Share

Mama Yang Aneh

"Saya terima nikah dan kawinnya Mirah Delima binti Cahaya Mulia dengan mas kawin tersebut di atas tunai!" 

Lagi dan lagi, aku memutar video saat Mas Arfen melakukan ijab qabul. Mengikrarkan janji suci, sehidup semati. Masih terasa sakralnya walaupun sudah hampir dua minggu berlalu. Sungguh dan mungkin akan terus terasa sakral sampai tetes darah penghabisan. 

"Bagaimana, para saksi, sah?"

"Sah, sah, sah …!" 

Dalam video itu Mas Arfen menyeka air mata dengan sapu tangan biru laut polos. Wajah tampannya terlihat pucat, berkeringat namun sorot mata elang memancarkan rona kebahagiaan yang begitu besar. Detik berikutnya, bangkit dari tempat duduk lalu bersujud di lantai gedung LOVE, tempat istimewa pilihan kami. 

Ah, tak terasa air mata haruku menetes lagi. Berjatuhan. Romantis sekali suasana di dalam video pernikahan kami. So sweet, beautiful. Lihat, lihatlah betapa lembutnya ketika Mas Arfen memandangku. Terutama saat menyentuhkan kecupan di kening. Lembut sekali, menenteramkan. 

"Hem! Tiap hari kok, kerjanya main HP saja?" teguran keras Mama serta merta menghentikan kegiatanku menonton video. Secepat mungkin menyentuh panel pause lalu

memperhatikan Mama. Tidak bisa sepenuhnya memperhatikan, sih. Seluruh diriku masih tertinggal di hari Jumat, 22 Juli 2022. Our wedding party. "Pantas, nggak bisa ngurus kerjaan rumah! Orang yang ditonton cuman video nikahannya saja. Nggak bosan apa? Lagian, emang nonton video saja bisa bikin hidup serba kecukupan? Nggak, kan?"

Karena bingung harus bagaimana---sejujurnya aku lebih dari syok di sini---aku memilih diam. Meredam rasa sakit yang berdenyut-denyut, menghibur diri. 

"Eh, tapi kalau kamu cerdas, Mirah … Bisa kok, belajar di intenet. Artikel banyak, video juga banyak. Cari saja tutorial mengurus rumah tangga, sebanyak-banyaknya. D******d terus kamu tonton. Sesederhana itu lho, buat jadi pintar. Nggak harus bersusah-susah ke luar rumah." dengan jumawanya Mama mengibas-ngibaskan tangan.

Mungkin karena aku masih diam, Mama melanjutkan, "Ah, sudahlah! Nggak ada artinya juga ngomong sama patung. Anak kok, nggak ada sopan-sopannya. Diajak ngomong orangtua kok, malah diam saja? Mendingan masuk kamar, nonton TV, buat hiburan! Hari gini, lansia juga harus happy, bebas dari tekanan!"

Ugh! 

Rasanya ingin sekali mendorong Mama sampai jatuh berguling-guling di lantai tapi sayangnya itu Mama. Mustahil, kan? Terlalu berbahaya.

"Oh ya, Mirah, jangan lupa tunggu Arfen pulang!" Mama memutar badan, menghadap lurus ke arahku. Mata kami sempat bertabrakan hingga beberapa detik lamanya. "Awas saja kalau sampai anakku nggak keurus, nggak bahagia gara-gara kamu!" 

Oh, bolehkah aku memukuli Mama? Minimal melempar dengan ponsel, tepat di keningnya. Ya ampun, terbuat dari apa sih, mulutnya? Kok, bisa ya, setajam itu? Ih, amit-amit!

***

"Sayang!" Mas Arfen langsung memelukku, begitu aku selesai menutup pintu. Menguncinya kembali. "Wah, makasih ya, sudah ditungguin?" 

Selain memeluk lembut, erat dan hangat, Mas Arfen juga mengecup keningku. Ajaibnya, seluruh rasa sakit akibat semua sikap Mama, aku rasakan menguap. Wah, apakah ini definisi dari the miracle of love yang sesungguhnya? Semoga, karena aku sangat membutuhkannya di sini, di rumah Mama. 

"Sama-sama, Mas." kataku sambil melepaskan diri dari pelukannya secara perlahan-lahan. Membantu melepas sepatu, meletakkan di rak. "Sini tas kamu, Mas biar aku taruk di meja kerja." 

Mas Arfen mencuil pucuk hidungku, gemas. "Makasih, Sayang." 

"Iya, sama-sama, Mas. Eh, jas kamu, Mas?" aku meminta konfirmasi sebelum membukanya. Mas Arfen memberikan kode berserah diri dengan meletakkan tanganku di pundaknya. 

