"Sudah, nggak usah cuci piring, Mirah!" cegah Mama dengan wajah lebih masam dari bulir-bulir jeruk lemon matang. "Sini, biar Mama saja yang cuci, nanti kuku kamu rusak!" ketusnya sambil menyikut lenganku.
Si Mbak sedang mudik, jadi kami harus membereskan semua pekerjaan rumah sendiri untuk beberapa hari ini. Sebenarnya aku sudah berniat untuk mengerjakan semuanya, sungguh. Jangankan mencuci piring, membersihkan kamar mandi pun sudah aku niatkan. Ah, tapi sepertinya Mama tidak percaya padaku? Entahlah, hanya Tuhan Yang Tahu.
"Kok, malah bengong?" tegur Mama dengan suara super keras sampai-sampai degup jantungku meningkat pesat. "Nggak dengar tadi Mama bilang apa? Cantik-cantik kok, budek?"
Seumur hidup, baru kali ini aku mendapatkan sikap seperti ini. Kasar, ketus, dingin. Menyakitkan. Apakah ini yang dimaksud dengan ujian menantu baru? Mungkin. Aku nggak tahu. Rasanya nyeri sekali.
"Emh, iya, Mama. Maaf …?" syukurlah, akhirnya aku bisa menjadi manusia kembali. Bisa berbicara dengan normal seperti biasa. "Mama istirahat saja ya, biar Mirah yang cuci piring? Nanti Mama kecapekan, lho?"
Mama berjengit, dari kilat-kilat di matanya, aku tahu kalau dia tersinggung. "Eh, enak saja, kecapekan! Kamu nggak lihat apa, Mama masih muda dan kuat. Lagian, Mama bukan orang yang manja. Mama orangnya mandiri, kok. Nggak tergantung sama orang lain? Memangnya kamu, manja? Mentang-mentang anak tunggal terus manja, nggak tahu kerjaan rumah!"
Tidak tahan dengan semua sikap dan perkataan Mama, aku memilih mundur. Berjalan gontai ke beranda samping, melanjutkan menjemur pakaian. Lamat-lamat kudengar, Mama mengomel panjang kali lebar tentangku. Aku yang masih kanak-kanak lah, yang tak patut menjadi pendamping hidup Mas Arfen lah, yang menyesal lah karena sudah merestui Mas Arfen menikah denganku. Wah, rasanya cukup menusuk. Menembus palung hati.
"Mirah!"
Aku baru selesai menjemur pakaian waktu Mama memanggil. Nada suaranya sudah tak setinggi yang tadi.
"Ya, Mama?"
Leganya, ketika melihat Mimik wajah juga sudah tidak terlalu kecut lagi.
"Kemarin kamu sudah bawa baju ganti belum?"
"Sudah, Ma, tapi baru beberapa setel. Belum semua Mirah bawa ke sini. Rencananya, kami mau ke rumah weekend nanti. Jenguk Mami sekalian ngambil baju. Buku-buku Mirah juga belum dibawa, Ma."
"Oh, gitu?"
Aku mengangguk sesantun mungkin meskipun Mama memberikan senyum miring, mengerling tajam.
"Oh ya, Mirah … Kamu kan, sekarang sudah jadi istri Arfen yang berarti sudah jadi anak menantu Mama?"
Sambil menunduk, menjaga ketenangan hati, aku mengiyakan. Mengangkat wajah lalu berusaha untuk memberikan senyum termanis.
Mama melanjutkan perkataannya yang berujung pada lecetnya hatiku. Bagaimana tidak? Mommy bahkan tak pernah membuatku takut sekaligus sedih seperti ini, lho. "Nah, kamu wajib berbakti sama Arfen, oke? Kamu juga wajib berbakti sama Mama, nurut sama Mama. Paham kamu? Jangan mentang-mentang Arfen cinta sama kamu, sayang sama kamu terus kamu bisa bersikap semaunya. Jangan manja-manja banget sama dia, Mama nggak suka! Jangan kolokan juga, apalagi sampai ngadu-ngadu. Ingat, Arfen itu milik Mama seutuhnya, selama-lamanya karena dia anak laki-laki. Paham kamu?"
***
"Sayang, aku pulang telat ya, malam ini? Ada pasien di IRD. Datengnya pas masih shift aku lagi." Mas Arfen memberi tahu lewat telepon. "Nggak apa-apa kan, Sayang? Kamu baik-baik saja kan, di rumah? Nggak rewel kan, hehehehe …?"
"Nggak dong, Mas." sahutku manja, tersanjung berat lantaran sikap Mas Arfen yang komunikatif. Terus terang aku merasa sangat dihargai. "Masa rewel, sih? Kan, sudah besar, sudah jadi istri Dokter Arfen."
"Ya, siapa tahu, kan?" Mas Arfen tertawa lepas, terdengar tanpa beban. "Nggak telat-telat banget sih, Sayang. Paling sekitar jam sepuluh sudah berangkat dari sini, yang penting sudah serah terima pasien sama yang kebagian shift malam. Oke Sayang, nggak apa-apa, kan?"
Tersenyum supportif, aku menyahut, "Iya Mas, nggak apa-apa. Aku tunggu di rumah ya, Mas? Mas belum makan malam, kan?"
"Ya belum lah, Mirah!" kata Ibu dengan dinginnya sambil berdiri di samping meja belajarku. "Makan di mana, orang masih di rumah sakit. Jadi istri itu wajib peka, jangan kayak tembok atau batu yang nggak punya perasaan!"
Wow, itu sungguh luar biasa. Sangat sangat sangat mengagumkan. Padahal aku hanya ingin memberikan perhatian pada Mas Arfen, lho. Apa salah?
"Lho, kamu lagi sama Mama, Sayang?" Mas Arfen terdengar bingung, mungkin dia mengkhawatirkan aku. "Maafkan sikap Mama ya, Sayang? Sabar, ini ujian."
"I---Iya, Mas. Hati-hati ya Mas, nanti kalau pulang?"
"Siap, Nyonya Dokter!"
Membayangkan bagaimana Mas Arfen tersenyum tulus, aku justru semakin getir. Pedih. Bagaimana bisa Mama bersikap semenyakitkan ini terhadapku?
"Arfen …!" Mama mencondongkan tubuh ke ponsel. "Arfen, kamu sudah bawa kunci rumah kan, tadi? Takutnya Mirah ketiduran, jadi nggak bisa bukain pintu buat kamu!"
Lho, aku lagi?
Ya ampun, aku pasti menunggu Mas Arfen pulang, dong. Jam berapa pun itu, aku tak mungkin tidur lebih dulu yang berarti membiarkannya makan malam sendiri. Oh, adakah yang lebih beruntung dari pada aku di dunia ini?
"Oh, aku selalu bawa kunci rumah kok, Mama." sahut Mas Arfen tenang. "Tapi semenjak ada Mirah, kuncinya jadi nggak berfungsi lagi. Mirah rajin banget bukain pintu buat aku."
***
"Gimana kabar kamu di sana, Mir?" Maommy terdengar khawatir saat meneleponku. "Mommy sudah kangen berat nih, Mir. Padahal kan, belum genap lima hari kamu di rumah Arfen? Aduh, rumah jadi sepi banget, nggak ada kamu!"
Tak terasa air mataku menetes. Entah bagaimana rasa sedih tiba-tiba menyeruak, menciptakan sesak. Mungkin karena aku masih harus beradaptasi dengan Mama yang karakternya jauh berbeda dari Mommy. Iya, kan? Semoga.
"Ya, Mom." sebisa mungkin aku mencegah supaya Mommy tidak mencium aroma kesedihanku. "Mirah sehat dan Mommy? Oh, kangen …!"
Sepi sejenak. Baik aku maupun Mommy sama-sama terdiam. Aku secara pribadi, mati-matian menahan tangis, jangan sampai Mommy dengar.
"Oh, syukurlah kalau begitu, Mir. Mommy juga sehat. Kapan kalian ke rumah? Mommy kangen banget makan malam sama kamu, Mir. Sama kalian, maksud Mommy."
"Weekend ini kami pulang, Mom. Sekalian Mirah mau ambil baju, buku, boneka. Eh, Chilo boleh Mirah bawa juga kan, Mom?"
Chilo itu kucing kesayangan kami. Jangan tanyakan lagi bagaimana lucu dan menggemaskannya dia. Super cute lah, pokoknya.
Mama tertawa lirih. "Boleh dong Mir, buat teman kamu di sana kalau Arfen kerja. Eh, gimana, gimana …? Mama mertua kamu baik, kan?"
Dug!
Serius, asli, sekeras itu detak jantungku saat mendengar Mommy menanyakan perihal Mama. Oh Tuhan, berikanlah kekuatan kepada hamba-Mu ini, jangan sampai menyingkap aib Mama. Cukup aku yang tahu dan merasakan segala rasa sakitnya.
"Baik dong Mom, sayang banget sama Mirah. Sangking sayangnya, sampai-sampai Mama ngelarang Mirah buat ngerjain pekerjaan rumah. Padahal si Mbak lagi mudik lho, Mom."
"Ha, sampai segitunya? Lha terus, siapa dong, yang ngerjain?"
Tak ingin menimbulkan kecurigaan atau yang setara dengan itu dalam diri Mas Arfen, sebisa mungkin aku bersikap sebagaimana mestinya. Tidak terlalu manja, tetapi juga tidak terlalu mandiri. Begitu juga terhadap Mama---aku tetap menjenguk setiap weekend, menemani minum teh sore atau berbelanja di supermarket---terutama Mourin. Menahan emosi, mengendalikan diri dengan sebaik-baiknya adalah jalan yang harus aku tempuh. Ya, walaupun kadang-kadang ucapannya lebih tajam dari sembilu. Tak perlu diambil hati."Kok, kamu nggak ngasih tahu kalau mau ke undangan sih, Mir?" protes keras Mourin begitu sampai di rumah dan tahu kalau kami mau ke wedding party Bella. "Tahu gitu kan, aku nggak pakai tunik kayak gini?" "Sorry banget, Mourin, aku benar-benar lupa." Itu bohong, asli. Sesungguhnya aku memang tak ada niat untuk mengajak dia. Cukup Mas Arfen saja, maksudku. "Hemh!" Mourin memberengut, menghentak-hentakkan kaki seperti anak kecil. Membujuk Mas Arfen supaya mau mengantarkannya ke shopping m
First Love Sign Angkasa. Lama dan dalam, aku memandang foto bayi mungil itu sampai-sampai tanpa sadar menetes air mata. Bayi suci itu terlihat begitu tenang, damai dan bahagia. Sayang, orangtuanya tak punya perasaan. Aku benar-benar tidak mengerti. Di panti asuhan mana coba, dia membuangnya? "Mir, itu ada panti asuhan di seberang jalan!" seketika perhatianku teralih dari foto First ke ujung telunjuknya. Hari ini aku meminta bantuan 4 Little Stars minus Bella dan dirinya untuk mulai mencari First. "Gimana, kita turun tanya dulu, nggak?" "Biar aku dan Rafael dulu saja yang turun. Nanti kalau memang diperlukan, baru kalian kami panggil. Gimana?" Brilliant menghentikan mobil tepat di seberang pintu gerbang panti asuhan. "Yuk, El?""Oke. Siap berjuang, Bos!" Rafael terdengar antusias. "Kalian di sini saja dulu, ya?""Ya." Anyelir dan aku menjawab hampir bersamaan. "Fotonya, mana?" pertanyaan Brilliant menyentil kuat-kuat kesadaranku. "Semoga saja benar, ini panti asuhannya."."Ini, Bril
Oh, jadi, Mourin justru menyalahkan aku? Baik, baik!"Jaga bicara kamu ya, Mourin?" setenang mungkin aku bertekad menghadapinya. "Bukan aku lho, yang memaksa kamu untuk menikah dengan Mas Arfen. Bukan aku juga yang membuat kamu masuk dan terperangkap cinta terlarang bersamanya. Kamu, kamu sendiri yang memaksakan keada---""Stop, stop!" Mirah memotong kasar perkataanku tetapi aku tidak peduli. "Kamu yang memaksakan keadaan, menghalalkan segala cara. Satu yang perlu kamu ketahui, Mourin, seandainya Mas Arfen berani jujur dari awal, aku nggak akan pernah menikah dengannya. Nggak akan sudi bertemu dengannya lagi, apa pun alasan---""Dasar, anak ndeso. Norak, kampungan. Kere munggah bale!"Di sini, aku mulai tersulut emosi tetapi sebisa mungkin mengendalikan diri. "Emh, terus saja menghina aku, Mourin. Aku nggak apa-apa, kok. Serius. Terus saja mengolok-olok, merendahkan sampai kamu puas." "Ya, karena kamu pantas, sangat pantas untuk mendapatkan semua itu. Masa, nggak tahu diri juga, s
Lusa ini Mourin berulang tahun dan ternyata sudah menyusun rencana honeymoon ke Bali selama satu minggu. Sialnya---ini adalah kesialan terbesar dalam hidupku---dia juga mengajakku. Bayangkanlah! Mau tak mau, suka tak suka, aku harus ikut serta. Itu, kalau seperti itu, madu jenis apa namanya? Seharusnya dia silent saja akan hal itu dan langsung pergi, cukup bersama Mas Arfen. "Mourin, kamu tahu kan, aku ada Tulip - Olive?" dengan tegas aku mengatakan hal itu, dengan maksud membuka mata kesadarannya. "Nggak mungkin aku ikut kalian. Tulip - Olive adalah segala-galanya bagiku." Mourin mengernyitkan dahi, tertawa meremehkan. "Ya, kalau gitu percuma saja dong, kamu punya baby sitter?""Maksud kamu?" nada suaraku meninggi dengan sendirinya di sini. "Aku membayar baby sitter bukan untuk supaya aku bisa bersenang-senang di luar rumah atau bagaimana. Jangan lancang kamu, Mourin. Aku membayar baby sitter, supaya bisa membantu Mama di butik dan untuk hal-hal yang bersifat penting lainnya.""Sss
"Sudahlah, Mirah. Jangan disesali terus, jangan diingat-ingat lagi." ujar Mama usai seruputan pertama teh manisnya yang terdengar sangat nikmat. "Kamu nggak salah, kok. Kita semua dalam ancaman, di bawah tekanan dia waktu itu. Kalau Mama jadi kamu, Mama juga pasti melakukan hal yang sama."Getir, aku berusaha memberikan senyum semangat. "Terima kasih, Mama, sudah mengerti situasi dan kondisi Mirah. Ya, sebenarnya, Mirah berat hati membagi Mas Arfen dengan perempuan seperti dia. Tapi gimana lagi? Toh, Mas Arfen juga sudah lama bersama dia."Mama menyeruput teh manisnya lagi. Mengambil sepotong brownies dan mulai menikmati. Bukan hanya itu, Mama juga memuji brownies buatanku. Crunchy, katanya. Manis, gurih dan tidak membuat eneg. Wah, aku benar-benar tersanjung sampai ke langit biru."Mirah!""Ya, Mama?" aku mengurungkan diri untuk mengambil sepotong apel merah dalam salad buah. "Gimana, Mama?"Mama mengetuk-ngetukkan jari telunjuk di badan mug. "Kamu mau bantu Mama, kan? Pasti mau, kar
"Ya, aku juga nggak tahu, Mas." terus terang prihatin sekali dengan tingkah laku Mourin yang misterius dan penuh dengan sandiwara. Baru saja Mas Arfen meminta pendapatku. Ya, tentu saja, aku tidak kau terlibat lebih jauh lagi. Bahaya. "Kamu sudah tanya sama Mourin, apa motivasinya untuk tinggal di rumah Mama? Menurutku kamu juga harus mempertimbangkan perasaan Mama lho, Mas. Bukan berarti aku ingin menguasai Mama atau bagaimana lho, ya? Jangan salah paham!" Mas Arfen melepas jaket, menyerahkannya padaku. "Ya, aku tahu. Itulah kenapa aku juga nggak setuju, nggak mau, kalau sampai pindah ke rumah Mama."Aku diam. Membantunya membuka kencing kemeja. "Ya, katanya sih, biar lebih dekat kalau ke klinik.""Oh?""Sebenarnya kan, Sayang, aku nggak mau dia kerja. Aku, maunya, dia kerja di rumah saja kayak kamu."Secara alami, aku tertawa kecil. "Mungkin karena aku ada pekerjaan di butik ya, Mas? Jadi, Mourin juga tetap ingin kerja di luar rumah?""Ya, mungkin juga, Sayang. Aku nggak tahu gima