Setahun kemudian. "Ayo turun, Sayang! Kita sudah sampai." Paul membantu Syafa keluar dari mobil. Wanita itu kesulitan keluar karena perutnya yang sudah sangar besar. "Jangan lahir dulu, Nak. Biarkan Ibumu ini merasakan seperti apa wisuda itu." lirih Syafa seraya mengelus perutnya dengan lembut. Paul membimbing istrinya turun dari mobil dengan sangat hati-hati. Penampilan Syafa kini berbeda. Morine merancang kebaya panjang hingga semata kaki yang sangat pas untuk Syafa yang sedang hamil tua. Paul menggandeng Syafa menuju sebuah gedung pertemuan yang cukup berkelas di kota Jakarta. "Pelan-pelan jalannya. Jangan terlalu gagah!" bisik Paul yang terlihat tampan dengan stelan jas hitamnya. Pria bule itu melangkah dengan bangga mendampingi sang istri yang baru saja meraih gelar sarjananya. Beberapa bulan belakangan ini Syafa berjuang dalam keadaan perut besar demi menyelesaikan kuliahnya sebelum bayinya lahir. Dua target dalam hidupnya yang mampu ia capai dalam waktu bersamaan. Yaitu me
Hai, Pembacaku. Terimakasih sudah membaca Istri Dekilku Anak Sultan hingga tamat.Mau tau kisah Maira selanjutnya? Langsung aja baca cerita baru aku yang berjudul :Istri yang Tak Kau Percaya Ternyata Kaya Raya"Dengan wajah sok polosmu itu kamu berbohong kalau kamu masih suci! Padahal saat menikah denganku, kamu sudah tidak perawan!”Kehidupan rumah tangga Analea terasa dingin karena Hamid, suaminya, salah paham dan menuduh Analea tidak suci lagi, karena Analea tidak "berdarah" di malam pertama mereka. Ditambah lagi asal usul Analea dianggap tidak jelas dan kurang bermartabat karena merupakan anak angkat dari mantan wanita malam.Hingga akhirnya Analea menemukan suaminya tidur bersama wanita lain."Aku ingin bercerai!" Tak lagi bisa percaya pada Hamid, Analea menggugat. "Kalau tidak, aku akan sebarkan berita ini di kantormu.""Memangnya orang akan percaya padamu? Semua juga tahu dari mana asalmu! Mereka pasti lebih percaya padaku." Si suami peselingkuh enggan melepaskan Analea yang
"Kak, masuknya lewat pintu belakang aja!" ujar Imah setengah berbisik. Tiba-tiba saja Imah adik iparku yang masih remaja itu menghadangku untuk masuk ke dalam rumah. Aku yang baru saja pulang dari pasar tercengang melihat di dalam rumah banyak tamu. Tiga mobil mewah terparkir di pinggir jalan tepat di depan rumah ibu mertua. Tidak biasanya ibu kedatangan tamu dengan mobil-mobil bagus seperti itu. Pasti tamu-tamu itu bukanlah orang sembarangan. Siapa gerangan para tamu itu? Kenapa Imah melarangku masuk melewati pintu depan? Sejak kami menikah, Mas Alif mengajakku tinggal di rumah ibunya. Karena dia sendiri belum sanggup untuk membeli rumah. Jadi aku harus tau diri selama tinggal di sini. Karena masih menumpang pada mertua, aku tak boleh berpangku tangan. Apapun pekerjaan yang ada di rumah ini, aku kerjakan. Aku terpaksa menuruti ucapan Imah untuk masuk lewat pintu belakang. Dua kantong belanja yang cukup berat aku letakkan di atas meja dapur yang terbuat dari kayu. Memang dua hari s
