Malam itu, Ayah Romi mengatakan bahwa ia akan lembur, dia mungkin tidak pulang ke rumah. Dan jawaban sang istri hanya berpesan bahwa Ayah Romi harus makan dan jangan terlalu keras bekerja. Hati Ayah Romi terasa begitu sesak untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi di rumahnya. Pulang dalam pikiran yang berantakan, Ayah Romi lansung masuk ke dalam rumahnya dan melihat bahwa semua lampu di rumah sudah gelap. Naik ke lantai atas, di mana kamarnya dan kamar Silvi berada, langkah Ayah Romi perlahan memelan dan jantungnya berdebar dengan begitu kuat saat ia bisa mendengar obrolan keduanya yang terjadi di atas ranjang. "Hidungnya seperti kamu" itu suara Adiknya, perasaan Ayah Romi begitu hancur mendengar jawaban Silvi yang menanggapi ucapan Adiknya tersebut. "Mana? Semua orang yang lihat anak ini juga pasti tau kalau wajahnya jiplak wajah kamu!" Suara kekehan Revo membuat hati Ayah Romi benar-benar tersayat. Hatinya hancur begitu saja dikhianati kedua orang yang paling ia sayang. "
"Mas!!!" Silvi berlari masuk ke dalam ruangan kerja Ayah Romi dengan kedua mata yang membanjiri pipinya. Dia sangat terkejut mendengar letusan pistol, dan saat menghampiri asal suara jantungnya seakan lepas dari tempatnya melihat Revo terbaring tak bernyawa dengan luka tembak di kepala pria itu. "Kamu membunuh adikmu?!" Ayah Romi tak bisa berbicara saat rasa terkejut dan syoknya masih menguasai dirinya. Dia masih terpaku tak bisa berpikir saat sentuhan di bahunya ia rasakan dan menoleh melihat Arga yang menatapnya dengan khawatir. "Ayah baik-baik saja?" Ayah Romi tersenyum dan mengangguk perlahan. Dia sudah kembali dari ingatan buruk masalalunya. "Lalu apa yang terjadi pada Ibu setelah melihat Adik Ayah itu merengut nyawa?" Ayah Romi diam sejenak, membayangkan kembali saat-saat itu hampir membuatnya gila. "Ibumu menolak untuk hidup bersama Ayah dan membesarkan kalian, dia justru memilih mati bersama Adikku yang bodoh itu. Katanya cinta sehidup semati" bisiknya miris sekaligus
Arga mencium dalam kening Teresia saat akhirnya wanita itu bisa tertidur. Mereka baru saja pulang dari rumah sait dan memeriksa kandungan Teresia. Ya! Istrinya kini tengah hamil, usia janinnya baru memasuki waktu dua belas minggu. Hati Arga membuncah sangat bahagia terlebih saat Dokter wanita itu menunjukan mereka foto USG janin di perut Teresia. Sejak ditunjukan foto tersebut, air mata Arga tak berhenti mengalir karena perasaan senang dan bahagia. Ohh, hari-hari menunggu kelahiran bayinya sangat Arga nantikan. "Teresia sudah tidur?" Arga menoleh melihat Ayahnya yang mengintip dari pintu kamar Arga. Arga mengangguk, ia menyalakan AC sebelum meninggalkan Teresia di kamar. Menghampiri Ayahnya yang mengajak ia untuk makan siang yang terlambat lebih dulu sembari membicarakan kebahagiaan yang kini menggulung hati mereka. "Ayah harus bisa kembali ceria lagi! Teresia jadi banyak berpikir karena selalu melihat Ayah murung dan menyendiri! Itu salah satu penyebab Ibu hamil stress kata Do
Teresia mengerjapkan kedua matanya, dia mendengar banyak orang berisik di dalam kamar, hingga membuatnya membuka kedua matanya. "Akhirnya pengantin wanitanya bangun" Kedua mata Teresia terbuka lebar dan menatap kaget pada beberapa wanita yang ada di dalam kamarnya. "Ka-kalian siapa?" Teresia melirik ke sampingnya di mana tempatnya Arga tidur, namun pria itu sudah tidak ada di sampingnya. "Yuk kita bersihkan tubuhnya, lalu berikan riasan yang sangat memukau seperti yang suaminya pesan" ujar salah satu wanita di antar keempat wanita yang berada di kamarnya namun ucapannya itu diiyakan oleh semuanya membuat Teresia mengerjap makin tak mengerti. "Yuk Mbak!" Teresia menolak saat tangannya ingin ditarik pelan menuju kamar mandi. "Kalian itu siapa?! Kenapa ada di sini?" Teresia waspada, dan merasa takut akan kehadiran para wanita asing di matanya ini. "Kami pegawai salon Mbak, dan mereka penata rias yang akan merias wajah anda" Teresia menggeleng pelan masih belum mampu mencerna ata
"Aku tidak pernah melihatnya bisa tertawa lepas seperti itu" ujar Arga menatap dengan binar bahagia ke arah Teresia yang tertawa lepas dengan teman-teman wanitanya. "Kamu bisa mencari kontak teman-teman Teresia, dari mana kamu mendapatkannya?" tanya Ayahnya yang nampak penasaran bagaimana bisa Arga merencanakan pesta ini dengan sangat mendetail. "Di ponselnya aku melihat hanya ada dua orang temannya dan itu pun mereka jarang sekali mengirim pesan, namun karena aku rasa dia akan senang jika teman sekolahnya hadir di sini jadi aku meminta dua temannya itu menginfokan pada seluruh teman kelasnya untuk datang dan memeriahkan pernikahanku ini" Ayah Romi tertawa dan mengacak rambut Arga dengan perasaan senangnya. "Kamu benar-benar berbakat membuat Teresia bahagia" Arga tersenyum hangat dan pandangannya tak lepas pada Teresia yang masih asik berkumpul dengan teman-teman wanitanya. Pandangan Arga perlahan menyipit tajam saat ada seseorang pria yang mendekati istrinya dan berjabat tangan
Kehamilan Teresia sudah memasuki minggu ke-24. Banyak yang terjadi belakangan hari ini dari seringnya wanita itu terbangun di tengah malam untuk meminta Arga mencarikan makanan-makanan aneh yang Teresia inginkan hanya dari mimpinya. Pernah saat Arga besok paginya harus pergi meeting ke luar kota, namun Teresia membangunkannya memintanya mencarikan ia batangan coklat namun yang terbuat dari stroberi dan bukan coklat. Tengah malam dan Arga harus mencarinya kemana?Lalu saat kembali dan membawakan coklat dengan perisai stroberi, pria itu disalahkan dan hasil akhirnya adalah Teresia akan mengurung dirinya di kamar mandi untuk menangis. Meski saat keluar dari kamar mandi Teresia akan memakan coklat yang Arga berikan. Arga mau marah, dia sangat mengantuk namun dia bisa apa?Teresia sedang hamil anaknya dan tidak mungkin dia bisa marah pada Teresia. Meski setelah makan, Teresia akan kembali dalam mood yang baik dan meminta Arga untuk memeluknya sepanjang malam. Juga saat keesokan hari
"Aku gak mau yang ini! aku mau yang beruang pink itu di tengah" Teresia menunjuk dengan penuh kekesalan pada Arga yang sedari tadi tak mendapatkan apa yang dia inginkan. "Susah Teresia! Kamu aja coba yang ambil!" Arga menyerah dan memberikan mesin capit boneka itu untuk Teresia. Mungkin sudah ada dua jam mereka hanya bermain alat capit demi mendapatkan apa yang Teresia inginkan. Boneka yang Teresia inginkan itu berada di bawah tumpukan boneka lainnya, dan jelas itu mustahil untuk bisa ia dapatkan. "Kamu 'kan bilang mau melakukan apa aja buat aku! Masa ambil boneka yang aku mau aja gak bisa!" Teresia melipat kedua tangannya kesal dan menghentakkan kakinya ke atas tanah. "Aku beli aja ya, aku gak bisa jika harus mengambilnya dari mesin capit ini" Teresia menggeleng menolak "kamu gak mau berjuang buat aku?! Aku jadi ragu sama pernyataan cinta kamu itu! Kamu pasti gak bener cinta sama aku, kalo soal permainan capit ini aja kamu gak mau sedikit berjuang untuk aku!" Kepala Arga bena
"Kita duduk dulu ya?" Arga nampak khawatir melihat Teresia yang sudah banyak berkeringat namun masih terus menginginkan berjalan. Teresia menolak, dia meminta botol air yang selalu Arga bawa. "Perut aku sakit lagi, ahh bayi kamu aktif banget" bisik Teresia mendesis sakit saat kontraksinya kembali menyerangnya. Arga ikut berkeringat, dirinya sendiri sangat khawatir. "Kamu benar gak mau sesar aja? Aku khawatir banget" ujar Arga mengusap-usap perut Teresia dan ia bisa merasakan bagaimana bayinya yang senantiasa menendangnya. "Apa sakit?" tanya Arga saat mendengar desisan Teresia saat bayi di perutnya menendang ke bawah telapak tangannya. "Lumayan" "Sesar-""Arga stop! Aku udah pembukaan enam! Aku gak mau sesar!!" Teresia mendengus kesal jika setiap kekhawatiran Arga selalu mengusulkan dia untuk operasi sesar. "Aku mau kembali ke kamar! Kamu pegangin aku, ini sakit banget" ujarnya lirih dan mengusap-usap perutnya pelan. ***"Ahh ini sakit banget!!" Teresia benar-benar ingin sekal