Sakit di perutku semakin hebat, bahkan hingga membuat kakiku menggeletar. Aku meringis, berusaha menahan rasa sakitnya. Kurasakan ada yang merembes dari dalamanku. Ya Allah, semoga kandunganku baik-baik saja.
Aku mencoba bangkit, aku harus ke rumah sakit sekarang. Atau ke klinik yang terdekat dari rumah. Tertatih aku berjalan sambil memegangi perutku, kurasakan ada yang mengalir dari sela-sela pahaku. Aku tak dapat melihatnya, karena aku mengenakan gamis juga celana kulot di dalam gamisku.
Ah sudahlah, tak usah dilihat dulu. Sekarang pikirkan saja, caranya bisa sampai ke rumah sakit.
Kamar, kamar adalah tujuanku. Tasku tadi ada di kamar. Gawaiku ada di dalam tas. Aku ingin memesan taksi online dulu. Sampai di kamar, aku langsung meraih tasku. Sambil memegangi perut dan pinggangku aku duduk di tepian ranjang.
Kuhapus kasar air mata yang terus saja mengalir. Ah, kenapa mata ini selalu saja tidak kompak dengan keinginanku. Aku tak ingin menangis, tapi mata ini, terus saja memanas. Mungkin rasa panas dari hatiku, mengalir ke mataku, hingga membentuk larva bening yang berjejalan ingin keluar.
Mas Bima ikut masuk ke dalam kamar, dia terburu-buru memakai baju juga celananya. Cih, bahkan dia tak teringat untuk mandi junub dulu. Dasar rakus.
"Mas bawa kamu ke rumah sakit," katanya. Dia hendak menggendongku. Aku menolak tubuhnya dengan kasar.
"Ayolah Divya. Tunda dulu marahmu. Kamu pendarahan, kita harus cepat ke rumah sakit," katanya.
Kenapa dia bilang aku pendarahan? Aku tak melihat ada darah di gamisku. Aku abaikan dia, cepat aku ambil gawaiku dari dalam tas. Saat itulah, mataku melihat titik titik darah di keramik kamarku. Hatiku semakin cemas. Jangan sampai ada apa-apa dengan anakku.
Dengan tangan gemetaran, aku mencoba memesan taksi online. Sial! Signal sedang tak bersahabat. Kenapa harus di saat genting seperti ini?
"Sudah, jangan ngeyel. Kita harus cepat." Mas Bima memaksa menggendongku keluar kamar.
Aku tak ada pilihan lain. Daripada nyawa anakku jadi taruhan. Bertahan Nak. Temani Bunda di dunia ini. Bunda butuh kamu. Jangan pergi.
"Gimana Bim?" tanya Ibu. Dia sudah memakai pakaian yang terlihat sopan. Wajahnya tampak cemas. Tapi seperti sandiwara saja di mataku.
"Mau Bima bawa ke rumah sakit Bu. Divya pendarahan." Mas Bima juga terdengar cemas.
Ibu segera membuka pintu depan dengan lebar, agar Mas Bima yang menggendongku bisa lewat.
Siapa saja yang melihat kepanikan di raut wajah Ibu dan Mas Bima, tak akan menyangka bahwa telah terjadi perselingkuhan paling menjijikkan terjadi antara mereka.
Aku hanya diam saja. Perutku memang sakit, tapi tak seberapa dibanding dengan sakit di hatiku akibat pengkhianatan mereka.
"Loh, kenapa Divya?" tanya Bapak, kami berpapasan tepat di ambang pintu. Bapak baru pulang.
"Pendarahan Pak," kata Ibu.
Ingin sekali rasanya mengadu pada Bapak. Tapi saat ini, waktunya belum tepat. Kondisi tidak memungkinkan untuk bicara banyak.
"Hah, kok bisa! Ini mau dibawa kemana?" Bapak langsung cemas.
"Ke Rumah Sakit Medika, Pak," kata Mas Bima.
"Ya sudah, naik mobil Bapak aja. Biar Bapak yang nyetir. Kamu temani Divya di belakang Bim," kata Bapak.
Mas Bima langsung melangkah cepat. Terlebih dahulu aku dimasukkan ke mobil, disusul Mas Bima. Mas Bima memangku kepalaku yang tak berdaya. Tubuhku semakin melemah, tapi airmataku masih saja mengalir. Seakan tak ada habisnya persediaan air mata ini.
Pak, apa yang Bapak lakukan, seandainya Bapak tau perbuatan Mas Bima dan Ibu?