"Maira?" Sontak aku terlonjak ketika seseorang memanggil nama 'Maira'. Nama yang tak asing bagiku. Astaga! siapa laki-laki ini? Kenapa ia tahu nama kecilku? "Shinta! Apa yang pecah?" Tiba-tiba ibu datang menghampiriku. Wajah mertuaku itu merah padam. Tatapannya nyalang padaku. Beliau pasti sangat marah. "G-gelas, Bu," sahutku bergetar. Aku masih shock dengan kejadian di ruang tamu tadi. Tubuhku masih gemetar. Bulir bening pun telah luruh di kedua pipiku. Berkali-kali aku mencoba menghapusnya dengan punggung tanganku. Sementara laki-laki yang menabrakku tadi masih terus menatapku. Entah kenapa aku merasa tak asing dengan tatapan teduh itu. Sungguh hati ini terasa damai melihat tatapan pria itu. "Hai, Kak Raka. Mau ke toilet? Yuk, aku antar!" Tiba-tiba imah datang menghampiri laki-laki yang ternyata bernama Raka itu. Imah sepertinya memang berusaha untuk mencari perhatian Raka. "Oh, ya. Makasih, Dek Imah," sahutnya ramah. Bibirnya melengkung menciptakan sebuah senyuman. Imah nampa
Pov Alif Pagi ini aku harus tampil rapi. Aku tak ingin harapanku untuk dapat bekerja di kantoran gagal lagi. Cita-citaku sejak dulu adalah bekerja di kantoran. Bukan sebagai pedagang di pasar seperti sekarang ini. Beruntung aku memiliki teman seperti Raka. Teman semasa SMAku itu memiliki banyak perusahaan. Raka memang berasal dari keluarga berada. Kemarin dia bilang membutuhkan banyak karyawan untuk bekerja di kantor cabangnya yang baru saja dibuka. Aku dan teman-teman SMAku segera akan melamar ke sana. Raka memang paling beruntung diantara kami. Hanya dia satu-satunya teman sekelas kami yang berhasil melanjutkan pendidikan hingga keluar negri. Tidak seperti aku. Kuliah di dalam negripun tidak. Aku hanya lulusan SMA. Sejak lulus sekolah hanya meneruskan usaha toko kelontong milik almarhum ayahku di pasar. Pagi-pagi sekali aku bangun. Biasanya aku bangun sesukaku. Kemudian berangkat ke pasar berjualan. Itu pun aku sering kesiangan. Rasanya sudah bosan hidup serba pas-pasan seperti
Suara motor Mas Alif terdengar di depan rumah. Berarti suamiku itu sudah pulang. Ingin rasanya kutanyakan padanya, kenapa pagi tadi dia berada di rumah perempuan itu. Kalau saja Ibu tidak menyuruhku mengantar , aku tidak akan tahu kalau rumah itu adalah milik Mela. Apa si Mela itu benar-benar tidak tahunasi kalau Mas Alif sudah beristri? Memang ketika kami menikah enam bulan yang lalu, tidak ada acara resepsi. Hanya selamatan kecil-kecilan keluarga Mas Alif dan tetangga kanan kiri. Aku yang hanya sebatang kara, hanya didampingi oleh ibu panti dan beberapa anak panti seangkatanku. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam." Mas Alif masuk ke dalam rumah dengan wajah tampak bahagia. Senyum mengembang di wajahnya. "Bu ..., Aku diterima kerja di kantornya Raka." ucapnya bersemangat seraya melangkah menghampiri kami. Mas Alif langsung menemui Ibu dengan antusias. Di tangan kanan dan kirinya terdapat beberapa bungkusan. Lagi-lagi dia berbelanja tanpa mengajakku. Selama menikah dengan Mas
Sebuah mobil mewah berwarna hitam legam berhenti di depan rumah. Ibu, Imah dan Kak May mengikuti Mas Alif menuju teras. Tampak Imah sudah tampil berbeda dengan riasan tebal dan pakaian sedikit terbuka. Entah kenapa Ibu justru menyuruhnya berpakaian seperti itu. Menurut beliau pakaian orang kaya memang seperti itu. Aku yang mengintip dari balik pintu, melihat sosok Raka keluar dari pintu mobilnya. Saat ini penampilannya lebih formal. Raka tampak lebih berwibawa dengan stelan jas abu tua. Wajah Ibu tampak sumringah melihat penampilan sahabat Mas Alif itu. