Tubuh Revo baru saja dikebumikan, dan di antara banyaknya orang yang mengantar Revo pulang ke rumah terakhirnya, hanya sosok Arga yang nampak paling terluka karena pria itu tidak bisa membantu untuk menguburkan jasad Revo. Traumanya masih melekat jiwanya, dia kesulitan berada di sekumpulan orang-oraang ramai, dan itu membuat Revo bergetar ketakutan belum lagi pikirannya yang terus tertuju pada malam penembakan Revo. Arga begitu pucat hanya bisa menatap melalui jendela mobil di dampingi Teresia yang nampak iba melihat pada suaminya. Napas Arga berhembus kuat, air mata terus terjatuh di pipi Arga tanpa pria itu sadari. Teresia sungguh tau bagaimana rasa sedih yang menggerogoti jiwa Arga saat ini. Dan sebagai istri, Teresia hanya bisa menggenggam kuat tangan Arga serta menguatkannya melalui kata-kata. "Kenapa saat itu aku tidak bisa menariknya! Aku sangat menyesalinya!!" Arga meninju sandaran kursi di depannya, dan itu membuat Teresia terkejut, Teresia dengan segera memeluk tangan A
Sudah hampir tiga bulan setelah kepergian Revo yang masih meninggalkan duka dan kesedihan di rumah Ayah Romi.Ayah Romi yang kini nampak lebih sering berada di ruang kerjanya. Keceriaan pria baya itu juga nampak menurun.Kehilangan Revo sungguh meredupkan cahaya pada Ayah Romi, Arga dan Teresia selalu menghibur Ayah, namun hal itu tak berlansung lama. Pria itu akan kembali pergi ke ruang kerjanga untuk merenung kembali."Apa Ayah masih belum mau keluar?" tanya Arga yang baru saja pulang dari kantornya pada Teresia yang membuka pintu.Teresia menggeleng pelan "Ayah keluar, tapi hanya untuk makan siang, lalu kembali masuk ke ruang kerjanya. Ayah masih sulit untuk terima kepergian Revo"Arga mengangguk, dia mencium kening Teresia dan menyerahkan tas kerjanya pada Teresia untuk dibawa wanita itu ke dalam kamar."Aku akan temui Ayah" Teresia mengangguk, lalu mengambil jalan yang berbeda dengan Arga. Pria itu pergi ke ruang kerja sang Ayah yang berada di lantai satu, sementara Teresia naik
Malam itu, Ayah Romi mengatakan bahwa ia akan lembur, dia mungkin tidak pulang ke rumah. Dan jawaban sang istri hanya berpesan bahwa Ayah Romi harus makan dan jangan terlalu keras bekerja. Hati Ayah Romi terasa begitu sesak untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya. Pulang dalam pikiran yang berantakan, Ayah Romi lansung masuk ke dalam rumahnya dan melihat bahwa semua lampu di rumah sudah gelap. Naik ke lantai atas, di mana kamarnya dan kamar Silvi berada, langkah Ayah Romi perlahan memelan dan jantungnya berdebar dengan begitu kuat saat ia bisa mendengar obrolan keduanya yang terjadi di atas ranjang. "Hidungnya seperti kamu" itu suara Adiknya, perasaan Ayah Romi begitu hancur mendengar jawaban Silvi yang menanggapi ucapan Adiknya tersebut. "Mana? Semua orang yang lihat anak ini juga pasti tau kalau wajahnya jiplak wajah kamu!" Suara kekehan Revo membuat hati Ayah Romi benar-benar tersayat. Hatinya hancur begitu saja dikhianati kedua orang yang paling ia sayang. "
"Mas!!!" Silvi berlari masuk ke dalam ruangan kerja Ayah Romi dengan kedua mata yang membanjiri pipinya. Dia sangat terkejut mendengar letusan pistol, dan saat menghampiri asal suara jantungnya seakan lepas dari tempatnya melihat Revo terbaring tak bernyawa dengan luka tembak di kepala pria itu. "Kamu membunuh adikmu?!" Ayah Romi tak bisa berbicara saat rasa terkejut dan syoknya masih menguasai dirinya. Dia masih terpaku tak bisa berpikir saat sentuhan di bahunya ia rasakan dan menoleh melihat Arga yang menatapnya dengan khawatir. "Ayah baik-baik saja?" Ayah Romi tersenyum dan mengangguk perlahan. Dia sudah kembali dari ingatan buruk masalalunya. "Lalu apa yang terjadi pada Ibu setelah melihat Adik Ayah itu merengut nyawa?" Ayah Romi diam sejenak, membayangkan kembali saat-saat itu hampir membuatnya gila. "Ibumu menolak untuk hidup bersama Ayah dan membesarkan kalian, dia justru memilih mati bersama Adikku yang bodoh itu. Katanya cinta sehidup semati" bisiknya miris sekaligus
Arga mencium dalam kening Teresia saat akhirnya wanita itu bisa tertidur. Mereka baru saja pulang dari rumah sait dan memeriksa kandungan Teresia. Ya! Istrinya kini tengah hamil, usia janinnya baru memasuki waktu dua belas minggu. Hati Arga membuncah sangat bahagia terlebih saat Dokter wanita itu menunjukan mereka foto USG janin di perut Teresia. Sejak ditunjukan foto tersebut, air mata Arga tak berhenti mengalir karena perasaan senang dan bahagia. Ohh, hari-hari menunggu kelahiran bayinya sangat Arga nantikan. "Teresia sudah tidur?" Arga menoleh melihat Ayahnya yang mengintip dari pintu kamar Arga. Arga mengangguk, ia menyalakan AC sebelum meninggalkan Teresia di kamar. Menghampiri Ayahnya yang mengajak ia untuk makan siang yang terlambat lebih dulu sembari membicarakan kebahagiaan yang kini menggulung hati mereka. "Ayah harus bisa kembali ceria lagi! Teresia jadi banyak berpikir karena selalu melihat Ayah murung dan menyendiri! Itu salah satu penyebab Ibu hamil stress kata Do
Teresia mengerjapkan kedua matanya, dia mendengar banyak orang berisik di dalam kamar, hingga membuatnya membuka kedua matanya. "Akhirnya pengantin wanitanya bangun" Kedua mata Teresia terbuka lebar dan menatap kaget pada beberapa wanita yang ada di dalam kamarnya. "Ka-kalian siapa?" Teresia melirik ke sampingnya di mana tempatnya Arga tidur, namun pria itu sudah tidak ada di sampingnya. "Yuk kita bersihkan tubuhnya, lalu berikan riasan yang sangat memukau seperti yang suaminya pesan" ujar salah satu wanita di antar keempat wanita yang berada di kamarnya namun ucapannya itu diiyakan oleh semuanya membuat Teresia mengerjap makin tak mengerti. "Yuk Mbak!" Teresia menolak saat tangannya ingin ditarik pelan menuju kamar mandi. "Kalian itu siapa?! Kenapa ada di sini?" Teresia waspada, dan merasa takut akan kehadiran para wanita asing di matanya ini. "Kami pegawai salon Mbak, dan mereka penata rias yang akan merias wajah anda" Teresia menggeleng pelan masih belum mampu mencerna ata
"Aku tidak pernah melihatnya bisa tertawa lepas seperti itu" ujar Arga menatap dengan binar bahagia ke arah Teresia yang tertawa lepas dengan teman-teman wanitanya. "Kamu bisa mencari kontak teman-teman Teresia, dari mana kamu mendapatkannya?" tanya Ayahnya yang nampak penasaran bagaimana bisa Arga merencanakan pesta ini dengan sangat mendetail. "Di ponselnya aku melihat hanya ada dua orang temannya dan itu pun mereka jarang sekali mengirim pesan, namun karena aku rasa dia akan senang jika teman sekolahnya hadir di sini jadi aku meminta dua temannya itu menginfokan pada seluruh teman kelasnya untuk datang dan memeriahkan pernikahanku ini" Ayah Romi tertawa dan mengacak rambut Arga dengan perasaan senangnya. "Kamu benar-benar berbakat membuat Teresia bahagia" Arga tersenyum hangat dan pandangannya tak lepas pada Teresia yang masih asik berkumpul dengan teman-teman wanitanya. Pandangan Arga perlahan menyipit tajam saat ada seseorang pria yang mendekati istrinya dan berjabat tangan
Kehamilan Teresia sudah memasuki minggu ke-24. Banyak yang terjadi belakangan hari ini dari seringnya wanita itu terbangun di tengah malam untuk meminta Arga mencarikan makanan-makanan aneh yang Teresia inginkan hanya dari mimpinya. Pernah saat Arga besok paginya harus pergi meeting ke luar kota, namun Teresia membangunkannya memintanya mencarikan ia batangan coklat namun yang terbuat dari stroberi dan bukan coklat. Tengah malam dan Arga harus mencarinya kemana?Lalu saat kembali dan membawakan coklat dengan perisai stroberi, pria itu disalahkan dan hasil akhirnya adalah Teresia akan mengurung dirinya di kamar mandi untuk menangis. Meski saat keluar dari kamar mandi Teresia akan memakan coklat yang Arga berikan. Arga mau marah, dia sangat mengantuk namun dia bisa apa?Teresia sedang hamil anaknya dan tidak mungkin dia bisa marah pada Teresia. Meski setelah makan, Teresia akan kembali dalam mood yang baik dan meminta Arga untuk memeluknya sepanjang malam. Juga saat keesokan hari