Kasihan Bapak. Seharusnya di usianya yang sudah senja, beliau tinggal menikmati kebersamaan dengan pasangannya. Apalagi masa Bapak menjabat sebagai kepala desa sudah tinggal sebentar lagi. Tentunya beliau ingin menghabiskan hari-harinya nanti bersama Ibu.
Selama ini Ibu tak pernah mengeluh, walau terpaut usia sangat jauh dari Bapak. Mereka tetap tampak romantis dan mesra. Walaupun usia Bapak sudah enam puluh lebih, Bapak masih terlihat gagah. Bapak sama seperti Ibu, selalu menjaga kebugaran tubuhnya.
Setiap pagi, Bapak sama Ibu selalu jogging bersama, keliling kampung menyapa warga. Kelihatan harmonis. Dari kecil, tak sekalipun aku melihat mereka bertengkar. Mereka selalu bisa menyelesaikan masalah dengan baik-baik. Mereka jelas panutan bagiku.
Namun sekarang, semuanya jadi berbeda di mataku. Ibu tak lebih dari seekor musang berbulu domba. Bahkan dia lebih kejam dari srigala. Rasa hormatku, lenyap tak berbekas buat Ibu.
Dulu, aku selalu bangga dengan ibuku yang selalu tampak cantik, anggun dan aduhai.
Ya, tubuh ibu yang langsing. Dengan tinggi badan 165 cm membuat postur tubuh Ibu sangat proporsional. Kulit ibu juga putih, dengan wajah oriental. Terlihat sangat cantik.
Berbeda dengan aku, yang mirip Bapak. Wajahku sangat khas wajah ayu orang jawa, dengan warna kulit sawo matang. Tubuhku juga lebih kecil dari ibu. Walaupun banyak yang bilang wajahku manis, tetap saja, tak sedikitpun ada kemiripan dengan Ibu. Terkadang, banyak yang tak percaya kalau kami ibu dan anak. Karena perbedaan fisik kami tentunya. Tapi Ibu selalu saja bisa menampik anggapan orang-orang. Dengan mengatakan kalau aku mirip Bapak.
Sampai di rumah sakit, para suster langsung menyambutku dan membawaku ke ruangan IGD. Kesadaran hampir habis. Mataku hampir tak bisa dibuka. Pandangan mataku mulai kabur. Entah apa yang terjadi? Terakhir aku merasa, terjadi kepanikan di ruangan IGD.
★★★KARTIKA DEKA★★★
Kubuka mataku perlahan. Sangat silau. Kupejamkan lagi, untuk menyesuaikan cahaya yang masuk ke retinaku. Tubuhku lemas sekali.
"Syukurlah kamu sadar juga," kata seorang berjas putih.
Aku belum bisa melihat dengan jelas, masih berupa bayang-bayang yang kabur saja. Aku merasa, banyak orang di ruangan ini. Dimana ini? Terakhir yang kuingat, aku di ruangan IGD.
Kupejamkam lagi mataku, lalu kubuka lagi perlahan. Bayang-bayang itu mulai jelas kelihatan. Kupejamkan sekali lagi mataku, kubuka lagi. Sekarang semua tampak jelas. Ada Mas Bima, Ibu, Bapak juga seorang Dokter di dekatku. Aku membuang muka dari Mas Bima dan Ibu.
Aku merasa ada yang lain. Tapi apa?
Cepat aku tersadar, aku ingat dengan kandunganku. Kuraba perutku perlahan dengan sisa tenaga yang ada, kenapa rata? Dimana anakku?
"Dok, mana anak saya?" lirihku. Aku panik. Tapi tak berdaya.
"Tenang dulu, ya Bu," kata Dokter bernama Karmila itu. Terlihat dari name tag yang ada di dadanya.
Bagaimana aku bisa tenang, anakku tak ada lagi di perutku. Anak yang kunantikan kehadirannya di dunia ini. Anak yang kuharapkan menjadi pelipur laraku, pengobat rasa sakit akibat pengkhianatan Ayahnya. Seandainya aku ada tenaga, pasti aku sudah histeris saat ini.
"Divya, tenang ya Nak," kata Bapak seraya mengelus dahiku.
"Pak, mana anak Divya?" tanyaku lirih pada Bapak. Otot-otot tubuhku terasa kehilangan kekuatan. Bahkan suaraku tak mau dengan keras, keluar dari kerongkonganku.
Aku takut, sangat takut terjadi hal yang tak diinginkan pada anakku. Aku berusaha bangkit, tapi perutku sangat sakit. Sakitnya berbeda. Seperti ada luka di perutku.
"Jangan bergerak dulu Bu. Ibu baru saja selesai operasi caesar beberapa jam yang lalu," jelas Dokter saat mencegahku yang ingin bangkit dari tempat tidurku.
Operasi Caesar?
Astaga. Kapan aku operasi?
Kenapa aku tak tau?
★★★KARTIKA DEKA★★★
Airmata terus merembes dari sudut mataku. Ya Tuhan, jangan ada apa-apa dengan anakku."Alhamdulillah, anaknya terlahir sempurna. Laki-laki. Hanya karena lahir prematur, sementara ini, dimasukkan ke inkubator dulu ya," kata Dokter Karmila sambil tersenyum penuh arti.Allah, alhamdulillah. Rasa bahagia segera mengaliri relung hatiku, kala mendengar kata-kata Dokter Karmila. Airmata kesedihan yang tadinya mengalir deras, kini mengalir lebih deras karena rasa haru sedang merajai hatiku. Syukurlah Nak. Kamu selamat. Tanpa kamu, Bunda nggak akan sanggup menghadapi semua ini. Demi kamu Nak, Bunda akan kuat menghadapi badai yang sedang memporak porandakan keluarga kita. "Ya sudah, saya tinggal dulu ya," ucap Dokter Karmila."Saya ingin lihat anak saya, Dok," kataku sebelum Dokter berwajah manis itu keluar dari ruangan tempat aku dirawat."Sabar ya Bu. Bayinya sehat kok, tak ada masalah apapun dengan kesehatannya. Paling hanya dua atau tiga hari saja di inkubator. Besok, Ibu bisa minta dit
"Divya," panggil Bulek Ratmi lembut, saat aku sedang berada di kamarku. Begitu Bapak pulang, aku langsung masuk ke kamarku.Kuusap air mata yang mengalir di pipiku. Sebelum Bulek Ratmi sempat menatap wajahku. "Iya Bulek," sahutku. Aku pura-pura memperbaiki kain selimut yang menyelimuti anakku. "Cerita sama Bulek. Kamu sedang ada masalah apa sama Bima?" tanya Bulek Ratmi pelan, takut mengganggu tidur anakku yang nyenyak.Aku menghela nafas, sejak aku kecil, tak ada hal yang bisa aku sembunyikan dari Bulek Ratmi. Dia selalu saja tau, kalau aku sedang dalam masalah.Masa kecilku memang lebih banyak diasuh oleh Bulek Ratmi. Ibuku yang menikah di usia muda, tak bisa mengurusku dengan baik. Apalagi, jarak usiaku dan Satria adikku tak sampai dua tahun. Jadilah masa kecilku dihabiskan di rumah Nenek. Setelah aku sekolah Aliyah, baru aku ikut Bapak dan Ibu.Ah, aku rindu dengan adikku itu. Dia sekarang sedang berada di Kalimantan. Mengurus kebun sawit Bapak, warisan dari Kakek yang ada di sa
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Huft, sudahlah. Tak perlu menyesali diri. Aku harus move on, demi Arsen. Masa depanku pasti akan cerah bersama Arsen. Aku yakin, aku bisa tanpa Mas Bima di sampingku. Hari terus merambat kian malam. Mataku tak juga dapat terpejam, di tambah Arsen juga sering bangun. Kalau sudah lewat tengah malam, Arsen akan beberapa kali bangun untuk menyusu. Rileks Divya. Jangan sampai Arsen merasakan kegundahan hatimu. Pagi, cepatlah datang. Aku ingin segera meninggalkan Mas Bima. Untuk menghabiskan waktu, aku membaca novel di grup membaca novel yang kuikuti di aplikasi biru berlogo F. Rata-rata cerita yang kubaca tentang drama rumah tangga. Banyak tajuk yang menarik. Ternyata kehidupan rumah tangga begitu kompleks, sehingga banyak hal yang bisa dijadikan bahan cerita yang menarik. Tentang orang tua yang pilih kasih, tentang mertua dan ipar yang toxic, perselingkuhan, banyak, sangat banyak cerita dengan tajuk sama namun alur yang berbeda. Ya, walaupun sering ditemukan masalah yang sama di tiap
