"Telpon dari siapa, Mas? Dari Aina?" Wajah Raka memucat. Jantungnya berdetak lebih cepat. Apa kali ini dia jujur saja pada istrinya itu? "Loh, kamu sudah bangun, Sayang?" Raka segera berusaha menguasai diri dari kegugupan dan mencoba untuk mengalihkan perhatian Shinta. "Jawab aku dulu, Mas! Apa itu dari Aina?" Tatapan tajam Shinta menghunus tepat pada manik mata Raka. Suami Shinta itu menghela napas panjang sebelum memjawab. "Iy-iyaaa. Aina mengabarkan ada sedikit masalah di salah satu hotelku." "Benarkah?" selidik Shinta tanpa memindahkan tatapannya, hingga membuat Raka semakin gugup dan gelisah "Iy-iyaa. Benar." "Harus di kamar mandi terima telponnya?" cecar Shinta lagi. "Maira, tadi itu aku memang sakit perut. Lagian aku nggak mau kamu berpikir yang tidak-tidak jika tau panggilan ini dari Aina. Aku takut kandunganmu kenapa-kenapa." "Huh, alasan!" bathin Shinta. Wanita itu mendengkus kesal. Emosinya selalu tersulut setiap mendengar nama Aina. "Kenapa kamu memilih bekerja
"Selamat pagi, Tuan Rein!" Rein yang belum lama terjaga dari tidurnya tersentak melihat seorang gadis berdiri di dapurnya ."Siapa kamu?" tanya Rein seraya mengernyitkan dahinya "Saya Ayu, anaknya Mbok Sum, Tuan." sahut gadis belia itu tertunduk saat melihat wajah Rein. Dia tak menyangka majikan ibunya adalah pria yang sangat tampan. Bahkan dia belum pernah bertemu pria setampan ini sebelumnya. "Memangnya Mbok Sum kemana?" tanya Rein kembali seraya duduk di depan televisi dan mengutak-atik remot mencari saluran yang pas untuknya. "Ibu sedang pulang kampung. Nenek saya sakit. Untuk sebulan ke depan saya yang menggantikannya beres-beres di sini." "Ya. Ibu kamu sudah menjelaskan apa saja pekerjaanmu di sini?" tanya Rein lagi tanpa menoleh sedikitpun pada gadis bernama Ayu itu. "Sudah, Tuan." Rein mengangguk. "Buatkan aku sarapan. Aku akan berangkat ke kantor pagi ini." Rein berkata seraya masuk ke kamarnya untuk bersiap-siap. Pagi ini Rein berencana hendak langsung menemui Shin
"Aku tidak akan membiarkanmu pergi berdua saja dengan laki-laki itu, Maira. Aku akan menemanimu." Shinta kesal, lagi-lagi Raka mengikutinya tugas keluar kota. Padahal masih banyak pekerjaan suaminya itu yang belum selesai. Raka sampai membatalkan beberapa janji dengan mitra bisnisnya demi ikut dengan Shinta keluar kota. "Untuk apa kamu mengikutiku seperti ini, Mas. Lagipula Aku dan Rein naik mobil yang berbeda. Kami akan bertemu di sana saat jadwal makan siang nanti." Raka tak menggubris penolakan Istrinya. Sejak Shinta mengatakan hendak melakukan peninjauan keluar kota, pria tampan yang telah menikahi Shinta sejak tiga tahun yang lalu itu langsung mengalihkan segala pekerjaan pada asisten pribadinya. "Shinta berdecak kesal, namun ia pasrah jika Raka memang hendak ikut dengannya. "Sebenarnya kali ini kamu hendak meninjau lokasi ke kota mana? Apa perlu kita membeli tiket pesawat?" tanya Raka seraya sibuk mengetik beberapa pesan di ponselnya. Pria itu sampai lupa menanyakan tujuan
"Ternyata kamu ingin membuat kejutan untukku, Raka. Aku akan segera ke hotel menemuimu sekarang juga." Betapa senangnya Aina, setelah salah seorang karyawan hotel menghubunginya dan mengatakan bahwa Raka saat ini berada di hotel. Tanpa menghubungi Raka lagi lewat ponselnya, Aina bergegas merias dirinya agar tampil lebih cantik di depan suaminya. Setengah jam kemudian, wanita dengan rambut panjang bergelombang itu melajukan mobil barunya menuju hotel Artika, hendak.menemui suami tercinta. Sementara itu Shinta hendak bersiap-siap menemui Rein di restoran hotel yang terletak tidak jauh dari lobby. Hari ini mereka hendak membicarakan agenda pertemuan dengan beberapa orang dari perusahaan Rein yang mengurus pembebasan wilayah yang akan dijadikan tempat wisata. Beberapa hari ke depan mereka berdua akan sangat sibuk. "Mau ke mana, Sayang? Kita baru saja sampai. Aku pesankan makanan, humm?" Raka tiba-tiba memeluk Shinta dari belakang. Sejak mereka berada di kota padang waktu itu, hingga
