"Mon, kamu inget kejadian semalem?" tanya Rafka memastikan. "Ehm, iya ... terus?" "Terus?" Rafka menaikan volume suaranya, mengulang ucapan Mone. Ia tidak mengerti dengan jawaban Mone. Mengapa Mone bisa sesantai itu jika dia mengingatnya? "Ah, I got it! Kamu gak usah khawatir, ini bukan masa subur aku kok, jadi aku gak akan hamil." Setelah delapan tahun menghilang, Mone kembali muncul dalam hidup Rafka. Pada pertemuan pertama mereka kembali, terjadi sebuah insiden yang tidak disengaja. Mone tidur dengan Rafka. Saat Rafka terkejut setengah mati, Mone justru tampak santai menghadapinya. Mantan kekasihnya sudah tidak seperti dulu, dan Rafka tidak baik-baik saja akan hal itu. Terlebih saat mengetahui bahwa kini Mone menjalin hubungan dengan kakak tirinya sendiri yang sudah memiliki istri dan anak.
View MoreLewat tengah malam, jalanan Ibu Kota tampak lengang, bahkan nyaris tak ada yang melintas. Hanya beberapa kendaraan yang didominasi truk barang melintas dengan kecepatan gila-gilaan karena kosongnya jalan.
Rafka memacu motornya dengan kecepatan maksimal. Namun, karena motornya merupakan keluaran lama dan sudah sering mengalami gejala kerusakan, kecepatan maksimal dari motor tersebut jauh dari kata maksimal. Sepanjang jalan ia merapalkan sumpah serapah untuk motornya yang tidak mau bekerja sama di saat genting seperti ini.
Menempuh waktu lima belas menit, ia tiba di depan rumah teman SMA sekaligus satu kampusnya. Ia tau ini sudah lewat tengah malam, tapi ia mendapat kabar yang sukses membuat jantungnya tak bisa berpacu dengan pelan.
"Gue udah di depan rumah lo, cepet keluar! Anter gue ke Sukabumi." Rafka berbicara dengan pemilik rumah di depannya melalui sambungan telepon, karena tak ingin membangunkan penghuni rumah yang lain.
"Hah? Ngapain? Lo gila, ya, Raf! Jam dua malem ngajak ke Sukabumi. Gue ngantuk."
"Mone ilang. Pinjem mobil bokap lo, anter gue ke sana."
Satu pemberitahuan yang membuat Rafka gelisah sejak tadi, berhasil membangunkan Bagas dari tidurnya dan bergegas mengeluarkan mobil milik ayahnya untuk mengantar Rafka ke jalur pendakian salah satu gunung tertinggi di Jawa Barat.
Bagas mengeluarkan mobil dari garasi rumahnya, sedang Rafka memarkirkan motor miliknya di dalam garasi rumah cowok itu, sebelum ikut naik ke mobil.
Sepanjang perjalanan, Bagas tak banyak bertanya saat melihat Rafka yang tampak sibuk dengan ponselnya, menelpon beberapa pihak untuk bantu mencari Mone.
Setelah menempuh waktu tiga jam, mereka sudah sampai di tujuan.
Sesampainya di sana Rafka melihat beberapa orang yang dikenalnya terlihat khawatir sama sepertinya. Berbekal emosi yang ditahannya sejak mendapat kabar Mone hilang, ia segera menghampiri salah satu cowok yang sedang sibuk memberikan informasi pada tim SAR yang baru tiba.
Seketika, Rafka menonjok cowok itu tepat di wajahnya, membuat kerumunan di tempat tersebut tertuju pada Rafka.
"Bangsat lo! Gue udah bilang jangan ngajak Mone, lo malah nutupin kalo Mone ikut!" Rafka memaki cowok itu yang kini sudah tersungkur.
Beberapa orang memisahkan Rafka yang tampak emosi. Ia masih terus meronta dan ingin menghajar Hilman, ketua Sarpala, UKM Pecinta Alam di kampusnya, yang juga teman mainnya saat di kampus.
Bagas segera menarik Rafka, menjauhkan cowok itu dari Hilman yang tengah sibuk dalam pencarian Mone yang menghilang saat pendakian. Sebisa mungkin ia berusaha menenangkan Rafka yang kini terlihat seperti orang kesetanan.
Setelah beberapa saat Rafka mulai tenang dari emosinya, Hilman menghampiri Rafka.
"Raf, sorry. Gue tau gue salah gak bilang sama lo kalo Mone ikut. Gue mau ikut naek buat nyari Mone, lo ikut gak?" tanya Hilman.
Rafka terdiam sesaat, lalu melihat jalur pendakian yang tampak gelap. Serta merta sederet ketakutan mulai menghantuinya.
Rafka menggeleng pasrah. Ia bahkan tidak bisa ikut mencari Mone.