Bapak jatuh tergeletak di lantai, cepat aku berlari ke arah Bapak. Membiarkan koperku terletak begitu saja."Pak, Bapak!" Aku histeris. Bapak mencoba mengangkat tangannya, lalu dilambaikan padaku. Seolah mengatakan jangan bantu. Bapak bangkit. Bapak kesusahan untuk bangkit, tubuhnya seperti kaku. "Ya Allah, Pak!" Ibu datang. Dia langsung histeris melihat keadaan Bapak. Ibu juga berusaha membantu Bapak bangkit, tapi Bapak juga melambaikan tangan, melarang Ibu menolongnya. Tapi Ibu abai, dia tetap membantu Bapak untuk duduk. Aku juga tak tinggal diam, Kubantu Ibu untuk mendudukkan Bapak. Sementara aku lupa akan hal yang baru terjadi pada kami.Aku sangat cemas dengan keadaan Bapak. Bapak mendadak kehilangan suaranya. Bapak berusaha bicara, tapi suaranya seakan tertahan di lehernya."Kenapa Bapak?" Mas Bima baru datang, entah darimana, aku tak peduli tentang itu. "Bim, tolong panggil Dokter Toto," titah Ibu. Mas Bima langsung cepat pergi menuruti titah Ibu. Aku dan Ibu berusaha meng
Bapak benar, kalau aku pergi meninggalkan Bapak, tanpa menyelesaikan masalahku dengan Mas Bima terlebih dahulu. Mas Bima pasti tetap akan bertahan di rumah ini. Tentunya dia akan semakin bebas berbuat apa saja di rumah ini dengan Ibu. Apalagi kondisi Bapak sedang kurang sehat. "Bapak usir saja Mas Bima," saranku."Tak semudah itu Divya. Bisa jadi, akan tersebar berita fitnah di luar sana. Bukan hanya nama baik Bapak yang akan tercoreng. Tapi juga nama kamu. Kamu pikir ulang lagi keputusanmu." Huft, lagi dan lagi Bapak memintaku memikirkan ulang keputusanku. Persetan tentang nama baik. Daripada batinku terus tersiksa. Tapi tampaknya, prinsipku berbeda dengan Bapak."Kalau kamu merasa tak nyaman tinggal di rumah ini. Kamu dan Bima, bisa menempati rumah yang ada di kebun," kata Bapak. "Divya, Bapak tak pernah minta apa-apa sama kamu kan? Sekali ini Bapak memohon sama kamu, nurut sama Bapak. Bukan Bapak tak memikirkan tentang perasaan kamu. Tapi kamu juga tak bisa secepat itu mengambil
"Cup cup Sayang. Panas ya Nak? Kita keluar ya," ucapku.Kugendong Arsen keluar rumah. Mungkin dengan menghirup udara segar di luar, Arsen bisa tenang. Terus kutimang tubuh mungilnya, namun tak kunjung Arsen mau diam. Aku mulai kewalahan, apalagi wajah Arsen hingga memerah. Aku khawatir akan terjadi hal yang tak diinginkan. Rasa cemas mulai menjalari hatiku. Suaranya tangisannya sangat melengking. Sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Nak, apa kamu bisa merasakan kepedihan hati Bunda? Atau kamu bisa merasakan, kalau Bunda ingin membawamu pergi jauh dari ayahmu?"Sini Sayang," kata Mas Bima yang ternyata ikut keluar menyusulku.Dia mencoba mengambil Arsen dari gendonganku. Kali ini, terpaksa aku menyerahkan Arsen padanya. Aku harus menepiskan egoku demi Arsen. Aku khawatir, tangis Arsen akan berkelanjutan."Hei, jagoan. Kenapa Sayang?" katanya pada Arsen, sambil menatap wajah Arsen. Ah Mas. Melihat caramu membujuk Arsen, membuat hatiku luluh. Kenapa Mas, kamu mengkhianati a
"Pak, kunci rumah yang di kebun mana?" Bapak tercengang melihatku. Bukannya langsung memberi kunci yang kuminta."Mana Pak?" tanyaku lagi. Mungkin, kalau ada yang melihat sikapku sama Bapak dan Ibu saat ini. Pasti akan menganggap aku orang yang tak tau bersopan santun pada orangtua. Biarlah, aku juga tak pandai pura-pura kalau aku baik-baik saja sekarang. Hatiku sakit, dan aku belum menemukan cara untuk mengobatinya.Bapak bangkit, tanpa bicara apa pun. Dia langsung masuk ke dalam rumah. Kuambil gawaiku, segera aku memesan taksi online. Ibu terus saja memperhatikanku, aku bisa melihatnya dari ekor mataku. Aku mengalihkan pandangan ke halaman rumah. Malas melihat Ibu yang sepertinya ingin mengajakku bicara. Tak ada yang perlu dibicarakan sama Ibu.Paling mau minta maaf, dengan alasan khilaf. Khilaf kok menikmati?!Mas Bima keluar dengan membawa tas besar yang aku yakin berisi baju-bajunya. Diambil alihnya koper yang aku letakkan di pinggir teras."Ini kuncinya." Bapak keluar rumah,