Share

Semakin Bingung

last update Terakhir Diperbarui: 2022-09-13 19:08:46

[Sayang, mau dibawain apa? Aku sudah mau pulang ini.] 

[Martabak manis, roti bakar, hamburger, pizza atau apa?] 

Pesan Mas Arfen masuk tepat di saat Mama sedang memarahiku karena salah meletakkan sepatunya di rak sandal. Kupikir sama saja karena ada juga beberapa sepatu sandal di sana. Ya ampun! Sepertinya aku harus ekstra adaptasi di rumah ini. Banyak sekali hal yang berbeda. 

"Bilangnya saja sarjana tapi masa, bedain sandal sama sepatu saja nggak bisa? Ck, apa perlu Mama suruh Mbak Sri buat tulisan di setiap rak? Mirah, Mirah … Belajar dong, belajar! Semua yang ada di dunia ini bisa dipelajari, kok. Asalkan kamu mau belajar!" 

"I---Iya, Mama." 

Pongah, Mama tersenyum. Senyuman paling mengerikan dari yang pernah kulihat. "Bagus. Mama suka kalau kamu rajin belajar. Ingat ya, Mirah, di rumah ini semua ada tempatnya sendiri-sendiri. Jangan buat mereka tersesat!"

Wow, amazing!

Aku sampai tak bisa berkata apa-apa lagi. Bingung, takut sekaligus takjub. Ada ya, mama mertua seperti Mama? Menantunya dikuliti setiap hari. 

"Ya sudah, Mama mau istirahat dulu, ya?" kata Mama kemudian, dengan suara yang jauh lebih rendah dan lembut dari sebelumnya. Mungkin kalau digambarkan, suara Mama tadi terjun cantik. Hiks, aneh tidak, sih? Maksudku, kalau habis marah, aku tak langsung setenang itu, lho. Serius, atau aku justru aku yang tak biasa? "Kamu nunggu Arfen pulang, kan?"

Aku hanya mengangguk, mati-matian menahan tangis. Jangan sampai menetes di hadapan Mama. Selain malu, bisa menimbulkan masalah baru lagi, kan?

"Oke, selamat malam, Mirah!"

"Sel---Selamat malam, Mama!" 

Mama tersenyum tipis tapi dari sorot matanya aku tahu kalau senyum itu tulus. Ya Tuhan! Apa ini, apa yang sedang Kau ajarkan kepadaku? Ujian apa ini, rasanya aku tak sanggup lagi!

[Sayang]

[Kok, nggak dibalas sih, pesan aku?]

[Kamu mau dibeliin apa?]

Dengan tangis yang tak mampu lagi kutahan, aku membalas pesan Mas Arfen. Sama seperti air mata yang semakin deras mengalir, jari-jariku menari lincah di atas keyboard. Tak sedikit pun aku bisa mencegah. Oh, apakah ini definisi tertekan? Mencurahkan perasaan, butuh didengarkan adalah sesuatu yang mutlak.

[Mas, sebenarnya Mama kenapa sih, Mas?]

[Ada masalah apa?]

[Kenapa aku selalu salah di mata Mama?]

[Mama juga selalu marah-marah]

[Yang paling menyakitkan, Mas, Mama juga memarahi aku di depan umum. Di depan teman-teman arisannya. Karena apa? Hanya karena aku nggak pakai lipstik. Sakit banget lho, Mas. Masa Mama gitu? Aku kan, dari dulu memang nggak suka pakai lipstik dan kamu juga tahu itu kan, Mas?]

***

"Sayang!" Mas Arfen masih membujuk aku, menghibur, menenangkan tetapi air mataku malah semakin melebat. Selayaknya hujan di musim penghujan. Dia baru saja pulang dan langsung mencurahkan perhatian. "Atas nama Mama, aku minta maaf, ya?"

Reflek, aku mengangguk. Aku bukan tipe orang yang suka menyemai dendam, hanya sedih saja. Belum-belum, Mama sudah seperti itu. Apa salahku? Ya, kalau memang harus diajari ini - itu tentang kebiasaan atau peraturan di rumah ini, ajari dengan cara yang baik, dong? Satu lagi, belum genap dua minggu aku di sini. Wajar lah, kalau tidak langsung tahu tentang semuanya. Iya, kan? 

"Sayang, sudah, dong?" Mas Arfen mengusap-usap kepalaku, lembut. "Sudah ya, nangisnya? Nanti martabak manisnya keburu dingin, lho?"

Aku tahu, Mas Arfen sedang berusaha sabar, menjaga perasaanku sebagai isteri dan juga Mama. Tetapi tetap saja rasanya sakit, sakit dan sakit mengingat semua sikap Mama terhadapku.

"Please, sudah dong, nangisnya. Nanti mata kamu bengkak lho, pedih. Katanya besok pagi mau ke rumah Mommy? Nanti Mommy jadi sedih lho, lihat kamu kayak gini?"

Mommy? 

Oh, iya, kami kan mau menginap di rumah Mommy besok? Cihui, akhirnya waktu yang kutunggu-tunggu itu datang juga. Sudah di depan mata.

Yippie!

"Eh, iya!" aku memaksa air mata untuk berhenti. Mengambil berlembar-lembar tisu untuk membersihkan wajah. "Hahahaha … Kasihan Mommy kan ya, Mas, kalau lihat anak perempuannya bengkak-bengkak karena kebanyakan nangis? Hahahaha … Hiks, hiks, hiks aku cengeng banget ya, Mas? Rapuh banget?"

Mas Arfen menyentuhkan kecupan hangat di keningku, berulang kali. Aku masih sesenggukkan, dadaku sampai sakit.

"Ah, nggak kok, Sayang!" kata Mas Arfen sambil perlahan-lahan melepaskan pelukan. "Kamu hebat, kuat dan itulah kenapa aku memilih kamu dulu. Ya, kalau nangis itu wajar. Namanya juga manusia. Nangis itu bukan pertanda kita lemah, Sayang tapi karena hati kita lembut."

Ha, masa, sih?

"Emh, kamu nggak apa-apa kan Mas, aku cerita yang tadi?" aku sendiri kagum, bisa ya, aku melontarkan pertanyaan  yang sebijak itu? "Nggak marah kan, Mas?"

"Ya, nggak dong, Sayang. Kenapa harus marah, coba? Aku kan, suami kamu? Jujur ya, aku malah senang kalau kamu mau cerita sama aku tentang apa pun itu. Jadi, jangan sungkan, ya?"

Ha? Oh, my God! 

Adakah yang seberuntung aku di dunia ini?

***

"Arfen, kamu jadi nginep di rumah mertua?" ketus, Mama bertanya saat kami sedang menyantap makan pagi. Melihat wajahnya yang sedingin orang-orangan salju, hatiku auto mencelos. Rasanya roti selai cokelatku jadi tak manis lagi. "Terus, kerja kamu gimana?"

Mas Arfen berdeham lumayan keras. Melirik sayang ke arahku. Mengalihkan pandang ke Mama yang entah bagaimana malah terlihat sibuk dengan rotinya. Gila, tak seperti biasanya, Mama mengoleskan beberapa selain sekaligus. Nanas, kacang, strawberry dan coklat. Mau heran tapi ini Mama. Hanya bisa menahan tawa dalam hati. 

"Senin sore kami pulang, Ma. Selasa pagi aku ada shift." kata Mas Arfen setelah meneguk kopi susunya. Kulit wajahnya terlihat memerah. 

"Oh?" Mama mencebik. Melipat roti tawar dan mulai memotongnya dengan pisau dan garpu. "Oke, hati-hati. Nggak apa-apa nginep, yang penting jangan sampai ganggu pekerjaan kamu." sampai di sini mama mertuaku itu mengerling jahat. "Jangan terlalu memanjakan isteri kamu, Arfen. Nanti kalau jadi kebiasaan, kamu juga yang repot, kan?"

Wow, keren sekali! 

Kapan lagi kan ya, Mama bisa menasihati Mas Arfen seperti ini? Jelas ini waktu dan tempat yang paling pas. Mumpung ada aku juga, jadi bisa langsung tersakiti dengan sempurna. 

"Ya, Mama." singkat, Mas Arfen menjawab. 

Sesingkat waktu pisau buah itu mengiris ujung jari telunjukku saat mengupas apel. Seketika darah segar mengucur dari sana. 

"Ya Tuhan, Sayang?" panik, Mas Arfen meraih tisu, membalutkan di lukaku. "Sebentar, aku ambil kotak P3K dulu, ya? Pedih, tahan, ya?"

"I---Iya, Mas!" aku meringis menahan sakit. Pedih sekali, rasanya. "Aduh …!"

Mas Arfen berlari ke luar ruang makan, aku tahu dia panik. Lucu ya, Mas Arfen kan, dokter? Bisa panik juga ternyata, ketika melihat jari telunjuk isterinya berdarah.

"Hemh, pagi-pagi sudah cari perhatian saja kamu?" Mama, tentu saja, melontarkan sarkasme tanpa sedikit pun perasaan terbubuh di sana. "Jadi istri kok, sukanya carper! Nggak bermutu, tahu?"

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Menantu Bintang Lima   Bintang Lima

    Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m

  • Menantu Bintang Lima   Time to Time

    First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril

  • Menantu Bintang Lima   Segitiga Sama Sisi

    Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s

  • Menantu Bintang Lima   Honeymoon Sekeluarga

    Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss

  • Menantu Bintang Lima   Terima Cinta

    "Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar

  • Menantu Bintang Lima   Peace Be Upon You

    "Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status