Belum ada sepuluh menit ketika Mone mencoba untuk kembali tidur setelah terbangun beberapa saat lalu, tapi ponsel yang diletakan dekat bantalnya bergetar, menandakan ada panggilan masuk.Mone yang belum sepenuhnya terlelap tidak bisa mengabaikan panggilan itu, diambilnya ponsel tersebut lalu dilihatnya nama pemanggil yang tidak mengijinkan Mone kembali tidur sesuai anjuran dokter."Mas ...."Pada detik pertama Mone membaca nama Pandu diponselnya yang melakukan panggilan video, tanpa ragu Mone segera mengangkatnya dan menyambut wajah pandu dengan senyum sumringahnya."Mone, kamu di rumah sakit?" suara Pandu terdengar terkejut saat melihat pakaian yang dikenakan Mone serta latar putih pada tembok di belakang Mone yang tidak terlihat seperti apartemennya.Mone mengangguk pelan."Mon, maafin aku semalem gak jadi anter kamu ke dokter. Aku baru sampe Jakarta subuh tadi dan langsung ngantor paginya."Satu hal yang selalu Mone yakini, Pandu tidak pernah berbohong padanya. Mone juga tidak ada
Rafka memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi menyusuri jalan ibu kota yang ramai lancar. Masih pukul tiga siang, belum terlalu banyak kendaraan yang tumpah ruah di jalan. Beberapa titik kemacetan hanya disebabkan oleh lampu merah.Rafka tidak sanggup terus menjaga Mone saat membayangkan Mone harus tersiksa saat melihatnya. Ia pun memutuskan untuk pergi dari sana, tak lupa ia meminta Mone untuk menelpon Pandu dan menyuruh lelaki itu untuk menjaga Mone. Saat Pandu tiba, barulah Rafka meninggalkan ruang rawat Mone.Rafka memarkirkan mobilnya di depan sebuah ruko dua lantai berukuran minimalis. Ia segera memasuki ruko tersebut dan mengabaikan beberapa sapaan yang menyambutnya saat melewati lantai satu dan separuh lantai dua, sebelum akhirnya sampai di ruangan yang memenggal separuh lantai dua."Ngapain lo siang-siang ke kantor gue?" tanya Fando saat melihat Rafka muncul dari balik pintu, sebelum akhirnya melihat wajah Rafka yang kusut, lalu kembali bertanya, "Lo kenapa, Raf?""Hajar gue
Ruangan 3 x 4 dengan cat dinding berwarna putih gading, senada dengan warna seprai pada tempat tidur berukuran sedang yang ada di dalamnya.Di atas tempat tidur kamar hotel yang disewanya untuk tiga hari, demi menunjang pekerjaannya yang rasanya tak kunjung usai, jemari tangan Mone sesekali menari di atas keyboard laptop milik kantornya.Mone meletakan laptop yang sedari tadi dipangkunya ke atas kasur, sementara ia merenggangkan tubuhnya untuk beberapa detik, karena punggunya terasa amat pegal setelah seharian bekerja.Setelah merasa pegalnya berkurang sedikit, Mone kembali memangku laptopnya yang sedang membuka banyak tab.Suara ringtone ponsel Mone membuat cewek itu mengalihkan fokusnya pada ponsel yang sedari tadi ia letakan asal di samping tubuhnya. Mone membaca nama pemanggil yang tertera di ponselnya. Ia tersenyum sebentar, sebelum kemudian mengangkatnya."Ya, Mas?" sapa Mone, yang kini sepenuhnya fokus pada panggilan telepon tersebut dan menanggalkan laptop dari pangkuannya."M
"Aku punya harapan untuk kita, yang masih kecil di mata semua, walau takut kadang menyebalkan, tapi sepanjang hidupkan ku habiskan. Walau tak terdengar masuk akal, bagi mereka yang tak percaya, tapi kita punya kita, yang akan melawan dunia" Taruh - Nadin Amizah__________Warna oranye yang menghiasi langit sebagai pembatas antara siang dan malam perlahan memudar. Warna oranye itu perlahan berganti menjadi biru tua, menandakan malam akan segera datang. Saat warna langit belum sepenuhnya gelap dan masih menyisakan cahaya matahari yang meredup, saat itulah puncak kemacetan jalanan Ibu Kota di setiap hari kerja.Dari dalam mobilnya, Mone beberapa kali membunyikan klakson, karena tidak sabar dengan beberapa kendaraan bermotor yang terus-menerus menyalip jalannya. Hal itu membuat mobilnya sulit gerak, yang bisa mengakibatkan Mone terlambat sampai ke acara yang akan dihadirinya."Kita udah berangkat jam setengah enam aja, belum tentu sampe sana tepat waktu ya, Far?" Mone kembali membuka perc
