Bab 76"Owh, cuma segitu saja harganya Pak RT?" jawab Amina dingin. Dia menutup telpon dan memberikannya pada Pakde Sule."Gendeng! Jangan dikasih dia! Amina!" Pakde Sule geram. "Enak saja minta - minta uang seenak perutnya sendiri."Bude Surti ikut dongkol. "Pantes saja, kehidupan Pak RT glamour, wong kerjanya malakin orang, aku jadi ikutan gemas dengannya Pak!""Nanti aku kasih pelajaran di Bu. Biar dia kapok!"Amina menarik napas panjang. "Gak usah Pakde. Nanti tambah panjang masalahnya."Kemudian Eril menelponnya, Ajeng hendak dimandikan. "Bude, Pakde, saya nitip Bapak dulu. Kak Ajeng mau dimandikan." Amina membuka tasnya dan memberikan sejumlah uang di tangan Bude Surti "Pakailah uang ini untuk keperluan kalian." Amina tahu pekerjaan Pakde Sule dan Bude Surti hanyalah buruh tani."Terima kasih Amina. Soal bapakmu, jangan khawatir, serahkan sama kami."Bude Surti melihat ke Ayang, sikap anak itu sangat manis. Dia sama sekali tak rewel. Ada kerinduan di dadanya memiliki anak sendi
Bab 77Hening!Eril bungkam. Dia tidak merespon apapun yang diucapkan Amina sampai mereka tiba di rumahnya.Pria itu tetap diam, dan sibuk dengan ponselnya.Amina kebingungan dengan gelagat tak biasa Eril. Dia menjadi serba salah ketika lelaki itu mendiamkannya. Seribu pertanyaan menyerbu benak Amina. Apakah ada yang salah dengan ucapannya?Usai tahlillan selepas ashar, Eril terlihat bercengkrama dengan Mas Pur dan Kang Parman di teras. Setelah itu dia pergi ke luar tanpa pamit.Amina gelisah.Bude Surti yang datang membantu Amina, diam - diam ia memperhatikan sikap mereka berdua. “Amina, maaf Bude mau tanya?” tanyanya sambil merapikan piring dan gelas.Amina yang sedang menyapu menghentikan aktifitasnya. “Iya ada apa Bude?”“Apa kamu dan Eril sedang bertengkar?” tanya Bude Surti hati – hati.“Gak Bude, kami hanya lelah,” jawab Amina bohong, ia menggigit bibirnya pelan.Bude Surti melihat Amina. “Istirahatlah, biar Bude yang meneruskan menyapu.” Ia kasihan melihat Amina.“Tanggung Bud
Bab 78"Motor N max ini dari Jazuli kan?" ulang Amina dengan suara tertekan.Ditekannya seluruh emosi yang membakar dada perempuan itu. Sedangkan matanya dengan detail mengamati perubahan sikap Bu Alwi.Pertanyaan Amina membuat Bu Alwi terkejut. Suaranya melengking tinggi menjawab."Enak saja kamu menuduh. Ini dari hasil proyek suami saya! Kami baru membelinya kemarin cash!"Orang - orang yang melintas di jalan menoleh dan berhenti ingin melihat apa yang terjadi.Amina mencibir. "Gak usah bohong. Saya tahu pekerjaan Pak RT. Jika ini bukan dari Jazuli, bagaimana Ibu tahu lelaki itu tergila - gila dengan saya? Bagaimana kalian kenal Jazuli yang bukan orang sini!"Bu Alwi langsung salah tingkah dengan kebenaran yang dibeberkan Amina. “Memangnya kamu saja yang kenal orang kaya itu. Semua orang tahu siapa Pak Jazuli! Dia orang terpandang dan baik hati.”Amina melengos. “Embel!” Dia merutuk dalam hati. Kelihatan sekali perempuan itu penjilat. Perutnya menjadi eneg.“Saya tahu siapa Jazuli.
