Hai, selamat membaca ya...
Dua kelopak mata Serra yang terpejam tiba-tiba saja terbuka setelah merasakan sebuah lonjakan hebat dalam perutnya. Dengan setengah sadar ia menahan sensasi kedutan yang cukup kuat itu. Dahinya bertaut dalam dan bibirnya tergigit buat. Selama mengandung Sembilan bulan, Serra tidak asing dengan pergerakan bayinya yang super aktif itu. Tendangan yang cukup kuat seperti ini sudah menjadi sarapan rutinnya setiap pagi. Dan, selama ini tak menjadi masalah karena selalu ada perlakuan khusus dari Gamma untuk meredakan rasa ngilu dipunggungnya. Hanya saja, keadaan paginya selama tiga hari ini tak sama seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya, saat ia membuka mata selalu ada lengan kekar yang memeluknya dari belakang, mendengar suara bariton yang serak dipagi hari, dan kecupan hangat dari seorang Gamma, suaminya. “Selamat pagi, Sayang!” Itu adalah kalimat yang selalu menyambutnya ketika membuka mata dan saat ini ucapan selamat pagi itu hanya bisa tereka ulang dalam ingatannya. Mungkin, seandain
"Tunggu, aku tidak salah lihat, kan? Kau Serra?" Bian sekali lagi memastikan bahwa apa yang lihat adalah benar adanya. Serra, perempuan yang pernah tinggal satu komplek perumahannya. Sementara Serra sendiri juga terkejut setengah mati. Sebab ia tidak mengira jika akan bertemu dengan Bian Aditama, pria yang sempat menghilang beberapa waktu ini. Bisa ia lihat dengan jelas bagaimana kerutan dalam itu terbentuk di dahi Bian. Seakan menyiratkan ribuan pertanyaan darinya. Helaan napaa pelan terdengar dari Serra. Perempuan itu lantas menekuk bibirnya, membuat senyuman setengah lingkaran. "Kau benar, Bi. Ini aku," jawabnya kemudian."Tunggu, sejak kapan kau .... Sorry, Maksudku, kenapa kau bisa di sini? Dan ada hubungan apa antara kau dengan Bu Ambar?" tanya Bian yang tak bisa membendung rasa penasarannya.Serra memahami bagaimana rentetan pertanyaan itu dilemparkan untuknya. Ia sensiri paham mengapa Bian dan Bu Ambar bisa menjalin relasi. Mereka sama-sama berbisnis di bidang yang sama. Kuli
"Biarkan dia masuk," jawab Gamma yang membuat William melebarkan matanya. Pria itu sungguh tak percaya dengan keputusan Gamma. Masalahnya dengan Serra saja belum terselesaikan tetapi sekarang mantan kekasihnya itu datang menambah masalah dalma hidupnya. Mengapa Gamma justru membiatkan Rossa menemuinya begitu saja?"Tunggu dulu, kau yakin? Untuk apa kau membuang waktumu menemui wanita ular itu, ha?" William menatap Gamma dengan seksama. Ia sedang mencari jawaban dalam ekspresi datar kakaknya itu. Namun, sayangnya, tidak aja jawaban pasti yang ia dapatkan. Justru raut wajah biasa yang ditampakkan Gamma semakin membuatnya bingung dan ragu. "Gamm? Kau tidak bercanda kan?""Aku tidak bercanda. Biarkan dia menemuiku mungkin ini berkaitan dengan perusahaan Adam yang kolaps," jawab Gamma mengutarakan pendapatnya.Sungguh jawaban Gamma diluar dugaannya. Bahkan sampai saat ini William belum mampu mengerti apa rencana dibalik keinginan kakaknya itu. "Lalu? Bukankah krmarin kau sudah mengatakan ak
“Kau ini gila, ya?” Sebuah pertanyaan itu William lontarkan setelah pintu ruangan Gamma terbuka lebar. Pria yang mengenakan jas berwarna biru tua itu lantas menutupnya kembali rapat-rapat. Sementara Gamma tak peduli dengan kehadiran sang adik, lelaki itu lebih memilih fokus dengan pulpen hijau dan tumpukan kertas dihadapannya. “Astaga! Aku mengerti apa yang sedang kau rencanakan, tapi kenapa waktumu tak tepat seperti ini?” Alih-alih menjawab pertanyaan William, Gamma justru membalikkan satu lembar terakhir pada laporan itu dan mulai mengoreksinya. Memberikan catatan pada ruang kosong dalam kertas itu. “Gam! Serra saja belum ditemukan lalu kenapa kau berani mengambil keputusan untuk menjalankan rencana balas dendammu itu, ha? Ayolah! Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaan Serra jika dia tahu ini semua?” “Justru aku melakukannya sekarang agar Serra tidak tahu.” Gamma menutup laporan itu. Detik berikutnya ia melemparkan laporan itu kembali ke tempatnya. “Tapi kau sama saja menamb
