Bermacam-macam lauk sudah Serra siapkan di meja makan. Mulai dari makanan berprotein rendah hingga berprotein tinggi semua sudah tersaji dengan rapi. Pagi ini entah kenapa ia begitu ceria, wajahnya berseri bagai bidadari menanti sang suami yang sebentar lagi turun, menghampiri. Wanita hamil itu tidak sendiri, ia ditemani oleh Romana, sang mertua yang sudah lebih dulu duduk di salah satu kursi beberapa saat yang lalu. Mereka sedang menanti kedatangan dua pria pewaris seluruh harta keluarga Pranadipta. “Menantu ibu terlihat ceria sekali, ada apa, Serra? Kau sedang mendapat apa, hm?” tanya Romana kepada Serra. Sedangkan Serra yang ditanya sedemikian rupa hanya tersenyum saja. “Tidak, Bu, aku tidak mendapatkan apa-apa. Aku senang sekali karena hari ini bertepatan dengan peringatan hari yang special, dimana aku dan Gamma sudah enam bulan menikah. Aku tidak menyangka, Bu, kalau aku bisa melewatinya. Meskipun sejak awal aku tidak diinginkan untuk masuk dalam rumah ini. Tapi sekarang aku be
“Sayang, hari ini aku akan pulang sedikit larut karena ada beberapa hal yang aku selesaikan dengan klien dan kalau terlalu larut, mungkin aku aka menginap di kantor. Kamu tidak apa-apa, kan, kalau aku tinggal?” tanya Gamma selepas menyelesaikan kegiatan sarapan paginya. Kini Lelaki itu sedang mengelap bibirnya dengan selembar tissue yang sudah ia lipat sebelumnya. Serra sendiri tidak menduga bahwa Gamma akan berkata demikian, wanita itu berharap bahwa Gamma akan pulang lebih awal untuk menemaninya di rumah karena akhir-akhir ini ia merasa sangat rindu dengan suaminya itu sekalipun ia bertemu setiap hari. Seketika itu juga wajah Wanita berbadan dua itu menjadi kusut. Gerakan tangan mengaduk nasi pun menjadi lebih pelan. Ada perasaan tidak rela yang sedang memenuhi dadanya saat ini. “Menginap? Bukankah selama ini, selarut apapun kau bekerja, kau pasti akan pulang?” Pertanyaan yang terlontar dari bibir Serra hampir tanpa nada membuat Romana dan William saling bertukar pandang. Sementar
Bagai daun-daun yang dipaksa lepas dari rantingnya, begitulah hati Serra saat ini. Dunia seakan hancur dan langit seakan runtuh.Tubuh ramping dengan perut yang sudah membuncit itu melemas. Semua sisa energi dalam diri tenggelam dalam emosi. Kepercayaan yang selama ini ia bangun kini luluh lantah. Meskipun ia tidak mengerti sepenuhnya apa yang terjadi dengan Gamma di masa lalu, tetap saja hatinya merasa sesak.Kedua tangannya spontan menutup bibir. Lidahnya kelu, tidak ada satu kata pun yang mampu Serra ucapkan. Pun Kedua kakinya tak sanggup melangkah, masih terpaku di depan barisan pigura yang memeluk dinding.Ada orang lain yang pernah menyandang gelar nyonya Pranadipta selain dirinya dan ternyata perempuan itu adalah sosok dalam pigura kecil yang sempat Serra tanyakan kepada sang mertua di awal pernikahan mereka. Namun, entah bagaimana cara Gamma berkompromi dengan semesta. Ia bahkan tak pernah mendapatkan jawaban dan penjelasan apapun, hingga saat ini ia melihat dengan mata kepal
"Duduklah," ujar Romana seraya menarik tangan menantunya agar menggeser langkah ke bibir ranjang. Seperti kerbau yang dicucuk hidungnya, Serra hanya menurut saja dan mengikuti arah sang mertua. Istri Gamma itu tidak mengatakan sepatah kata pun, hanya mengatur napas, hati, dan pikiran dari berbagai kemungkinan yang akan ia dengar. Mungkin saja ia akan mendengar hal terburuk yang tidak pernah ia duga. Sempat ia berpikir untuk tidak melanjutkan ini. Mungkin memilih berpura-pura tidak tahu agar semua baik-baik saja. Seperti kebanyakan wanita yang memilih untuk memendam semua rasa sakit dan penasarannya demi banyak hal yang harus dijaga.Namun, di sisi lain, egonya memilih untuk mengetahui semuanya. Logikanya meminta penjelasan dari ribuan teka-teki yang selama ini tak bisa ia pecahkan.Dan sekarang adalah kesempatannya.Ia harus siap dengan segala resikonya.Tak lain halnya dengan Romana, wanita yang menjadi ibu kandung Gamma Pramadipta itu beberapa kali memejamkan matanya sebelum membuk
"Pulangkan aku!" ujar Serra setelah mereka sampai di dalam kamar.Kedua alis tebal milik Gamma spontan menyatu. Apa? Memulangkan Serra? Maksudnya bagaimana? Apa konotasi pulang yang dimaksud oleh Serra? Entahlah, ia pun merasa ambigu dengan kata 'pulangkan' itu."Pulang kemana maksudnya?" tanya Gamma memastikan jika tidak ada yang salah dengan rumah ini."Apartemenku!" jawab Serra dengan secepat kilat.Kerutan di dahi Gamma semakin dalam. "Kau tidak betah tinggal di rumah ini?"Serra menganggukkan kepalanya mantap. "Ya!""Tunggu, Ra! Kau bertengkar dengan ibu? Atau kau ada masalah apa dengan ibu?" hanya itu pertanyaan yang terlintas dikepala Gamma. Apalagi yang membuat Serra tak betah tinggal dirumah ini? Tetapi jika dipikirkan ulang tidak mungkin sang ibu, Romana, bertengkar dengan Serra, terlebih wanita itu sudah cocok dengan menantunya."Karena aku tidak sanggup tinggal di rumah yang penuh dengan kenangan dan masa lalu suamiku!" tegas Serra sembari melangkahkan kakinya menjauh dari
“Bisa jelaskan padaku apa yang terjadi?” Sebuah pertanyaan itu terlontar bersamaan dengan suara dorongan pintu yang mengenai dinding. William tiba di kamar Gamma dengan napas terengah-engah. Bagaimana tidak? ia baru saja menyelesaikan meetingnya bersama dengan bawahannya dan berencana akan rehat dari segala kerumitan yang terjadi di kantor, justru kini jantungnya dipacu kembali bekerja empat kali lebih cepat ketika mendapatkan kabar bahwa Serra pergi dari rumah. Entah berapa pertanyaan yang sudah ia siapkan sebelumnya, nyatanya hanya satu pertanyaan itu yang mampu terlontarkan. Tubuhnya mendadak kaku ketika melihat keadaan sang kakak yang terduduk di sisi ranjang sembari meremas rambutnya sendiri bersama dengan sang ibu yang sedang memeluknya seakan memberikan kekuatan untuk kakak laki-lakinya itu. Sepengetahuannya, pasangan suami istri itu baik-baik saja ketika ia berangkat kerja tadi. Hanya ekspresi Serra yang tidak rela Gamma menginap di kantor. Namun, ia rasa masalah yang terjad
Dua kaki jenjang milik Serra terhenti di depan sebuah rumah sederhana yang terletak dipinggiran kota. Setelah berjalan kaki menyusuri gang-gang kecil yang sepi, akhirnya ia tiba ditempat persinggahan sementaranya saat ini. Perempuan yang sedang hamil tua itu mengucap syukur sebab masih ada seseorang yang mau menolong meski tak mengenalnya. Ia tak sengaja bertemu dengan seorang wanita paruh baya berusia sama seperti sang mertua, namanya Bu Ambar. Awalnya Serra hanya membantu wanita itu untuk menyebrang jalan. Namun, setelah berbincang-bincang mengenai alasan Serra pergi meninggalkan rumah malam-malam, wanita itu akhirnya menawarkan Serra untuk tinggal bersamanya. Serra sempat menolak, sebab tujuan awalnya ia akan pergi ke apartemen lamanya, tetapi Bu Ambar tetap memaksa karena hari sudah malam. “Nak Serra, ini rumah ibu. Maaf hanya sederhana ya,” tutur Bu Ambar seraya membuka pintu rumah yang terbuat dari kayu jati belanda. Bangunan itu memang sederhana namun terkesan asri sebab bany
“Bagaimana bisa? Memangnya tidak ada cara lain?” ujar William dengan seseorang yang sedang tersambung dalam panggilan selulernya. Pria itu memijit keningnya ketika mendengar kabar jika apa yang ia minta tidak bisa dipenuhi oleh bawahannya. “Come on, ada apa denganmu? Bukankah biasanya kau pandai dalam hal seperti ini? Kau jangan membuatku naik darah! Aku sangat membutuhkan informasi itu, sialan!” Kali ini William mendengus kasar setelah seseorang di seberang sana menjelaskan alasannya. Biasanya pekerjaan seperti ini sangat mudah ia lakukan, tetapi entah kenapa ada-ada saja hal yang terjadi hingga membuat semuanya terhambat. “Aku tidak mau tahu, kau harus bisa menemukan keberadaan Serra secepat mungkin. Minimal malam ini harus ada informasi dia ada dimana!” tegasnya kembali seraya menilik arloji berwarna hitam yang melingkar di tangan kirinya. “Batas waktumu hanya dua jam! Jika kau tak bisa melakukannya dengan baik, kau tahu apa konsekuensinya!” Setelah mengatakan kalimat terakhir it