#Penggerebekan 2Aku mencoba mendekat, ya Allah, itu benaran Ibu. Teganya dia. Padahal Bapak sudah bersedia memberi apa yang mau. Dasar serakah!Aku melihat mereka yang sudah dikepung, meletakkan kedua tangan di belakang kepalanya. Bapak dengan wajah geram mendekati mereka.PLAKKPLAKKPLAKKSemuanya dihadiahi satu tamparan keras di pipi mereka. Termasuk Ibu. Mereka tak berani berkutik. Hanya Ibu yang menatap tajam Bapak. Barang bukti ada di depan mata, pun sudah tak lagi bisa lari. Mereka sudah dikepung dari segala arah. Personil yang dibawa Om Anton jauh lebih banyak jumlahnya dari mereka."Kurang ajar kalian!" kata Bapak. Tak ada lagi kalimat yang bisa diungkapkan untuk menggambarkan kekecewaan Bapak sama orang-orang kepercayaannya."Ma–ma–af Pak, sa–saya ha–hanya ikut-ikutan." Tiba-tiba Bang Nasib berlutut di kaki Bapak. "Saya juga Pak." Kak Munah juga ikut berlutut. Tapi semua sudah terlambat. Proses hukum sudah berjalan. Bapak membelakangi mereka, sementara Om Anton dan person
#Pemakaman BapakKami tiba di kampung menjelang Subuh belum banyak para pelayat yang datang. Masih tetangga terdekat saja, yang mungkin segera di kasih tau oleh Bulek Ratmi. Nenek langsung histeris menyambut kedatangan kami. Dirangkulnya tubuh Bapak kuat-kuat, saat petugas ambulance sudah membaringkan tubuh Bapak di atas tilam yang sudah disiapkan. "Oalah Chan, nopo ra Ibu sing ndesekan." Nenek bilang, kenapa nggak Nenek yang lebih dulu dipanggil."Bu, ndak boleh gitu. Kasihan Mas Chandra." Bulek Ratmi berusaha menenangkan Nenek. Bulek Ratmi pun merasakan duka yang mendalam.Aku tak bisa berkata apa-apa, selain menangis dan bersandar di dinding. Tubuhku terasa sangat lemas, tuangku terasa lolos semua dari raga ini. Kepergian Bapak begitu mendadak, tak ada dalam sangkaan kalau Mas Bima ternyata menyimpan senjata api."Chandra, tangi toh Le. Kamu kok tega ninggalin Ibu," ratap Nenek sambil membelai wajah Bapak, sangat memilukan. Wajah tuanya yang banyak dihiasi keriput kini bersimbah
#Disuruh membuat pengaduan"Bude, Anton langsung pulang ya. Bude jangan sedih terus, kasihan Mas Chandra." Om Anton berpamitan dengan Nenek tak lama setelah kami sampai di rumah. "Insha Allah, Bude ikhlas Ngger,' lirih Nenek dengan suaranya yang berat. Om Anton memeluk Nenek, Nenek mengisak dipelukan Om Anton. Mungkin Nenek merasa memeluk Bapak. Juga dengan ahli keluarga yang lain. Satu persatu keluarga meninggalkan kami, kembali ke rumahnya masing-masing. Om Anton melihatku dan memberi kode dengan mengangguk pelan untuk mengajakku bicara di luar. Om Anton lebih dulu jalan keluar, aku mengikutinya. "Divya, selepas tiga hari Bapak nanti. Kamu sebaiknya ke kantor polisi untuk membuat pengaduan. Itu kalau kamu mau Bima dihukum berat," ujar Om Anton."Baik Om. Divya juga ada saksi. Mungkin sebentar lagi datang," ucapku. "Divya, Om sangat salut dengan ketegaran kamu. Om sama sekali tidak menyangka, Bima itu ternyata ular," geram Om Anton."Om, bagaimana dengan Ibu?" "Mbak Malikah, hm
#Mas Bagus bersedia kembali"Kak, tasnya letak di kamar tamu aja. Yuk Divya antar." Aku mengajak Kak Sinta untuk meletak tas yang dibawa. Kak Sinta menurut dan mengekor di belakangku. Aku melihat Bik Sum keluar dari kamarku. "Arsen nggak rewel kan, Bik?" tanyaku."Nggak Mbak. Udah minum susu, Bibik gendong sebentar, langsung tidur," kata Bik Sum."Apa kabar Bik." Kak Sinta menegur Bik Sum. Bik Sum memperhatikan wajah Kak Sinta lekat-lekat. "Ya Allah, Sinta," kata Bik Sum, rona bahagia langsung terpancar dari wajahnya. Dan langsung merangkul Kak Sinta.Kelihatannya Bik Sum dan Kak Sinta cukup akrab. Dulu, waktu Mas Bagus belum di mutasi ke Kalimantan. Kalau Bapak ada acara kecil-kecilan, memang sering memanggil Kak Sinta juga istri beberapa karyawan untuk membantu menyiapkan acara. Terutama menyiapkan makanan juga berbagai kue. Bisa aja sih, Bapak pesan catering. Tapi kata Bapak. Bapak senang, kalau melihat keakraban karyawannya saat rewang. Mungkin itu juga, salah satu cara Bapak,