"Jadi, kamu ada masalah apa?" tanya Mone lembut. Tangannya menyentuh punggung tangan Pandu, membuat lelaki itu mengalihkan perhatiannya dari layar televisi pada Mone yang kini sudah duduk di sampingnya."Anggika ...." Pandu mengembuskan napas sebentar saat menyebutkan nama istirnya. "Anggika daftarin Naka ke International Pre-school, Mon. Dia gak bilang ke aku dulu. Dia bilang ke aku setelah semua pendaftaran selesai. Katanya, dia udah bilang Mama dan Papanya, mereka setuju, kok. Malah Papa yang nyaranin itu. Mon, Papanya Naka itu aku, bukan orang tua Anggika!"Mone mengangguk. Ia paham betapa Pandu tertekan dengan mertuanya yang kelewat ikut campur dalam urusan rumah tangganya, terlebih Anggika yang masih merengek dan bergantung ke orang tuanya alih-alih mengindahkan ucapan Pandu sebagai kepala keluarganya saat ini."Naka masih tiga tahun, Mon. Siang sampe sore dia udah ikutan kelas di Miniapolis, dan sekarang pagi harus sekolah juga? Yang dibutuhin Naka saat ini itu bimbingan langsu
Teman-teman sedivisinya yang berada satu meja dengan Mone sontak ikut terkejut. Bahkan aksi Anggika sukses mengundang perhatian, sampai membuat seluruh mata yang ada di kantin ini menatap ke arah mereka."Mbak, apa-ap—"Plak.Sebuah tamparan sukses mendarat di pipi Mone. Kerasnya suara tamparan itu sampai membuat beberapa mata yang memperhatikan mereka ikut mengaduh."Gila kamu, ya! Kamu tuh gak punya otak atau gak punya urat malu atau gimana? Bisa-bisanya kamu main gila sama suami aku! Bisa-bisanya kamu jual diri ke Kakak Tiri kamu sendiri, hah!" Emosi Anggika meledak sudah, mulutnya sudah tak tahan melontarkan kalimat-kalimat makian yang ditahannya selama di perjalanan.Napas Mone kini menderu. Tubuhnya bergetar ketakutan, karena tak mengantisipasi akan terjadi kejadian ini. Ada beratus pasang mata yang saat ini memandangnya dengan tatapan jijik. Ada beratus pasang mata yang ikut menelanjanginya selagi Anggika terus melontarkan kalimat makian yang semakin lama semakin kasar."Anjing
Rafka membawa Mone ke dalam mobilnya. Ia tidak tahu tempat lain yang tidak memancing perhatian selagi kondisi Mone belum stabil.Mone terus merapalkan kalimat-kalimat yang semakin menyayat hati. Bahkan Rafka nyaris tidak sanggup mendengarnya. Jiwa Mone tak lagi baik-baik saja setelah seluruh kejadian yang menimpanya.Recovery jiwa yang dilakukan Mone belum sepenuhnya selesai. Bahkan jika Mone bisa terlihat baik-baik saja, hanya dengan beberapa kalimat pancingan, berhasil kembali mengguncang jiwanya."Tolong ... aku mau hidup sekarang ... tolong aku ...."Hati Rafka teriris mendengar pernyataan itu, beriringan dengan keringat yang mengucur di pelipis Mone. Rafka meremat kesepuluh jarinya. Jadi, sampai seperti ini kondisi Mone saat dirinya lebih memilih untuk meninggalkan Mone?"Mon, tolong sadar." Rafka menarik Mone dalam pelukannya, ia tak tahan melihat Mone terus seperti ini.Pada akhirnya, Rafka ikut menangis, seiring merasakan tubuh Mone yang berguncang dengan tangisnya yang pecah.
"Little did I know, love is easy. But why was it so hard? It was like never enough. I gave you all still you want more ... I love you but I'm letting go." - I Love You But I'm Letting Go, Pamungkas___________________Mata Anggika tidak berkedip, ia melihat kesungguhan Pandu saat mengatakan itu. Pandu tidak bercanda. Apa barusan yang dikatakannya? Cerai? Semudah itu Pandu melontarkan kata yang sangat mengerikan? Bahkan Pandu tidak repot memikirkan Naka!"Pandu," panggil Anggika, meski Pandu tidak mengalihkan perhatiannya sedetik pun dari wajahnya. "Kamu cinta gak sih sama aku?" Pertanyaan itu meluncur dari mulutmya, satu hal yang akhirnya dipertanyakan kembali setelah rumah tangganya berusia empat tahun.Pandu menunduk. Pertanyaan Anggika sukses membuat hatinya bergetar. Cinta, ya? Ia sudah lama tidak mendengar kata itu, setelah yang terjalin antara dirinya dan Anggika tertumpuk dengan kebohongan-kebohongannya demi bersama Mone.Pandu masih terdiam untuk beberapa saat. Ia memikirkan m