Sebuah mobil mewah berwarna putih sedang melaju dengan kecepatan rendah, membelah jalanan kota yang sunyi. Barang kali sudah ribuan kilo kendaraan itu melaju, tetapi sang pengemudi belum juga berhenti— menemui apa yang ia cari. Bahkan malam sudah semakin larut dan jalanan telah lengang dari lalu lalang kendaraan, hanya sebagian pedagang kaki lima yang masih mengais rejeki dan temaram lampu kota yang tersisa di sana.kendati demikian Gamma masih tak pantang menyerah untuk mengedarkan pandangannya ke sekeliling sembari fokus pada jalanannya. Berusaha menemukan sosok perempuan yang sejak beberapa hari lalu menghilang. Namun, sepertinya dewi fortuna tak berpihak padanya kali ini, sebab sudah berjam-jam ia memeta jalanan, pria itu tetap tak menemui sang istri, pujaan hati. Hingga akhirnya kendaraan beroda empat yang Gamma tunggangi itu berhenti. Tubuh kekarnya melemas, Helaan napas panjang dan berat pun terdengar. Kedua kelopak mata lelaki itu mengatup erat menumpahkan air yang sejak tadi
"Bagaimana perutmu, Serra? Apakah masih terasa sakit?" Bu Ambar meletakkan segelas air hangat di sebuah meja kecil di kamar Serra. Wanita paruh baya itu lantas mendudukan diri di samping Serra yang sedang bersandar di kepala ranjang."Sudah baikan, Bu," jawab Serra sembari mengusap perutnya. Sesekali ia mengatur napas, mereda rasa nyeri yang kadang masih terasa. Tidak tahu apa sebabnya, sejak tengah malam hingga subuh tadi perutnya terasa kencang dan nyeri. Beruntungnya, Bian masih berada di rumah Bu Ambar sehingga Serra dapat segera dibawa menuju klinik terdekat. Serra pikir rasa sakit itu adalah pertanda bahwa malam ini ia akan melahirkan prematur, akan tetapi saat ia sudah sampai di klinik, Bidan menjelaskan bahwa apa yang ia alami hanyalah sebatas kontraksi palsu yang bisa ditimbulkan akibat aktivitas yang cukup berat dan berlangsung lama. Kendati demikian dugaan Serra bisa terjadi jika ia tak secepatnya ditangani.Bu Ambar mengembangkan bibirnya. Detik setelahnya mengusap perut
Tidak terasa Satu bulan berlalu dengan begitu cepat. Tidak terasa pula sudah satu bulan lamanya Serra memulai kehidupan barunya. Bersembunyi dari khalayak ramai dan membatasi diri dari interaksi dengan orang banyak demi kesehatan mentalnya sendiri. Hanya pergi keluar rumah jika memang dirasa penting dan perlu saja. Seperti saat ini. Ia keluar rumah hanya karena menemani Bu Ambar berbelanja saja. Walau sebenarnya Bu Ambar sudah melarang Serra untuk pergi dengannya, tetapi wanita berperut buncit itu sungguh keras kepala. Dua perempuan itu sedang menyusuri sebuah toko khusus bahan kue yang lumayan cukup besar dan ramai. Memilih tepung gandum, gula, dan bahan pelengkap lainnya. "Apa bedanya tepung bungkus hijau ini dengan yang bungkus merah ini, Bu? Bukankah keduanya memiliki berat yang sama bahkan yang berbungkus merah ini lebih murah. Mengapa ibu memilih yang hijau?" celetuk Serra mengungkapkan rasa penasarannya saat sang ibu lebih memilih jenis tepung yang harganya lebih mahal.Sem
BRAK! Gamma mengerutkan kening tatkala Pigura kecil berwarna putih yang semula berdiri di atas mejanya tiba-tiba saja terjatuh. Terpelanting jauh ke dasar lantai. Sementara saat ini tidak ada angin, tidak ada hujan, bahkan pria itu sendiri tidak sedang melakukan aktivitas yang membuat mejanya bergerak. Hanya mengetik dengan kedua tangannya dengan tekanan tanpa arti. Lantas mengapa benda itu bisa terjatuh dengan sendirinya? Entahlah. Lelaki itu tak ingin mengambil pusing. Gamma lantas bangkit berdiri dari duduknya kemudian berjongkok mengambil pigura yang jatuh. Beruntungnya, walau terjatuh cukup tinggi pigura itu tak pecah, hanya retak di beberapa sudut kacanya. Detik setelahnya pria itu kembali pada posisinya dan meletakkan Bingkai yang terbuat dari kayu itu pada posisi semula. Lalu tangannya bergerak mengusap sebuah gambar dirinya dengan seorang wanita yang kini tak tahu kabarnya dimana. Serra Adelina Putri, seorang wanita yang tak pernah ia duga akan menjadi bagian dalam hidupny