***
Pukul tujuh pagi, tim SAR beserta rombongan anggota Sarpala yang ikut dalam pencarian akhirnya berhasil menemukan Mone. Kondisinya tidak terlalu buruk, meski cewek itu sempat ketakutan karena terpisah dari rombongannya sendirian. Beruntung ia tak bergerak dari posisinya, karena takut hilang terlalu jauh, membuatnya dapat segera ditemukan.
Mone dibawa ke warung yang menjadi tempat berkumpul teman-temannya, untuk beristirahat sejenak sebelum pulang ke Jakarta. Saat itu, ia melihat Rafka yang sedang menatapnya dengan tatapan tak terdefinisikan.
Mata Rafka tampak memerah, wajahnya terlihat sangat kusut, serta rambut yang acak-acakan. Mone menebak kemungkinan Rafka yang menangis menunggu kabar tentangnya. Namun, cowok itu tampak tak bergerak sejak melihat kedatangannya, padahal ia mengira Rafka akan segera memeluknya setelah lebih dari lima jam ia ketakutan di atas sana.
Kilatan mata Rafka membuat Mone akhirnya memahami situasi ini. Rafka memang terlihat khawatir padanya, juga marah.
"Raf ...," panggil Mone.
Rafka tidak menyahut, ia hanya memejamkan mata sejenak, sebelum akhirnya memeluk Mone.
Setelah melepaskan pelukannya, Rafka tak mengatakan apa pun. Ia justru pergi meninggalkan warung tersebut.
Mone mendesah pelan, antara kesal, tapi juga merasa bersalah. Mengurungkan niatnya untuk beristirahat, ia mengejar cowok itu.
Rafka belum bicara sama sekali dengannya, cowok itu tidak mengatakan apa pun. Padahal, Mone diceritakan bahwa Rafka menghajar Hilman karena menutupi keikutsertaannya dalam pendakian ini, dan itu memang bukan pertama kalinya.
"Rafka, aku gak papa, kok. Aku gak jatoh atau lecet sama sekali, tadi cuma kepisah bentar doang. Beneran, aku gak papa." Mone mengejar Rafka yang terus berjalan dan menjauh dari keramaian.
Mone menghadang jalan Rafka, membuat cowok itu menghentikan langkahnya. "Kamu liat, kan? Aku di sini, aku gak ilang."
Mone tau, Rafka melarang keras aktivitas Mone yang satu ini. Rafka bahkan sudah melarangnya untuk bergabung dengan Sarpala, karena ia pasti akan mengikuti pendakian. Namun, saat itu, ia berusaha meyakinkan bahwa UKM Pecinta Alam tidak selalu mendaki gunung.
Mone juga tau, Rafka memiliki trauma dengan pendakian. Kakaknya pernah hilang dan sampai sekarang tidak pernah ditemukan. Karena itulah Rafka tidak mengijinkannya mengikuti pendakian ini.
"Mon ...," panggil Rafka, yang akhirnya mulai buka suara. "Ini bukan pertama kalinya, kan? Aku tau setiap kali kamu dan Hilman bilang ada acara Sarpala yang entah ke mana, tapi bukan ke gunung, setiap itu kan kamu ikut?"
Mone menunduk. Rafka benar. Ia sering bekerja sama dengan Hilman yang merupakan teman Rafka setiap kali ia ingin ikut naik gunung.
"Mon, kalo tadi kamu gak ketemu, kalo kamu jatoh ke jurang, kalo gunungnya tiba-tiba erupsi, kalo—"
"Tapi, sekarang aku gak papa. Aku di sini!" Mone memotong ucapan Rafka, sebelum ucapannya semakin panjang.
Mone mengerti Rafka hanya khawatir, tapi di situasi seperti ini, bukankah seharusnya Rafka terlebih dahulu menanyakan keadaannya? Sejak bertemu Rafka, ia berusaha untuk menunjukan bahwa ia tidak kenapa-napa. Bahwa ia baik-baik saja. Namun, bisakah Rafka setidaknya berusaha menenangkannya yang sebenarnya juga ketakutan?
"Mon, coba aja kalo kamu dengerin aku. Aku gak pernah ngatur kamu mau pergi ke mana pun, aku juga gak pernah larang kamu bergaul dengan siapa pun, aku juga gak marah pas kamu bohong lagi di rumah Decha padahal kamu nonton sama Rio, aku gak nuntut kamu buat selalu ngasih kabar. Aku gak pernah ngebatesin kamu apa pun, Mone. Kamu bebas ngelakuin semua hal yang pengen kamu lakuin tanpa perlu aku tau karena itu hak kamu."
"Aku bukan Kakak kamu, Rafka! Aku gak akan ilang kaya dia!" Kesal, suara Mone akhirnya ikut meninggi. Serentet hal-hal yang ia inginkan dari Rafka, tapi tidak satu pun yang cowok itu lakukan di saat seperti ini, membuatnya tak bisa lagi memaklumi trauma Rafka. "Kamu cuma ngomel di sini, bilang kalo aja-kalo aja, sedangkan semua orang udah repot nyariin aku. Kamu bahkan gak nanyain keadaan aku sama sekali. Aku udah ketakutan di sana sendirian, dan saat ketemu kamu kenapa aku harus ketakutan lagi?"
