Share

Semakin Bingung

[Sayang, mau dibawain apa? Aku sudah mau pulang ini.] 

[Martabak manis, roti bakar, hamburger, pizza atau apa?] 

Pesan Mas Arfen masuk tepat di saat Mama sedang memarahiku karena salah meletakkan sepatunya di rak sandal. Kupikir sama saja karena ada juga beberapa sepatu sandal di sana. Ya ampun! Sepertinya aku harus ekstra adaptasi di rumah ini. Banyak sekali hal yang berbeda. 

"Bilangnya saja sarjana tapi masa, bedain sandal sama sepatu saja nggak bisa? Ck, apa perlu Mama suruh Mbak Sri buat tulisan di setiap rak? Mirah, Mirah … Belajar dong, belajar! Semua yang ada di dunia ini bisa dipelajari, kok. Asalkan kamu mau belajar!" 

"I---Iya, Mama." 

Pongah, Mama tersenyum. Senyuman paling mengerikan dari yang pernah kulihat. "Bagus. Mama suka kalau kamu rajin belajar. Ingat ya, Mirah, di rumah ini semua ada tempatnya sendiri-sendiri. Jangan buat mereka tersesat!"

Wow, amazing!

Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi. Bingung, takut sekaligus takjub. Ada ya, mama mertua seperti Mama? Menantunya dikuliti setiap hari. 

"Ya sudah, Mama mau istirahat dulu, ya?" kata Mama kemudian, dengan suara yang jauh lebih rendah dan lembut dari sebelumnya. Mungkin kalau digambarkan, suara Mama tadi terjun cantik. Hiks, aneh tidak, sih? Maksudku, kalau habis marah, aku tak langsung setenang itu, lho. Serius, atau aku justru aku yang tak biasa? "Kamu nunggu Arfen pulang, kan?"

Aku hanya mengangguk, mati-matian menahan tangis. Jangan sampai menetes di hadapan Mama. Selain malu, bisa menimbulkan masalah baru lagi, kan?

"Oke, selamat malam, Mirah!"

"Sel---Selamat malam, Mama!" 

Mama tersenyum tipis tapi dari sorot matanya aku tahu kalau senyum itu tulus. Ya Tuhan! Apa ini, apa yang sedang Kau ajarkan kepadaku? Ujian apa ini, rasanya aku tak sanggup lagi!

[Sayang]

[Kok, nggak dibalas sih, pesan aku?]

[Kamu mau dibeliin apa?]

Dengan tangis yang tak mampu lagi kutahan, aku membalas pesan Mas Arfen. Sama seperti air mata yang semakin deras mengalir, jari-jariku menari lincah di atas keyboard. Tak sedikit pun aku bisa mencegah. Oh, apakah ini definisi tertekan? Mencurahkan perasaan, butuh didengarkan adalah sesuatu yang mutlak.

[Mas, sebenarnya Mama kenapa sih, Mas?]

[Ada masalah apa?]

[Kenapa aku selalu salah di mata Mama?]

[Mama juga selalu marah-marah]

[Yang paling menyakitkan, Mas, Mama juga memarahi aku di depan umum. Di depan teman-teman arisannya. Karena apa? Hanya karena aku nggak pakai lipstik. Sakit banget lho, Mas. Masa Mama gitu? Aku kan, dari dulu memang nggak suka pakai lipstik dan kamu juga tahu itu kan, Mas?]

***

"Sayang!" Mas Arfen masih membujuk aku, menghibur, menenangkan tetapi air mataku malah semakin melebat. Selayaknya hujan di musim penghujan. Dia baru saja pulang dan langsung mencurahkan perhatian. "Atas nama Mama, aku minta maaf, ya?"

Reflek, aku mengangguk. Aku bukan tipe orang yang suka menyemai dendam, hanya sedih saja. Belum-belum, Mama sudah seperti itu. Apa salahku? Ya, kalau memang harus diajari ini - itu tentang kebiasaan atau peraturan di rumah ini, ajari dengan cara yang baik, dong? Satu lagi, belum genap dua minggu aku di sini. Wajar lah, kalau tidak langsung tahu tentang semuanya. Iya, kan? 

"Sayang, sudah, dong?" Mas Arfen mengusap-usap kepalaku, lembut. "Sudah ya, nangisnya? Nanti martabak manisnya keburu dingin, lho?"

Aku tahu, Mas Arfen sedang berusaha sabar, menjaga perasaanku sebagai isteri dan juga Mama. Tetapi tetap saja rasanya sakit, sakit dan sakit mengingat semua sikap Mama terhadapku.

