Minggu sore, bagian luar stadion Gelora Bung Karno tampak ramai pengunjung. Di akhir pekan, tempat itu menjadi salah satu favorit warga Ibu Kota dalam melakukan aktivitas kebugaran jasmani. Sejak pagi hari yang dibarengi dengan car free day, sampai nyaris tengah malam, tempat itu tidak pernah sepi oleh pengunjung yang datang dan pergi silih berganti.Mone menghentikan aktivitas larinya yang sudah mencapai putaran kedua. Wanita itu kini hanya melangkah seperti biasa, diikuti Rafka yang sudah berjalan sejak menuntaskan lari satu putaran."Kamu gak lari!" protes Mone saat Rafka sudah berjalan di sebelahnya."Capek, Mon! Ini ngiterin GBK, bukan lapangan RPTRA*." Rafka mengulurkan air mineral yang ada di tangannya, yang segera disambut Mone.(RPTRA : Ruang Publik Terpadu Ramah Anak)Diteguknya air mineral sampai isinya nyaris separuh, lalu ia melanjutkan langkahnya, yang mulai berjalan santai. Namun, tetap mengitari stadion."Lagi, kamu kesambet setan apaan ngajak lari gini? Kamu mana mung
Mone merapatkan mantel tebal yang melekat di tubuhnya. Hawa dingin semakin terasa merasuk ke tulangnya saat pendakian semakin mendekati puncak. Terlebih karena hari sudah mencapai petang, membuat sinar matahari perlahan memudar, berganti tugas dengan rembulan yang mulai menampakkan kehadirannya.Kakinya terus melangkah mengikuti teman-temannya yang berjalan di depannya. Mereka tampak mengejar waktu sebelum hari semakin malam, untuk setidaknya sampai pada pos berikutnya, lalu akan mendirikan tenda untuk bermalam sebelum melanjutkan perjalanan menuju puncak.Jalan berbatu dengan kanan-kiri jalan yang dipenuhi semak belukar, membuat langkahnya kesulitan. Terlebih karena pencahayaan yang mulai meremang, beberapa senter sudah mulai dinyalakan untuk membantu penerangan."Gara-gara si Rafka nih kebanyakan minta istirahat, jadi kesorean, kan!"Terdengar suara Alvin yang berjalan di belakangnya mengeluh, menyalahkan Rafka yang entah sudah berapa kali mengajak beristirahat karena kelelahan."Gu
"Ketemu!" Hilman setengah berteriak, ia membuka gulungan tali tersebut, lalu menyuruh Mone untuk sedikit menyingkir.Dikaitkannya tali tersebut pada batang pohon yang terlihat kokoh, yang berada di dekat situ. Hilman khawatir jika hanya mengandalkan tenaga mereka, yang ada malah yang lainnya ikut terseret. Kemudian, ia melemparkan tali tersebut pada Rafka, agar lelaki itu dapat memanjat dengan berpegangan pada tali tersebut."Tangan Rafka berdarah!" Mone memberitahu pada Bagas yang kini ada di dekatnya."Tenang, Mon. Rafka pasti bisa naik." Bagas menggenggam sebelah tangan Mone yang bergetar ketakutan, berusaha menenangkan sahabatnya itu.Rafka menggapai tali yang bergelantungan di sampingnya. Ia menoleh ke bawah sekilas, berusaha menelaah seberapa dalam tempat itu jika tak mampu menarik dirinya dengan tali itu. Namun, gelapnya malam seolah mengubur pandangannya. Ia tak dapat melihat ke bawah dengan jelas, tertutup oleh pekat.Kedua tangannya kini sudah menggenggam tali. Perlahan, ia
"Cause all of me. Loves all of you. Love your curves and all your edges. All your perfect imperfections. "Give your all to me. I'll give my all to you. You're my end and my beginning. Even when I lose I'm winning. 'Cause I give you all of me. And you give me all of you." - All Of Me, John Legend __________ Sebuah ruangan 2x3 yang terletak di sayap gedung, menjadi ruang privat antara perias dan calon mempelai wanita. Bagai ratu, mempelai wanita ditangani khusus oleh pemilik usaha riasan pengantin itu. Para pendamping sudah lebih dulu dirias bergantian oleh beberapa asisten di ruangan sebelah. Riasan pemeran utama jelas sakral dan memakan waktu lebih lama. Mata Mone mengerjap-ngerjap usai perias memasangkan bulu mata. Meski ia minta riasan sederhana, faktanya ia tetap harus memakai entah berapa lapis bulu mata yang membuatnya sulit untuk mengedip. Untuk sentuhan terakhir, Riani, pemilik bisnis perias pengantin itu menyemprotkan hairspray pada rambutnya yang sudah ditata. Setelahnya,
Lewat tengah malam, jalanan Ibu Kota tampak lengang, bahkan nyaris tak ada yang melintas. Hanya beberapa kendaraan yang didominasi truk barang melintas dengan kecepatan gila-gilaan karena kosongnya jalan.Rafka memacu motornya dengan kecepatan maksimal. Namun, karena motornya merupakan keluaran lama dan sudah sering mengalami gejala kerusakan, kecepatan maksimal dari motor tersebut jauh dari kata maksimal. Sepanjang jalan ia merapalkan sumpah serapah untuk motornya yang tidak mau bekerja sama di saat genting seperti ini.Menempuh waktu lima belas menit, ia tiba di depan rumah teman SMA sekaligus satu kampusnya. Ia tau ini sudah lewat tengah malam, tapi ia mendapat kabar yang sukses membuat jantungnya tak bisa berpacu dengan pelan."Gue udah di depan rumah lo, cepet keluar! Anter gue ke Sukabumi." Rafka berbicara dengan pemilik rumah di depannya melalui sambungan telepon, karena tak ingin membangunkan penghuni rumah yang lain."Hah? Ngapain? Lo gila, ya, Raf! Jam dua malem ngajak ke Su
Pukul lima lewat lima belas menit, Rafka baru tiba di samping mobilnya yang terparkir pada basement gedung perkantoran tempatnya bekerja. Ia memencet tombol yang ada pada kunci mobil dan terdengar bunyi klik pelan dari mobilnya. Lalu ia membuka pintu mobil dan duduk di hadapan setir.Tak lama kemudian mesin mobilnya menyala, mobil itu perlahan-lahan keluar dari parkiran basement, meluncur ke jalan raya yang dipenuhi berbagai macam kendaraan.Padatnya jalanan ibu kota saat jam pulang kerja bukanlah hal aneh baginya. Mau tak mau Rafka harus menurunkan kecepatan mobilnya, membuat lelaki itu mendengus pelan karena waktu semakin menjelang petang.Rafka melirik jam tangannya. Sudah sepuluh menit berlalu dan mobilnya belum berada jauh dari kantornya. Ia mendengus lagi, berusaha menyabarkan hatinya sendiri menghadapi kemacetan Ibu Kota yang tak pernah absen mewarnai jalan raya.Terdengar ringtone ponsel pertanda panggilan masuk, Rafka mengangkat panggilannya yang sudah tersambung dengan airpo
"Dulu kita masih remaja. Usia anak SMA. Di sekolah kita berjumpa. Pulang pasti kita berdua. Dan kini kamu ada di mana? Dan kini rindu, apa kabarmu?" - Dulu Kita Masih Remaja, The Panas Dalam_____________________ 12 Tahun Yang Lalu...Tahun ajaran baru sudah masuk sejak satu minggu yang lalu, papan mading yang berisi daftar nama siswa dan penempatan kelasnya sudah tak ramai seperti hari senin di minggu kemarin.Memang tidak ada yang menarik dari mading SMA Graha, selain berisi info-info tentang perlombaan yang sangat jarang diminati para siswanya. Mading itu hanya ramai saat hari pertama tahun ajaran baru, karena para siswa yang berebut untuk melihat namanya masuk di kelas mana.Namun, pagi ini seorang siswa yang seragamnya ditutupi oleh sweater hitam berdiri di depan madding, memperhatikan daftar nama siswa yang masih tertempel di sana. Ia berusaha mencari namanya dalam jajaran daftar nama siswa di kelas sebelas. Ada satu kemungkinan mengapa siswa itu baru mencari tau namanya ada di
“Udara mana kini yang kau hirup?Hujan di mana kini yang kau peluk?Di mana pun kau kini…Rindu tentangmu tak pernah pergi” – Dere, Kota_____________Malam harinya merupakan acara resepsi pernikahan Fando. Rafka dan teman-temannya sudah berkumpul di sana, mengisi salah satu meja yang kosong untuk menaruh semua makanan yang ingin mereka cicipi.Fando sendiri tampak sibuk menyalami tamu-tamu yang datang.Sekedar informasi, tentu saja Nadira-nya Fando bukan Anindia Fara.Rafka tertawa kecil mengingat tebakan asal teman-temannya. Sebrengsek-brengseknya hal yang pernah ia lakukan pada Fando, itu cuma masa lalu yang mungkin Fando sendiri sudah tidak mengingatnya."Dari dateng tadi kita belom salaman, nih." Farel mengingatkan teman-temannya yang masih sibuk mencicipi makanan."Nanti ajalah, gue sibuk. Lah si Bagas juga ngilang ke mana tuh?" Dika baru kembali dengan sebuah mangkuk berisikan bakso.Farel sampai bergidik melihat porsi makan Dika. Padahal, belum lama lelaki itu baru menghabiska