Airmata terus merembes dari sudut mataku. Ya Tuhan, jangan ada apa-apa dengan anakku.
"Alhamdulillah, anaknya terlahir sempurna. Laki-laki. Hanya karena lahir prematur, sementara ini, dimasukkan ke inkubator dulu ya," kata Dokter Karmila sambil tersenyum penuh arti.
Allah, alhamdulillah. Rasa bahagia segera mengaliri relung hatiku, kala mendengar kata-kata Dokter Karmila.
Airmata kesedihan yang tadinya mengalir deras, kini mengalir lebih deras karena rasa haru sedang merajai hatiku.
Syukurlah Nak. Kamu selamat. Tanpa kamu, Bunda nggak akan sanggup menghadapi semua ini. Demi kamu Nak, Bunda akan kuat menghadapi badai yang sedang memporak porandakan keluarga kita.
"Ya sudah, saya tinggal dulu ya," ucap Dokter Karmila.
"Saya ingin lihat anak saya, Dok," kataku sebelum Dokter berwajah manis itu keluar dari ruangan tempat aku dirawat.
"Sabar ya Bu. Bayinya sehat kok, tak ada masalah apapun dengan kesehatannya. Paling hanya dua atau tiga hari saja di inkubator. Besok, Ibu bisa minta ditemani suster untuk melihat bayi Ibu," jelas Dokter Karmila.
Leganya hatiku, anakku ternyata baik-baik saja meski terlahir prematur.
Perutku terasa nyeri, mungkin efek dari bius mulai menghilang. Tapi, lebih nyeri hatiku saat melihat wajah Mas Bima dan Ibu yang terlihat biasa saja. Munafik kalian!
"Pak, nanti … kalau pulang dari rumah sakit. Divya mau pulang ke kampung, ke rumah Nenek," kataku, sambil meringis menahan perih di perutku.
"Kenapa? Kasihan nenekmu sudah sepuh. Nanti jadi repot. Di rumah kan ada Ibu, yang bisa ngurusin kamu juga bayimu," ucap Bapak lembut.
Pak, bagaimana cara Divya menjelaskan sama Bapak tentang hubungan terlarang Ibu dan Mas Bima? Apa Bapak bisa menerima kenyataan? Bahkan aku saja hampir tak bisa menguasai diriku.
"Iya, ibu senang kok, kalau ikut ngurusin cucu," kata Ibu. Tangannya ingin mengusap keringat yang mengalir di keningku, namun langsung kutepis dengan kasar.
Sejenak aku lupa, kalau dia adalah ibuku. Sekarang bagiku, dia tak ubahnya perempuan hina yang tak pantas menyentuhku. Apalagi anakku.
Kulirik wajah Ibu tampak menyesal. Sayang, semua sudah terlambat. Aku sudah kehilangan hormatku padanya. Aku tau, sebesar apapun kesalahan orangtua, sebagai anak, kita tetap harus memaafkan. Tapi … apakah kesalahan Ibu, mampu untuk dimaafkan? Dengan mata kepalaku sendiri, aku menyaksikan dia berbagi peluh dengan suamiku, menantunya.
CIHH! Sangat ingin aku meludahi dan menampar wajahnya saat ini. Tapi, belenggu kata durhaka masih menahanku. Seandainya Mas Bima melakukan perbuatan itu bukan dengan Ibu, mungkin aku sudah habis-habisan menghajarnya. Mencakar wajahnya, menjambak rambutnya, bahkan mungkin menelanjangi dirinya di muka umum.
Astaghfirullah. Ya Allah, tolong redam amarahku, jangan sampai setan benar-benar menguasai hatiku.
"Mas juga akan jauh kerjanya, kalau kamu di rumah Nenek. Nggak mungkin kan, kamu Mas tinggal disana, tanpa–"
"Aku bisa tanpa kamu!" tegasku langsung memotong ucapannya yang sok sayang dan perhatian itu.