"Please, sudah dong, nangisnya. Nanti mata kamu bengkak lho, pedih. Katanya besok pagi mau ke rumah Mommy? Nanti Mommy jadi sedih lho, lihat kamu kayak gini?"

Mommy? 

Oh, iya, kami kan mau menginap di rumah Mommy besok? Cihui, akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Sudah di depan mata.

Yippie!

"Eh, iya!" aku memaksa air mata untuk berhenti. Mengambil berlembar-lembar tisu untuk membersihkan wajah. "Hahahaha … Kasihan Mommy kan ya, Mas, kalau lihat anak perempuannya bengkak-bengkak karena kebanyakan nangis? Hahahaha … Hiks, hiks, hiks aku cengeng banget ya, Mas? Rapuh banget?"

Mas Arfen menyentuhkan kecupan hangat di keningku, berulang kali. Aku masih sesenggukkan, dadaku sampai sakit.

"Ah, nggak kok, Sayang!" kata Mas Arfen sambil perlahan-lahan melepaskan pelukan. "Kamu hebat, kuat dan itulah kenapa aku memilih kamu dulu. Ya, kalau nangis itu wajar. Namanya juga manusia. Nangis itu bukan pertanda kita lemah, Sayang tapi karena hati kita lembut."

Ha, masa, sih?

"Emh, kamu nggak apa-apa kan Mas, aku cerita yang tadi?" aku sendiri kagum, bisa ya, aku melontarkan pertanyaan  yang sebijak itu? "Nggak marah kan, Mas?"

"Ya, nggak dong, Sayang. Kenapa harus marah, coba? Aku kan, suami kamu? Jujur ya, aku malah senang kalau kamu mau cerita sama aku tentang apa pun itu. Jadi, jangan sungkan, ya?"

Ha? Oh, my God! 

Adakah yang seberuntung aku di dunia ini?

***

"Arfen, kamu jadi nginep di rumah mertua?" ketus, Mama bertanya saat kami sedang menyantap makan pagi. Melihat wajahnya yang sedingin orang-orangan salju, hatiku auto mencelos. Rasanya roti selai cokelatku jadi tak manis lagi. "Terus, kerja kamu gimana?"

Mas Arfen berdeham lumayan keras. Melirik sayang ke arahku. Mengalihkan pandang ke Mama yang entah bagaimana malah terlihat sibuk dengan rotinya. Gila, tak seperti biasanya, Mama mengoleskan beberapa selain sekaligus. Nanas, kacang, strawberry dan coklat. Mau heran tapi ini Mama. Hanya bisa menahan tawa dalam hati. 

"Senin sore kami pulang, Ma. Selasa pagi aku ada shift." kata Mas Arfen setelah meneguk kopi susunya. Kulit wajahnya terlihat memerah. 

"Oh?" Mama mencebik. Melipat roti tawar dan mulai memotongnya dengan pisau dan garpu. "Oke, hati-hati. Nggak apa-apa nginep, yang penting jangan sampai ganggu pekerjaan kamu." sampai di sini mama mertuaku itu mengerling jahat. "Jangan terlalu memanjakan isteri kamu, Arfen. Nanti kalau jadi kebiasaan, kamu juga yang repot, kan?"

Wow, keren sekali! 

Kapan lagi kan ya, Mama bisa menasihati Mas Arfen seperti ini? Jelas ini waktu dan tempat yang paling pas. Mumpung ada aku juga, jadi bisa langsung tersakiti dengan sempurna. 

"Ya, Mama." singkat, Mas Arfen menjawab. 

Sesingkat waktu pisau buah itu mengiris ujung jari telunjukku saat mengupas apel. Seketika darah segar mengucur dari sana. 

"Ya Tuhan, Sayang?" panik, Mas Arfen meraih tisu, membalutkan di lukaku. "Sebentar, aku ambil kotak P3K dulu, ya? Pedih, tahan, ya?"

"I---Iya, Mas!" aku meringis menahan sakit. Pedih sekali, rasanya. "Aduh …!"

Mas Arfen berlari ke luar ruang makan, aku tahu dia panik. Lucu ya, Mas Arfen kan, dokter? Bisa panik juga ternyata, ketika melihat jari telunjuk isterinya berdarah.

"Hemh, pagi-pagi sudah cari perhatian saja kamu?" Mama, tentu saja, melontarkan sarkasme tanpa sedikit pun perasaan terbubuh di sana. "Jadi istri kok, sukanya carper! Nggak bermutu, tahu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status