 "Oh ya, gimana pasien kamu tadi, Mas? Sudah melahirkan?"

Mas Arfen mengangguk. "Sudah, Sayang. Bayinya gede banget, 4 kilo enam ons. Panjangnya lima puluh satu centimeter. Termasuk lancar sih, prosesnya, Sayang. Sepuluh menit."

Sejujur-jujurnya kuakui, ngeri rasanya setiap kali membayangkan tentang proses melahirkan. Tetapi karena Mas Arfen seorang dokter kandungan, mustahil menutup diri. 

"Oh, syukurlah Mas, kalau begitu. Aku ikut senang." kataku menanggapi. "Sebentar ya Mas, aku taruk jas kamu di tempat cucian dulu. Sekalian buat minuman. Kamu mau minum apa, Mas? Milk tea atau lemon tea?"

Mas Arfen memilih milk tea dan aku mengacungkan ibu jari. Kami sama-sama tertawa lepas setelah itu. Tawa bahagia. 

Sayangnya, Mama yang tadi sudah berpamitan tidur di kamar datang dan mengacaukan segalanya. Benar-benar seorang ibu yang aneh. Susah melihat anaknya senang, senang melihat anaknya susah.

"Arfen, kamu sudah pulang?" awalnya memang manis tetapi akhirnya, sungguh mengenaskan. "Yuk, makan, yuk? Biar Mama yang siapin makan malam buat kamu, ya? Kami sudah makan duluan tadi. Oh ya, kamu mau minum milik tea, kan? Sebentar, Mama buatkan dulu, ya?"

Mas Arfen yang sedari tadi duduk diam di kursi makan, memandangku dengan perasaan bersalah tergambar jelas di wajah. Senyumnya berubah menjadi kikuk, sekikuk murid baru di hari pertama masuk sekolah dan bertemu dengan Guru Wali Kelas. 

"Sorry, Sayang!" bisik Mas Arfen setelah Mama berlalu dari ruang makan. Memegangi pundakku yang lunglai.  "Besok biar aku yang bicara sama Mama soal ini, ya? Percayalah Sayang, Mama masih butuh lebih banyak waktu lagi buat adaptasi. Aku yakin, kalau sudah berhasil nanti, Mama akan kembali menjadi malaikat tanpa sayap. Buat kamu, aku dan juga anak-anak kita. Oke?"

Oh, ya?

Lalu, bagaimana dengan  aku? Apakah tidak berhak mendapatkan waktu yang sama dengan Mama untuk beradaptasi?

***

"Lho, kamu belum tidur, Sayang?" tanya Mas Arfen sewaktu terjaga. Dia langsung merapat ke tubuhku, memeluk dari belakang. "Sudah jam satu lho, ini. Hayo, nggak boleh begadang, Sayang. Nanti kamu sakit, lho!"

"Aku lapar, Mas. Makanya nggak bisa tidur." jujur dan apa adanya aku menjawab. "Kamu tahu kan Mas, sejak dulu aku nggak suka begadang?"

"Ya, Sayang. Syukurlah kalau kamu masih sama seperti yang dulu. Hehehehe … Kita kan, tim hidup sehat ya, Sayang?" kata Mas Arfen sebelum akhirnya menciumi leherku, dihisap-hisapnya. Aku masih kedatangan tamu bulanan. Jadi, Mas Arfen harus sabar menunggu. 

"Eh, kamu lapar ya, Sayang?" Mas Arfen memindahkan tubuh ke depanku. "Tapi kata Mama, kamu sudah makan tadi? Oh, pasti kamu makannya sedikit, ya? Takut gemuk, ya? Jangan gitu ya Sayang, jangan terlalu takut gemuk. Yang penting nggak sampai kegemukan." 

Aduh, aku jadi bingung, harus berkata apa?

Sumpah, tidak tahu harus jujur atau berdusta. Heran saja sih, bisa-bisanya Mama mengatakan kalau aku sudah makan malam? Kapan, di mana, bersama siapa? Halu! 

"Mau makan lagi, aku temani, yuk?" tawar Mas Arfen menggempur segala kebingungan di hati. "Ayo, nggak usah malu. Dari pada nahan lapar sampai pagi? Nggak enak banget lho, Sayang!"

"Emh, Mas …!"

Selama ini Mommy mengajarkan kepadaku untuk tidak pernah berbohong. Karena satu kebohongan dapat menumbuhkan seribu kebohongan yang lain. So, aku memutuskan untuk jujur sekarang, apa pun yang akan terjadi nanti. 

"Ya, Sayang? Kenapa, mau minta gendong, ya?" 

Aku menggeleng mantap, memandang lekat-lekat bola mata elangnya. "Kamu marah nggak Mas, kalau aku jujur?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status