"Ada apa sama kamu Nak? Kenapa kamu kasar begitu sama suamimu? Ibumu tak pernah memberi contoh buruk. Kamu lihatkan, selama ini, apa pernah ibumu kasar sama Bapak?" tanya Bapak.
Ya Allah Pak. Alangkah naifnya dirimu. Apakah Bapak masih akan tetap memuji Ibu, kalau Bapak tau, perbuatan yang ibu lakukan?
"Kalau kamu ada masalah sama Bima, selesaikan baik-baik. Kalian sudah punya anak. Jangan sampai, masalah rumah tangga kalian berpengaruh sama anak kalian," nasehat Bapak.
Pak, seandainya Bapak tau. Apa Bapak bisa sebijak ini? Kenapa rasanya jadi banyak pertanyaan yang tersemat di hatiku?
Bibirku bergetar tak mampu menjawab pertanyaan Bapak. Hanya air mata yang kembali mengalir deras dari sudut mataku yang mewakili jawaban, bahwa aku sakit yang teramat sangat di hati ini.
"Ya sudah, kalau kamu belum mau cerita sama Bapak," kata Bapak sambil menghela nafas. Tatapannya sangat teduh, saat melihatku. Bapak juga masih enggan untuk bertanya lebih lanjut. Mungkin karena kondisiku yang belum memungkinkan.
"Kalau kamu maunya dirawat di rumah Nenek. Nanti, kalau sudah keluar dari rumah sakit, biar diantar kesana ya." Syukurlah aku punya Bapak yang sangat pengertian.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Kamu yakin, nggak perlu ditemani Bima?" tanya Bapak, ketika Bapak, Ibu dan Mas Bima hendak pulang ke rumah kami. Aku memilih tinggal di rumah nenekku. Alam pedesaan yang sejuk, kuharapkan juga dapat menyejukkan hatiku.
"Iya Pak," jawabku singkat sambil memaksakan seulas senyum manis di bibirku.
"Jangan angkat yang berat-berat, kalau ada perlu apa-apa, panggil, juga minta tolong sama Bik Sum," pesan Bapak.
Bapak sengaja meminta Bik Sum untuk membantu mengurusku dan bayiku di rumah Nenek. Sebenarnya di rumah Nenek ada juga seorang yang bantu-bantu di rumah. Namanya Bulek Ratmi. Usianya lebih muda lima tahun dari Bapak. Tapi cukup gesit, gerakannya. Dia sudah ikut membantu pekerjaan Nenek di rumah, sejak masih usia muda. Kata Bapak, sejak Bapak masih SMP. Mbak Ratmi yang dulu tak bersekolah, terpaksa membantu orangtuanya dengan bekerja di rumah Nenek.
Bulek Ratmi sudah seperti anak Nenek sendiri. Bulek juga sangat sayang sama aku. Sudah kayak anaknya sendiri. Apalagi Bulek tetap melajang di usianya yang tak lagi muda itu. Entah apa sebabnya, Bulek Ratmi tak menikah. Padahal, Bulek Ratmi memiliki paras yang lumayan manis. Aku yakin, di saat dia usia muda, pasti banyak yang ingin mendekatinya.
"Divya, jangan lama-lama di sini. Ibu kesepian di rumah kalau nggak ada kamu," kata Ibu, membuat mataku hanya melirik tajam padanya. Ibu tampak kikuk, dia berusaha tersenyum, tapi tampak seperti seringai di mataku.
Aku yakin, saat ini hati Ibu dan Mas Bima pasti sedang kegirangan sekali. Tak ada aku di rumah, tak ada Bik Sum. Mereka pasti akan bebas dan lebih liar lagi. Tak ada yang mengawasi lagi.
Persetan dengan itu, aku tak perduli. Yang kupikirkan hanya Bapak. Apa jadinya, kalau perselingkuhan Mas Bima dan Ibu terbongkar?
"Divya, Mas akan kesini setiap hari Sabtu setelah pulang kerja," kata Mas Bima.
"Tak perlu!" ketusku. Dia jadi tampak salah tingkah. Mungkin malu karena aku ketus di depan keluargaku.
Apalagi Nenek, Bulek Ratmi juga Bik Sum juga ikut bergabung bersama kami.
"Divya, ojo ngono toh Ndok. Ra apik, marah karo bojo nang ngarep wong liyo." (Divya, jangan begitu Nak. Tak baik, marah sama suami, di depan orang lain) Nenek menegurku, karena aku sudah kasar sama Mas Bima.
Aku tak berani membantah Nenek. Hanya diam, dengan mata memandang tajam pada Mas Bima. Dia tertunduk salah tingkah, tak berani membalas tatapanku.
"Ojo dipelototi bojomu. Wong wedok, kok arepe maraaah wae." (Jangan dipelototi sumimu. Perempuan, kok maunya maraaaah aja) Lagi lagi Nenek menegurku. Cepat aku membuang pandang ke arah hamparan sawah hijau yang ada di sekeliling rumah Nenek.
Aku tak bisa menutupi rasa marahku. Aku tak bisa bermanis-manis wajah di hadapan Ibu dan Bima. Meskipun lidahku juga masih enggan untuk mengatakan yang sebenarnya.
"Sebaiknya, acara penabalan nama juga aqiqah anakmu diadakan di rumah. Jangan di rumah Nenek," kata Bapak.
Aku tak menjawab, karena aku sendiri masih bingung. Langkah apa yang harus kuambil setelah ini? Haruskah aku dengan lapang dada memaafkan perbuatan ibu dan Mas Bima? Atau memilih berpisah darinya?
Aku tak tau, entah sudah berapa lama perbuatan itu mereka lakukan? Bisa jadi kan, mereka akan mengulangi lagi?
Aku tak takut menjalani hidup tanpa suami. Hanya saja, anakku yang menjadi pertimbangan. Haruskah dia tumbuh tanpa ada kehadiran sosok ayahnya?
Bagaimana caraku menyampaikan semua ini sama Bapak? Kalau keputusanku akhirnya berpisah dari Mas Bima. Bagaimana kalau berita ini sampai beredar? Tentunya nama baik Bapak sebagai kepala desa teladan akan tercoreng. Bapak sudah akan pensiun. Di akhir masa tugasnya, seharusnya beliau tak dihadapkan pada masalah pelik seperti ini.
Lalu, bagaimana dengan aku sendiri? Aku seorang tenaga pendidik. Yang mengajarkan tentang akhlak yang baik pada murid-muridku. Apa kata orang, kalau mereka tau, nyatanya akhlak suami dan ibuku sangat bobrok? Ah entahlah. Aku menjadi sangat gamang menatap masa depan.
Tegar Divya, kamu harus tegar. Kamu harus berani. Jangan jadikan anakmu dan Bapakmu alasan untuk bertahan. Kamu akan menderita seumur hidup, kalau memberi kesempatan pada laki-laki tak setia itu. Bahkan dengan ibumu sendiri dia berani berkhianat. Apa kabar di luar sana? Bisa jadi, dia sudah menebar benih kemana-mana?
Come on Divya, jangan lemah. Aku menyemangati diriku sendiri. Benar, aku tak mau harga diriku diinjak-injak. Aku yakin, mereka akan sesuka hati padaku kalau aku memberi kesempatan.
"Divya," panggil Bapak sambil menyentuh bahuku.
"Daritadi Bapak panggil, kamu malah melamun," kata Bapak.
"Seminggu atau dua minggu lagi. Kami jemput. Pokoknya Bapak nggak mau tau. Acara penabalan nama juga aqiqah harus diadakan di rumah. Sekalian Bapak mau buat acara perpisahan, karena Bapak pensiun," sambung Bapak.
"Iya Pak," kataku. Aku tak mau membantah Bapak.
Bapak orang yang sangat bijaksana, dia pasti mengerti dan mau menerima dengan keputusanku nanti.
★★★KARTIKA DEKA★★★
"Mbak Divya, Arsen sepertinya haus. Dia nggak mau minum susu lagi," kata Bik Sum gang baru datang dari arah dalam rumah. "Oh iya Bik. Sebentar lagi saya ke kamar," sahutku. "Maaf ya Bripda, saya mau ke dalam dulu," pamitku pada Bripda Farhan. Agak sedikit sungkan juga sih. "Oh silahkan. Tapi sebelumnya, saya boleh minta izin?" Kutahan langkah kakiku yang hendak pergi dari hadapannya. "Minta izin apa Bripda?" "Maaf sebelumnya kalau pertanyaan saya kurang sopan. Apakah masa iddah kamu sudah selesai? Kalau sudah, bolehkah saya menjalin silaturahim melalui hape?" Agak lucu aku mendengar pertanyaannya. Mungkin maksudnya, dia ingin menelepon aku. "Um … maksudnya sebagai sahabat," katanya agak gugup. "Baru saja selesai. Boleh saja kalau ingin menjadi sahabat saya," jawabku. Senyumannya langsung merekah sempurna. "Saya ke dalam dulu ya Bripda." Aku pamit. Takut Arsen mengamuk karena terlalu lama menunggu. Saat sampai di kamar, Arsem yang melihatku langsung menangis manja. Kuraih t
Bu Mega sangat aktif mengajak Bunda berbincang. Cukup membuatku terharu juga. "Kami nggak bisa lama-lama Divya. Takut kemalaman di jalan," kata Bu Mega padaku."Oh iya Bu. Sebentar saya ambilkan surat kuasanya." Aku segera bergegas mengambil surat kuasa yang sudah selesai kubuat tadi sore dan sudah ditanda tangani di atas materai. Aku kembali lagi ke ruang tamu dan memberikan surat itu ke tangan wanita berkacamata minus yang cukup tebal ini. Bu Mega memeriksa isi surat kuasa yang kubuat. "Ok. Berdoa ya, semoga besok hakim bisa memutuskan hukuman yang tepat untuk para tersangka," kata Bu Mega. "Aamiin. Semoga Bu. Saya terima apapun keputusan hakim. Kalau dirasa tak sebanding dengan perbuatannya, biarkan saja, tak perlu ajukan banding lagi. Saya capek, saya hanya ingin tenang sekarang. Mudah-mudahan, hukuman yang mereka terima, benar-benar menjadi pelajaran berharga buat mereka, supaya tidak mengulangi lagi di kemudian hari," kataku. Bu Mega tersenyum. "Kamu besar hati sekali. Jaran
#Menjelang sidang keduaAku sudah menghubungi Bu Mega, membicarakan tentang rencanaku untuk mencabut gugatanku terhadap Bu Malikah. Sebenarnya prosesnya lebih rumit, karena kasus sudah sampai ke meja persidangan. Aku harus menyatakan langsung di depan hakim kalau aku mencabut gugatan terhadap Bu Malikah. Itupun kalau hakim berkenan mengabulkan atas persetujuan tergugat. Mengingat juga, tersangka lebih dari satu orang. Tak apalah sedikit repot, kalau memang begitu prosedurnya. Hari demi hari terus berlalu. Aku juga masih tetap di kampung. Urusan kebun kuserahkan sepenuhnya pada Mas Bagus, agar aku bisa fokus dengan sidang, juga fokus menghabiskan sisa waktu bersama Bunda. Semakin hari kondisi Bunda semakin drop. Dia bersikeras tak mau dibawa ke rumah sakit. Katanya, dia ingin meninggal dengan seluruh keluarga ada di sampingnya. Bunda beralasan, percuma ke rumah sakit. Tak ada lagi obat yang bisa mengatasi penyakitnya. Dia tak mau jauh dari Arsen. Tau sendiri, kalau Bunda dirawat di r
#Ibu depresiTak perlulah aku menceritakan semuanya kasihan Bunda bila terseret dalam kasus ini. Biar semua itu menjadi rahasia bagi kami yang sudah mengetahuinya. Aku juga tak mau mengungkap, kalau karena masalah itu, Ibu Malikah sampai berulangkali melakukan perselingkuhan dengan orang-orang yang berbeda. "Saya nggak tau Bu. Hal seperti itu sangat pribadi. Hanya Ibu saya yang mengetahuinya," jawabku menutupi hal yang sebenarnya. Aku juga tak mau bilang, kalau Bu Malikah berbohong. Aku bertumbuh sebagai anaknya, bagaimanapun, di sudut hatiku yang lain, aku merasa tak sampai hati padanya setelah aku mengetahui cerita yang sebenarnya. Bu Mega bangkit dari duduknya. "Keberatan Yang Mulia," kata Bu Mega pada hakim, untuk menentang kata-kata Ibu. "Hal yang diungkapkan oleh Bu Malikah adalah masalah intern dia dan Pak Chandra. Seharusnya, sebagai seorang istri, Bu Malikah mencari solusi atas permasalahan yang mereka hadapi. Bukan justru menghancurkan suaminya," papar Bu Mega. Aku sang
#Semakin membaikUstad Mahmud sudah pulang kembali ke rumahnya. Kini hanya tinggal kami saja di rumah. Mas Bagus kuminta melihat kebun yang ada di sini, daripada dia bosan menunggu kami."Mbak. Arsen sudah bangun," kata Bik Sum. Kebetulan dia sedang melintas Dari dapur, aku sengaja membiarkan pintu kamar terbuka, jadi kalau Arsen bangun, kami akan segera mengetahuinya. Aku bangkit meninggalkan Bunda yang kembali tidur. Sementara Nenek juga masuk ke kamarnya. Tak bisa dipungkiri, pasti Nenek merasa terpukul atas kenyataan yang baru didengar. Tinggal Bulek Ratmi yang masih menemani Bunda sambil membaca masalah wanita zaman dulu yang sudah entah berapa kali dia baca. Yang kupahami dari pengakuan Bunda. Bundalah penyebab semua ini. Ini seperti kasus berantai, saling terkait antara satu dan yang lainnya. Bunda yang sakit hati sama Kakek, membuat Bapak menjadi suami yang tak bisa memenuhi nafkah batin Ibu Malikah. Ibu Malikah yang kecewa, menduga Bapak tak bisa mencintainya dan tak bisa m
#Bunda diruqyahSetelah berbasa basi sebentar. Ustad Mahmud permisi numpang sholat. Setiap akan mulai mengobati, Ustad Mahmud memulainya dengan sholat Sunnah terlebih dahulu. "Kita mulai ya Bu. Ingat, ikhlaskan semua hal yang membebani hati Ibu. Lepaskan semuanya, maafkan orang-orang yang Ibu anggap telah menyakiti Ibu. Sejatinya, kalau Ibu benar-benar mau sembuh, harus Ibu sendiri yang memohon dengan hati Ibu kepada Allah untuk menyembuhkan. Saya hanya membantu saja," kata Ustad Mahmud pada Bunda. Bunda hanya mengangguk menjawabnya. Ustad Mahmud menggunakan sarung tangan, beliau mulai mengarahkan tasbihnya ke arah Bunda dan mulai melantunkan ayat-ayat suci. Bacaannya begitu tartil dan merdu, hingga membuat merinding yang mendengar.Bunda tampak biasa saja, tidak ada reaksi apapun. Sampai saat dipertengahan Ustad Mahmud membaca doa ruqyah, Bunda mulai gelisah. Matanya liar kesana kemari. Agak terkejut kami melihat reaksinya. "Errgghhh errggghhh." Bunda tiba-tiba menggeram, seperti