Bab 79"Tapi Ril, siapa yang akan menjaga keluargaku?" Amina sadar ia butuh uang, tetapi dia tidak bisa meninggalkan keluarganya dalam keadaan kacau seperti ini.Sebuah dilema dan keputusan sulit yang harus ia putuskan, memikirkan antara karir dan keluarganya. Keduanya sama – sama penting baginya saat ini."Amina tenang, kami semua ada di sini untuk membantumu," kata Bude Surti."Iya Mba Amina, serahkan pada kami. Kami akan bergilir menjaga Pakde Mukidi dan mencari Bude Mukidi, " lanjut Mas Pur.Amina bimbang."Besok Ayang harus masuk sekolah juga." Eril semakin memperkuat alasannya untuk mengajaknya kembali ke Jakarta.Amina tersadarkan. Ayang dari kemarin lepas dari ingatannya."Ril, bisakah kamu undur meetingnya barang sehari? Aku tidak bisa memutuskan mendadak begini?" Ia memilin – milin ujung kemejanya."Tidak bisa! Ibu Hesti pemilik RTV akan terbang ke Yunani besok siang setelah meeting bersama kita."Amina tercenung. Dia menarik napas panjang."Berangkatlah Amina, kami akan memb
Bab 80Amina tergagap mendengar permintaan Bapak. Dengan kejadian beruntun yang dilaluinya. Apalagi dengan teror Jazuli yang masih mengintainya. Sulit bagi perempuan itu untuk jauh dari Ayang.Namun, jika dia menolak permintaan Bapak. Amina khawatir akan membuat kesehatannya semakin memburuk.Perempuan cantik itu memandang Eril yang juga menatapnya. Dari sorot mata gadis itu terlihat jelas ia meminta dukungan pria manis itu.Samar, Amina melihat Eril menggelengkan kepalanya.Eril mendekat ke Bapak. "Pak, kami tidak lama di Jakarta, paling cuma 3 hari. Setelah selesai urusan di sana kami segera kembali.""Iya Pak, lagian Bapak masih sakit, kasihan Ayang kalau harus tidur di rumah sakit.""Jangan rayu Bapak, Bapak mau Ayang tetap di sini, nemenin Bapak. Dia satu -satunya yang bisa menghibur Bapak. Titik!"Bapak yang biasanya lembut, berubah kaku dan kolokan. Wajahnya menyimpan kemarahan.Hal itu membuat posisi Amina kian terpojok.Eril meremas rambutnya. Urat - urat dikenangnya tampak m
Bab 81Amina memandang wajahnya di cermin. Meskipun make up tebal menutupi wajahnya, tetapi tak bisa menutupi sisa – sisa kelelahan yang tergambar jelas di matanya.Setibanya di Jakarta, Amina hanya tidur beberapa jam. Itupun tidak pulas. Ia masih sering terjaga dan teringat dengan Bapak dan ibunya yang belum diketemukan. “Di mana dirimu Ibu?” katanya lirih."Hey, apakah sudah siap?" sapa Eril manis. Lelaki itu berdiri di depan pintu kamarnya. Dengan memakai celana jeans dan kemeja putih, pria itu tampak menawan."Mmm... sudah." Amina tersenyum lalu mengambil tas di atas meja. "Apa kamu bertemu Ayang, dari tadi ia belum ke sini."“Iya. Dia masih makan ice cream bersama Bik Susi di teras." Eril terus memandang Amina dengan mata rindu."Apakah mau berangkat sekarang?" tanya Amina, membuyarkan pandangan Eril. Dia melenggangkan kakinya keluar kamar.Mata Eril dibuat takjub oleh cara Amina berjalan. Perempuan itu berjalan gemulai. Terusan selutut berwarna pink muda dengan rempel detail yan
Bab 82"Bagaimana jika aku tidak mau menikah, Ril? Apakah kamu tetap mencintaiku?" ulang Amina dengan dada berdebar. Ia tahu dirinya memiliki perasaan yang sama dengan lelaki itu. Tetapi dia belum pernah menyatakan perasaannya secara terbuka.Eril memelankan mobilnya, kemudian menoleh dan menatap raut muka Amina dengan lembut. Kebetulan saat itu suara Rizky Febian mengalun lembut. Eril mengikuti sebait lagunya.Selama napas jantung ini berdetak, ku akan selalu menjagamu hingga akhir waktu."Ril, aku serius, ngapain kamu malah bernyanyi?" ujar Amina cemberut."Itulah perasaanku padamu, Amina. Aku tidak tahu apakah perasaan itu akan berubah atau tidak nanti. Tapi aku berjanji akan menjaganya di sini." Eril menunjuk dadanya.Lelaki itu tersenyum manis. "Tidak usah dipikirkan soal masa depan. Biarlah itu rahasia Allah. Lebih baik kita jalani saja setiap hari dengan suka cita. Aku tidak butuh apa – apa, aku hanya mau kamu dan anakmu berada di sisiku. Kita menjaga satu sama lain."Amina men
Bab 83Amina menaiki lift dengan terburu - buru menuju apartemennya.Wajah Bik Susi kelihatan cemas. Dia terlihat berjalan mondar - mandir di depan kamar Amina."Ayang apa masih di dalam Bik?" tanya Amina gugup. Dia melemparkan tasnya di sofa."Masih di dalam Bu, dari tadi saya panggil - panggil, tetapi Ayang tidak menyahut. Saya takut ada apa - apa."Amina memanggil - manggil nama anaknya. "Ayang, tolong buka lpintu Nak. Ini Ibu sudah datang."Sama tak ada jawaban. Amina sampai menempelkan telinganya ke pintu. Dia tak mendengar gerakan gerakan sedikitpun di dalam."Eril, bagaimana ini?" Air matanya mulai merebak. Sedangkan raut muka Amina tak bisa menyembunyikan ketakutannya."Bik, tolong ambilkan perkakas di dapur." Eril menggulung lengan kemejanya. Bik Susi melesat seperti burung mengambil apa yang diperintahkan Eril. Beberapa detik kemudian lelaki itu sibuk mencongkel pintu kamar Amina. Hingga keringatnya bergerombol di dahinya.Di belakang pemuda itu, Amina dan Bik Susi menungg