Share

Mencari Pekerjaan

"Ya ampun, Mirah!" pekik Mama sambil menatap sedih pecahan piring di samping meja makan. Aku tak sengaja menyenggol hingga terjatuh saat membereskan tadi. "Kerja gitu saja nggak becus? Heran Mama, apa sih yang buat Arfen tergila-gila sama kamu? Cantik dan pintar dandan saja nggak cukup, Sayang. Sebagai seorang istri kamu juga harus pintar ngurus rumah, paham? Terutama jika kamu masih numpang hidup di rumah mama mertua. Oke? Arfen, Arfen! Apa sih yang sudah merasuki dia sampai harus menikah sama kamu yang ternyata wow … Nggak jelas!"

Lagi dan lagi, aku hanya bisa mendunduk dalam-dalam, menahan marah. Sakit sekali rasanya tetapi tak mampu berbuat apa-apa. Jangankan membela diri, mengangkat wajah barang satu inci pun aku tak berani. Aku yakin, kalau Mama sudah marah, iblis sekalipun pasti ketakutan. 

Braaak!

Mama memukul meja keras-keras, memaksaku berbicara, mungkin. 

"Ma---Maaf, Mama. Mirah nggak sengaja." 

"Nggak sengaja?" Mama menandak, keras sekali. "Mirah, Mirah! Di sini kan, ada Mbak Sri? Seharusnya kamu bisa belajar dong, sama dia? Jangan manja! Mama kan sudah bilang kemarin, kamu tuh harus banyak-banyak belajar gimana caranya ngurus kerjaan rumah! Masa, nggak ingat?"

Sungguh, kalau bukan Mama, pasti aku sudah meninggalkannya. Terserah, apa yang akan terjadi, terjadilah! Ya Tuhan, Mommy saja tidak pernah bersikap galak padaku. 

"I---Iya, Mama. Miraha janji, setelah ini, Mirah akan banyak belajar sama Mbak Sri."

Mama tersenyum sinis, cukup membuat amarah dalam diriku memuncak. 

"Mbak Sri!" panggilnya sambil menusukkan pandangan kepadaku, sakit. "Tolong bereskan meja makan!"

Mbak Sri datang hanya dalam hitungan detik. Aku yakin, dia melesat cepat dari mana pun berada tadi. 

"Saya, Bu. Siap, beres-beres." Mbak Sri membungkukkan badan  melewati Mama. Sejenak memandangku dengan sorot mata lembut. 

"Sekalian ajari Mirah, ya? Heran Ibu, semakin parah saja dia setiap hari!"

Mbak Sri menjawab singkat. "Baik, Bu."

Sebelum meninggalkan ruang makan, Mama mencondongkan tubuh kepadaku. "Awas, kalau sampai kamu ngadu sama Arfen!"

Oh, jelas tidak, aku bukan tipe anak manusia yang suka mengadu!

"Non, ayo bantu saya beres-beres?" ajak Mbak Sri ramah seakan-akan nothing happened. "Non Mirah angkat piring sama gelas kotor ke dapur saja, ya? Biar saya yang bersihkan  pecahan piringnya."

"Makanannya, Mbak?" aku mengernyitkan kening, bingung. Takut salah, terus terang. Maksudku, dimasukkan ke lemari pendingin atau bagaimana?

Mbak Sri melebarkan senyuman. "Nanti biar saya yang urus. Non Mirah kan, baru belajar. Sedikit-sedikit saja, yang penting rutin." 

"Oh, oke. Makasih banyak ya, Mbak Sri?" ungkapku sambil mulai mengumpulkan piring kotor. "Mirah bersyukur ada Mbak Sri di sini."

Mbak Sri mengangguk santun. "Sama-sama, Non. Saya juga bersyukur, Mas Arfen sudah punya Non Mirah. Hehe, hehe …!"

Tuk, tuk, tuk!

Suara sepatu high heels Mama terdengar jelas, menghentikan pekerjaanku mengumpulkan gelas kotor. 

"Mirah, cepat mandi!" titahnya tenang, penuh wibawa. Satu-satunya hal yang membuat aku takjub adalah, Mama bersikap seolah-olah tidak pernah mengamuk, memarahiku habis-habsian seperti tadi. "Mama mau ajak kamu ke butik batik Mama, lihat-lihat. Biar kampungan kamu tuh memudar sedikit demi sedikit!"

Ha, apa?

Ya Tuhan, dosa tidak sih, kalau aku menolak ajakan Mama?

***

Seperti biasa, aku mengurung diri di kamar malam ini. Mas Arfen belum juga pulang, padahal sudah jam sebelas. Mama juga belum pulang, tumben. Katanya sih ada acara apa begitu, dengan teman-teman Batik Tulis Community. Makan malam atau arisan, ya? Aku lupa.

Jlep, plaaasss!

Terkejut setengah mati aku, ketika melihat status WA Mas Arfen yang diupdate tiga menit yang lalu. Dia sedang makan malam bersama seorang wanita muda dan cantik di sebuah restoran. Aku tidak tahu di restoran mana---di fotonya ada dua hot plate steak---tetapi yang jelas mereka terlihat dekat dan mesra. 

Wow, amazing tralala!

Dia pulang larut malam, melewatkan makan malam bersamaku dan justru memilih makan malam bersama orang lain? Wah, ini lebih dari hebat! 

Dahsyat, sakitnya!

Tut, tut, tuuuttt!

Otomatis, aku menghubungi Mas Arfen. Panggilan pertama tidak diangkat, membuat aku seperti tergulung badai Tornado. Nah, panggilan ke dua diangkat tetapi lalu terputus entah mengapa. Di sini perasaanku sudah seperti ayam disembelih. 

"Ya, Sayang … Ini aku lagi prepare mau pulang!" cakap Mas Arfen sedikit gugup. "Kamu mau dibawakan apa, Sayang? Martabak manis atau roti bakar? Oh, kwetiau atau cap cay sayur?"

"Nggak, Mas. Aku hanya mau kamu cepat pulang, Mas. Aku nggak enak badan."

"Oh, kamu sakit, Sayang? Ya ampun! Kok, nggak hilang dari tadi, sih?"

"Sorry, Mas. Aku benar-benar nggak enak badan ini. Kamu bisa cepat pulang, kan?"

Klik! 

Sampai di sini sambungan telepon terputus. Jelas, prasangka baikku lenyap dijajah prasangka buruk, cemburu dan curiga. Pertanyaan demi pertanyaan terlontar begitu saja dari benakku yang kian antah berantah.

Siapa dia?

Kenapa mereka terlihat begitu dekat, begitu mesra?

Di fotonya saja si Wanita menempelkan tubuhnya di dada Mas Arfen. 

Wah, benarkah aku sudah terjebak?

Oh, benarkah aku sudah tertipu? 

Sial, sial! 

Padahal aku sudah percaya penuh pada Mas Arfen.

Meskipun sakit setengah mati, aku mengamati foto di status WA Mas Arfen itu lagi. Bisa-bisanya Mas Arfen bersikap seromantis itu? 

Tak sabar, emosional karena terberangus cemburu, aku mengomentarinya. [Candle Light Dinner]. 

***

"Mom, kayaknya aku mau kerja saja, deh?" curhat colongan dong aku, waktu Mommy menelepon. "Jenuh banget di rumah."

Sepertinya Mommy juga mulai aneh deh, masa dia malah tertawa? Dih, senang sekali melihat anaknya terjerat derita!

"Mom, aku serius, nih!" 

"Aduh, sejak kapan ya, anak Mommy ini bisa bersikap serius? Pintar sekali ya Arfen, merombak seorang Mirah Lestari?" 

"Ih, Mommy. Orang lagi serius juga, malah dibecandain?"

"Sorry, sorry … Emh, memangnya Arfen nggak apa-apa kalau kamu kerja?" 

Deng, dong!

Sebenarnya sih, Mas Arfen lebih suka kalau aku bekerja di rumah saja. Lebih suka itu berarti suka juga kalau aku bekerja, kan? Kok, aku malah semakin bingung? 

"Hiks, iya juga ya, Mom? Yaaah, terus gimana, dong? Serius nih, Mom, aku hampir mati jenuh di rumah."

Mama terdengar mendesah. "Ya, kamu diskusi baik-baik dulu lah sama Arfen. Nah, kalau dia setuju, baru kamu cari kerjaan. Kalau nggak, jangan sekali-kali kamu melawan, oke? Satu lagi, kalau kamu jenuh, cari kegiatan lah. Masa sudah langsung menyerah begitu saja?" 

Antara sadar dan tidak, aku tertawa lirih. Sedih. Jelas Mommy tidak tahu bencana apa yang telah menimpa anak semata wayangnya di sini. Ugh, rasanya lebih dari dikeloni vampire, karena dia terlalu sayang untuk menghisap darahku. Lebih menyakitkan dari pada kerubuhan gedung bertingkat sejuta. Jelas, Mommy tidak tahu!

"Hiks, Mom … Mirah pulang saja ya, Mom?"

"Ha, pulang? Maksud kamu, Mirah? Hati-hati lho, kalau bicara. Pernikahan itu bukan permainan, Mirah!"

"Ya, aku tahu, Mom."

"Nah, terus? Kok, bisa kamu ngomong kayak gitu tadi?"

Sampai di sini aku hanya ingin bertanya, sebenarnya Mommy tahu istilah menderita tidak, sih?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status