Elkan melirik Seruni yang telah berganti pakaian dengan kaos dan celana panjang jeans. Polesan riasan di wajahnya sudah terhapus sebagian. Kini rambut panjangnya dibiarkan tergerai. Dengan tampilan seperti itu, Seruni memang pantas memanggilnya Om. Elkan mengulum senyumnya. Tak menyangka bahwa ia telah memiliki istri yang usianya jauh di bawahnya. "Untung saja cantik," bathin Elkan, mengingat kejadian pahit yang baru saja dia alami. Sesekali diliriknya sang istri yang terlihat masih kaku. Melihat sikap Seruni, Elkan tak yakin dengan ucapan para warga yang mengatakan bahwa Seruni bekerja dengan menjual diri. Dari sikap dan pembawaannya yang pendiam, sama sekali tidak manggambarkan hal itu. "Kamu sudah makan?" tanya Elkan saat merasakan perutnya meminta diisi. Seruni menggeleng samar tanpa menoleh padanya. Elkan tak punya apapun yang bisa di makan di rumahnya. "Kamu bisa masak?" Lagi-lagi seruni hanya mengangguk tanpa bersuara dan tanpa menoleh padanya. Hal itu membuat Elkan ge
"Seruni, seruni ...,kamu masih lama?" Sejak tadi Elkan mondar-mandir di depan kamarmya. Ia ingin mengambil pakaian santainya yang ada di lemari. Namun sejak tadi Seruni tak kunjung keluar. Elkan mencoba mengetuk pintu kamar. "Seruni, seruni ..!" Lagi-lagi tak ada sahutan dari dalam. Elkan telah memanggilnya berkali-kali namun tetap tak ada suara dari dalam sana. Elkan panik. Setelah berpikir beberapa saat, akhirnya ia memutuskan untuk membuka saja pintu kamar yang memang tak ada kuncinya itu. Namun sesaat gerakan tangan Elkan terhenti. "Bagaimana jika saat aku buka, dia sedang .... Arrgh..." Elkan bingung. Setelah menunggu beberapa saat akhirnya Elkan memutuskan untuk memutar handel pintu kamarnya, lalu membuka pintu itu perlahan. Elkan tercengang melihat pemandangan di depan matanya. Seruni dengan memakai mukena lusuhmya sedang menengadahkan kedua tangannya dengan berurai air mata. Isak tangisnya terdengar samar. Hati Elkan tersentuh. Perlahan dia tutup kembali pintu kamarn
"Kamu kenapa masih ada di sini? Bikin kotor kampung ini saja!" "Iya, perempuan kayak kamu itu sebenarnya nggak pantas menikah dengan orang kota yang ganteng itu. Kamu pasti menggodanya habis-habisan dengan tubuh kotormu itu." Tiga orang wanita paruh baya tiba-tiba saja berhenti di depan rumah Elkan. Dua diantaranya bertubuh gemuk dengan daster tanpa lengan. Sementara yang satunya memakai stelan celana kulot selutut dengan tubuhnya yang sangat kurus. Mata Seruni memanas mendengar ucapan para wanita itu. Namun dia hanya diam saja. Gadis itu terus saja menyapu halaman dengan hati yang tercabik-cabik. "Hey, Seruni, Apa orang kota itu tidak tau siapa kamu sebenarnya?" "Apa kita beritahu saja orang kota itu kalau Seruni ini bukan perempuan baik-baik. Ibunya saja pelacur, penggoda suami orang." "CUKUP ...!! Kalian boleh menghinaku sepuasnya. Tapi jangan pernah menghina ibuku!" Air mata Seruni tumpah sudah. Dadanya kian terasa sesak. Bayangan kejadian setahun yang lalu kembali melintas
"Kamu kenapa lagi?" Elkan menyibak rambut Seruni yang menutupi sebagian wajahnya. Tubuhnya yang tinggi terpaksa berjongkok di hadapan Seruni demi bisa memandang wajah cantik istrinya. Wajah Seruni memerah yang lagi-lagi mendapat perlakuan manis dari suaminya itu. Apalagi dia kini tau siapa Elkan sebenarnya. Ternyata Seruni beberapa kali pernah melihat foto Elkan di media sosial. Ia pun pernah memuji ketampanan pengacara beberapa artis papan atas itu. Namun kini ia tak menyangka, pria tampan itu sekarang menjadi suaminya. "Hei .." Elkan mengangkat dagu Seruni dengan dua jarinya, agar Seruni tak terus menunduk. Netra mereka bertemu. Menciptakan degup jantung yang terdengar kian cepat. Wajah Elkan mendekat. Seruni sontak memejamkan mata. Hembusan nafas Elkan menyapu wajahnya yang menghangat. Seruni tersentak saat merasakan sesuatu menempel di kedua matanya secara bergantian. "Jangan menangis lagi. Apa kamu menderita setelah menikah denganku?" Seruni hanya menggeleng. Ia masih meng
"Sombong sekali dia sekarang. Mentang-mentang suaminya pengacara artis." "Huh, kalau aku tau dari dulu orang kota itu orang terkenal, mending buat anakku aja si Yati. Nyesel aku ikut-ikutan maksa-maksa mereka nikah kemarin." "Halaah, mana mau si Mas Ganteng itu sama anakmu,Yem!" Sontak terdengar tawa dan ejekan saling bersahutan. "Lah, mending anakku dong gadis baik-baik, dari pada sama pelacur." "Iya, kasian loh si Mas Ganteng itu. Jadinya sama perempuan kayak gitu." "Ih amit-amit, semoga aja dia segera diceraikan setelah suaminya tau siapa dia sebenarnya." Percakapan para wanita yang sedang berkumpul tak jauh dari rumah Elkan, terdengar jelas oleh Seruni. Sebisa mungkin ia menahan rasa sesak dan nyeri di dadanya. Kesulitan hidup yang tiada henti, hinaan bertubi-tubi, membuat dirinya lebih bisa berbesar hati menerima segala hinaan, makian dan cobaan. Seruni yang masih sangat muda, dipaksa untuk dewasa sebelum saatnya tiba. Namun itulah hidup yang harus dia jalani.Seperti bia
"Jangan banyak bicara! Kamu suami Seruni, kan? Ayo cepat bayar hutang-hutang orang tuanya!" Salah seorang rentenir membentak dengan garang. "Sayang, berapa jumlah utang orang tuamu?" "Li-lima juta, Mas ..." "Berapa yang sudah kamu bayar?" "S-sudah lebih dari sepuluh juta, Mas ..." Elkan geleng-geleng kepala mamandang para rentenir itu, seraya berkacak pinggang. "Ada apa Pak Elkan?" Apa ada masalah?" Para rentenir itu memucat ketika dua orang berpakaian polisi muncul menghampiri Elkan. "Seruni, kenapa bawa-bawa polisi segala?" bisik salah seorang rentenir mendekati Seruni. Seruni yang tak mengerti apa-apa hanya diam. Elkan tak suka melihat para rentenir itu mendekat pada Seruni. Pria bertubuh tegap itu lantas meraih jemari istrinya dan membawanya menjauh dari para rentenir itu. Wajah para rentenir itu berubah menjadi ketakutan. Mereka seketika panik ketika dua polisi itu melangkah semakin mendekat."S-seruni, kami pulang dulu. Lain waktu kami datang lagi." Dengan gerak cepat
"Kemana Mas Elkan? Kenapa pagi-pagi begini dia nggak ada di sofa panjang ini?" Seruni baru saja terbangun saat mendengar azan subuh. Namun dia terkejut tidak menemukan Elkan. Di kamar mandi pun tidak ada. Seruni melihat keluar, ternyata Elkan ada di dalam mobil. Sepertinya sedang mengambil sesuatu. "Mas, lagi apa?" tanya Seruni yang berdiri di depan pintu. Elkan tersenyum mendekati Seruni seraya membawa sebuah paperbag berwarna putih yang baru saja dia ambil dari mobil. "Maaf Aku kemarin lupa memberimu ini!" "Apa ini, Mas?" Seruni menerima paperbag itu dari tangan Elkan. "Langsung pakai ya Tapi kamu wudhu dulu sana!" Seruni meletakkan kembali paperbag itu di atas meja, lalu berlalu ke kamar mandi untuk berwudhu. Sebaiknya dia salat dulu sebelum waktunya habis. Baru saja Seruni keluar dari kamar mandi, Elkan sudah ada di depan.pintu yang ingin berwudhu juga. "Tungguin aku, kita jamaah!" sahutnya kemudian bergegas masuk ke dalam kamar mandi. Seruni masuk.ke dalam kamar dan m
"Kita cari sarapan dulu." Seruni mengangguk. Perutnya juga sudah minta diisi. Elkan menepikan mobilnya di depan sebuah cafe yang berada tak jauh dari gapura perbatasan desa Bambo. "Kita sarapan di sini aja. Sepertinya menunya enak-enak," ajak Elkan seraya melihat gambar beberapa menu yang ada di spanduk yang terpampang di pintu masuk cafe. Seruni terkejut saat menyadari di mana mereka berhenti. Namun sebisa mungkin gadis itu menyembunyikan rasa terkejutnya. Ia tak ingin Elkan tau yang sebenarnya. Elkan membantu melepaskan sabuk pengaman Seruni, lalu mengajakmya turun.. Cafe yang memang buka dari pukul tujuh pagi hingga jam dua belas malam iitu masih sepi pengunjung. Hanya ada dua orang pengunjung yang sedang sarapan. Elkan memilih duduk di kursi luar ruangan yang berada di sekitar taman. Ia ingin sarapan sambil memandang kehijauan. "Mau pesan apa? Kamu harus makan cukup. Perjalanan kita masih sangat panjang!" "Oh, iy-iya. Apa saja, Mas." Sebenarnya sejak masuk ke dalam tad