#fakta baruLebih baik aku ke rumah Bulek Menik, tetangga sebelah rumah. Bulek Menik masih ada hubungan kerabat dengan kami juga. Aku mau nanya sama dia, barangkali di dekat sini, ada yang jual kue-kue enak. Buat tahlilan nanti malam. Mumpung masih sore. Mau nanya Bulek Ratmi, orangnya lagi sensi. Apa Bulek Ratmi lagi PMS ya? Belum lagi sampe ke rumah Bulek Menik, aku melihat Bang Dion datang dengan berjalan kaki. Darimana dia? Aku terus memperhatikan dia, kuurungkan langkah kakiku demi menunggu Bang Dion. Dia tampak terkejut melihatku. Tapi berusaha tersenyum. Kelihatan sekali senyumnya dipaksakan. "Abang darimana?" tanyaku ketika dia sudah dekat, tinggal beberapa langkah lagi sampai ke tempatku. Tak sabar menunggunya sampai."Itu, dari sana," katanya terdengar ambigu, menunjuk arah belakangnya. "Dari sana mana?" tanyaku lagi. "Apa Abang pernah kesini?" dugaku. Barangkali ada yang dikenalnya disini."Oh. Nggak. Abang jalan-jalan aja. Lihat-lihat pemandangan di sini cantik sekali
#Tak dendam, namun tak mudah untuk melupakanPagi ini, aku akan ke kantor polisi membuat pengaduan seperti saran Om Anton. Aku berangkat bersama Kak Sinta dan Mas Bagus. Sementara Arsen kutitip dulu sama Bik Sum. Tak baik membawa anak bayi ke lapas. Sampai di kantor polisi, orang yang pertama kutemui adalah Om Anton. "Om, perkenalkan ini Mas Bagus dan istrinya." Aku mengenalkan Mas Bagus dan Kak Sinta pada Om Anton. "Kak Sinta ini adalah saksi yang ngasih tau Divya tentang perbuatan Mas Bima, Om. Dari dia lah Divya tau tentang gubuk tempat Mas Bima nimbun hasil kebun Bapak," jelasku. Diamini. kak Sinta."Kamu sudah lama tau?" tanya Om Anton pada Kak Sinta. "Sudah Pak," jawab Kak Sinta agak takut-takut."Kenapa.tidak segera dilaporkan pada Pak Candra waktu itu?" tanya Om Bagus. "Saya diancam Pak," kata Kak Sinta dengan wajah menunduk. "Om, ada yang belum Divya kasih tau. Kak Sinta ini ketakutan, di bawah ancaman Mas Bima, Om. Saat itu, Bapak juga lebih percaya sama Mas Bima. Sebe
#Pengacara yang mudah akrabSampai di rumah, hatiku sedikit terobati dengan dengan riangnya Arsen. Dia lah sekarang yang pengobat laraku. Arsensudah mulai asik diajak bercanda, juga sudah mulai aktif. Nak, walau kamu tumbuh tanpa ayahmu nanti. Bunda pastikan, kamu akan dipenuhi dengan cinta yang banyak dari Bunda. "Mbak, makan siang sudah siap," kata Bik Sum dari depan pintu kamarku."Iya Bik. Makasih ya," sahutku. Aku letakkan Arsen di strollernya. Selera makanku belum bisa kembali lagi, tapi aku harus semangat demi Arsen. Lagipula ada Kak Sinta dan Mas Bagus di sini. Mereka tamu di sini, aku tak mau dianggap tak menghormati tamu bila tak ikut makan bersama mereka. Mereka pasti akan sungkan kalau makan tanpa ada tuan rumah. Saat keluar dari kamar, aku melihat Mas Bagus juga baru masuk, sementara Kak Sinta membantu Bik Sum mempersiapkan makan siang kami. "Makan yuk Mas," ajakku pada Mas Bagus."Terima kasih Mbak," sahutnya."Kak Sinta, Bik Sum, kita makan bareng di cakruk belakang
#Belajar tentang kebun"Kalau soal itu, sudah berulangkali kami coba. Nggak ada yang cocok. Ada aja alasannya. Dijodohkan sama pariban, katanya nggak enak, nggak nambah saudara. Akhirnya orang tua kami sekarang pasrah, terserah dia maunya kayakmana, yang penting seiman. Janda pun nggak masalah, asal dilihat dulu, apa yang menyebabkannya menjadi janda," beber Bu Mega.Aku menelan saliva, ini perasaanku saja atau bukan ya. Kok kayaknya dia sedang mempromosikan adiknya padaku. Aih, kok jadi baper aku. Bukannya sok kecentilan. Buat apa Bu Mega cerita tentang Bripda Farhan tanpa ada maksud. Apalagi kami baru kenal."Kak!" panggil Bripda Farhan."Iya!" sahut Bu Mega."Ok Mbak Divya, saya balik dulu. Sebelum sopir saya itu pergi duluan karena ngambek kelamaan nunggu," kelakarnya. Bu Mega orangnya mudah akrab ternyata. Sepertinya akan menyenangkan, kerja bareng dia. "Saya akan menghubungi Mbak Divya, kalau ada hal yang diperlukan lagi," katanya lagi. "Panggil Divya saja Bu," kataku. "Ok Di