"Dimana suamiku berada?" "Tuan Raka ada di kamar 117, Bu Aina. Tapi ..." Tanpa mendengarkan karyawan hotel itu menyelesaikan kalimatnya, Aina langsung melangkah menuju kamar 117. Rasa rindunya pada Raka sudah tak terbendung. Dia tak peduli jika Raka tadi datang bersama Shinta. Yang terpenting baginya, kerinduannya pada Raka terobati. Raka mengumpat dalam hati melihat Shinta pergi begitu saja. Hasratnya yang sedang memuncak tak dapat tersalurkan. Raka sangat emosi. Namun dia tak ingin membuat keributan di hotelnya ini. Para Karyawan hotel hanya tau Aina lah satu-satunya istri Raka. Oleh sebab itu para karyawan hotel banyak yang bertanya-tanya saat Raka mengatakan bahwa Shinta adalah istrinya. Raka tersentak saat mendengar suara ketukan pintu di kamarnya. "Akhirnya kamu kembali Shinta. Mari kita lanjutkan permainan kita yang tertunda." Dengan penuh semangat Raka bergegas membuka pintu. Namun, alangkah terkejutnya ia saat melihat siapa yang datang? "Aina? K-kamu ... ke sini?" "Iy
Mata shinta membelalak melihat pemandangan yang menjijikan. Sepasang manusia sedang tertidur pulas tanpa sehelai benang pun melekat di tubuh mereka. Yang lebih menyakitkan hati, pria yang sedang memeluk wanita itu adalah suaminya sendiri. Sebuah teriakan spontan keluar dari mulut Shinta, membangunkan dua manusia yang baru saja mereguk nikmatnya surga dunia. Aina dan Raka kocar-kacir menutupi tubuh mereka dengan selimut, sambil memunguti satu -persatu pakaian mereka yang tercecer. .Bulir bening begitu deras seketika lolos dari kedua pelupuk mata wanita berhijab itu. Tubuhnya gemetar yang sejak tadi menahan rasa pusing, kini bertambah lemas karena melihat pemandangan yang begitu menyakitkan. Raka buru-buru memakai kemeja dan celana panjangnya. Wajahnya terlihat sangat panik. Sesekali matanya menoleh pada Shinta dengan raut wajah sangat cemas. Sementara Aina terlihat lebih tenang. Rencananya berhasil. Wanita itu sudah tidak sabar ingin memiliki Raka seutuhnya. Rasa cintanya pada Rak
Raka duduk memandang wajah Shinta yang terpejam. Shinta tertidur setelah diberi obat pereda nyeri oleh dokter tadi. Selang infus sudah terpasang di tangan kanan istrinya itu. Rasa menyesal yang menggunung menggerogoti jiwanya. Kini dia semakin khawatir Shinta akan meninggalkannya. Apalagi setelah kejadian tadi. Andai saja janin itu masih ada, tentu akan menjadi pertimbangan yang besar, agar dia tetap masih bersama dengan Shinta. "Maira .... maafkan Aku! Aku memang bodoh. Aku pria lemah yang mudah tergoda. Aku mohon tolong maafkan Aku!" suara serak Raka terdengar diantara isak tangisnya. Raka terus memandang wajah cantik istrinya. Wajah itu tampak pucat. Lagi-lagi dia merutuki dirinya sendiri. Ponsel di saku celana Raka terus bergetar sejak tadi. Pria itu beranjak keluar untuk menerima panggilan. Raka berdecak kesal melihat puluhan panggilan dari Aina. Seperti biasa, wanita itu tidak akan berhenti menghubunginya sebelum Raka menerima panggilannya. Raka memutuskan menekan tombol mer
"Ayah ...!" lirih Shinta saat terjaga. Pratama mengangguk lemah. Berusaha untik tersenyum. Walau sebenarnya ia pun ikut merasakan kesedihan kehilangan calon cucu keduanya. Dengan lembut, diusapnya kepala Shinta yang masih tertutup hijab. "Kamu yang sabar, kalian masih muda. Masih banyak kesempatan untuk.bisa punya anak lagi." Tangis Shinta semakin pecah. Yang ada dipikirannya bukan itu. Namun penghianatan Raka kembali terlintas di kepalanya. Dengan matanya sendiri, dia menyaksikan suaminya baru saja selesai mereguk kenikmatan di ranjang itu bersama wanita lain. Pratama semakin tak tega mendengar tangisan Shinta yang menyayat hati. Pratama merasa sedikit aneh dengan tangisan itu. "Maira, ada apa sebenarnya? Ceritakan saja pada kami!" ujar Hafiz yang sudah menduga ada yang tidak beres. Shinta hanya menggeleng. Belakangan ia tau ayahnya punya penyakit jantung. Ia khawatir jika ia ceritakan sekarang, Pratama akan kena serangan. Sementara Raka yang berdiri di belakang Pratama dan H