Sepanjang Rafka mengenal Mone, ia tau sifat Mone memang seperti ini. Mone tidak suka diatur—sebenarnya Rafka juga, tapi ia hanya meminta satu hal dengan Mone.
Jika satu-satunya yang Rafka minta tak lagi bisa Mone lakukan, ia pun tidak bisa. Ia tidak bisa terus menerus khawatir sepanjang malam saat ia tau Mone sedang beralasan untuk melakukan kegiatan apa pun, tapi nyatanya cewek itu sedang naik gunung.
Rafka tidak bisa terus-terusan menyalahkan teman-temannya yang menutupi hal ini, padahal mereka hanya mengikuti Mone.
Rafka tidak bisa. Ia tidak bisa lagi bersama Mone jika cewek itu seperti ini.
Mone bergegas pergi meninggalkan Rafka, ia malas berdebat lebih jauh untuk perkara yang tidak akan ada ujungnya ini.
"Mone," panggil Rafka. Suaranya terdengar pelan, tapi Mone menangkapnya.
Tak ayal cewek itu menghentikan langkahnya sejenak.
"Aku gak suka kamu naik gunung. Aku gak akan bisa terima kalo kamu bakal terus bohongin aku buat naik gunung." Nada suara Rafka kini mulai melunak, tapi suara itu malah membuat jantung Mone semakin berdetak dengan kencang. "Kita, selesai ... kamu gak perlu khawatir aku larang kamu ngelakuin apa pun, kamu gak perlu bohong kalo kamu emang suka itu. Aku harap kamu bahagia."
Mone yang membelakangi Rafka menutup mulutnya saat mendengar pernyataan Rafka barusan. Lalu ia mendengar langkah Rafka yang pergi meninggalkannya. Rafka sudah pergi tanpa menunggunya mengatakan apa pun.
Dada Mone terasa begitu sesak, Rafka sudah mengakhiri semuanya hari itu. Ia tidak menyangka perdebatannya hari ini mampu membuat Rafka memutuskannya seperti ini. Lututnya mendadak lemas, membuat cewek itu kini berjongkok di tempatnya. Tak mampu lagi menahannya, tangisnya pun pecah.
Empat tahun mereka berpacaran, sejak SMA hingga memutuskan untuk kuliah di kampus yang sama, dan barusan Rafka mengakhiri semuanya. Semuanya.
***
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
"Aku bersyukur kamu bisa hidup dengan baik. Bisa main lagi sama temen-temen kamu, jalan-jalan setelah pulang kerja, dan Rafka? If you two get back together, I'm really happy for you." Pandu mengatakannya dengan tulus. Sesekali ia melambaikan tangannya ke arah Naka yang berteriak memanggilnya.Tidak ada sahutan dari Mone, hal itu membuat Pandu penasaran dan menolehkan kepalanya kembali pada wanita itu. Matanya terbelalak melihat Mone yang kini sibuk menghapuskan air mata yang membasahi pipinya."Mon, kamu ...." Tangan Pandu setengah terangkat, berniat merengkuh tubuh Mone, yang kemudian diurungkannya. Hal itu membuatnya hanya dapat meremat tangannya sendiri. "Seumur hidup, aku belom pernah sebenci ini terhadap apa pun. Tapi sejak pertama kali lihat kamu nangis, demi apa pun aku benci lihat itu. Kenapa hidup kamu harus sesakit ini? Dari sekian banyak pilihan takdir, kenapa Tuhan memilihkan takdir yang kayak gini buat kamu. Sejak saat itu, aku selalu berharap gak akan ada hal buruk lainn
"Kau dan aku saling membantu, membasuh hati yang pernah pilu, mungkin akhirnya tak jadi satu, namun bersorai pernah bertemu...." - Sorai, Nadin Amizah____________Mone berjongkok, untuk menyamai tingginya dengan Naka. "Naka, kok sendirian? Emang ke sini sama siapa?" tanyanya lembut, meski mati-matian ia berusaha mengatur detak jantungnya, khawatir akan orang yang menemani Naka. Entah Anggika atau Pandu, Mone jelas tidak menginginkan keduanya."Ama Papa," sahutnya dengan suara yang terdengar menggemaskan.Mone mematung seketika, mendengar satu nama meluncur dari mulut kecil Naka. Namun, ia segera tersadar Naka tampak masih di hadapannya."Papanya mana?""Gak tau," jawab Naka polos.Mone mengembuskan napasnya yang mulai terasa berat, kemudian ia tersenyum untuk menghadapi Naka."Naka mau main ama Aunty. Papa kenapa gak ajak Aunty buat maen sama Naka?"Senyum Mone luntur seketika, mendengar ucapan Naka. Anak itu menganggapnya yang kerap kali berdalih mengajak Naka main untuk mencuri wak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments