matang. Tubuhku juga lebih kecil dari ibu. Walaupun banyak yang bilang wajahku manis, tetap saja, tak sedikitpun ada kemiripan dengan Ibu. Terkadang, banyak yang tak percaya kalau kami ibu dan anak. Karena perbedaan fisik kami tentunya. Tapi Ibu selalu saja bisa menampik anggapan orang-orang. Dengan mengatakan kalau aku mirip Bapak.

Sampai di rumah sakit, para suster langsung menyambutku dan membawaku ke ruangan IGD. Kesadaran hampir habis. Mataku hampir tak bisa dibuka. Pandangan mataku mulai kabur. Entah apa yang terjadi? Terakhir aku merasa, terjadi kepanikan di ruangan IGD. 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Kubuka mataku perlahan. Sangat silau. Kupejamkan lagi, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinaku. Tubuhku lemas sekali.

"Syukurlah kamu sadar juga," kata seorang berjas putih. 

Aku belum bisa melihat dengan jelas, masih berupa bayang-bayang yang kabur saja. Aku merasa, banyak orang di ruangan ini. Dimana ini? Terakhir yang kuingat, aku di ruangan IGD.

Kupejamkam lagi mataku, lalu kubuka lagi perlahan. Bayang-bayang itu mulai jelas kelihatan. Kupejamkan sekali lagi mataku, kubuka lagi. Sekarang semua tampak jelas. Ada Mas Bima, Ibu, Bapak juga seorang Dokter di dekatku. Aku membuang muka dari Mas Bima dan Ibu. 

Aku merasa ada yang lain. Tapi apa? 

Cepat aku tersadar, aku ingat dengan kandunganku. Kuraba perutku perlahan dengan sisa tenaga yang ada, kenapa rata? Dimana anakku? 

"Dok, mana anak saya?" lirihku. Aku panik. Tapi tak berdaya.

"Tenang dulu, ya Bu," kata Dokter bernama Karmila itu. Terlihat dari name tag yang ada di dadanya.

Bagaimana aku bisa tenang, anakku tak ada lagi di perutku. Anak yang kunantikan kehadirannya di dunia ini. Anak yang kuharapkan menjadi pelipur laraku, pengobat rasa sakit akibat pengkhianatan Ayahnya. Seandainya aku ada tenaga, pasti aku sudah histeris saat ini.

"Divya, tenang ya Nak," kata Bapak seraya mengelus dahiku. 

"Pak, mana anak Divya?" tanyaku lirih pada Bapak. Otot-otot tubuhku terasa kehilangan kekuatan. Bahkan suaraku tak mau dengan keras, keluar dari kerongkonganku.

Aku takut, sangat takut terjadi hal yang tak diinginkan pada anakku. Aku berusaha bangkit, tapi perutku sangat sakit. Sakitnya berbeda. Seperti ada luka di perutku. 

"Jangan bergerak dulu Bu. Ibu baru saja selesai operasi caesar beberapa jam yang lalu," jelas Dokter saat mencegahku yang ingin bangkit dari tempat tidurku. 

Operasi Caesar? 

Astaga. Kapan aku operasi? 

Kenapa aku tak tau? 

★★★KARTIKA DEKA★★★

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status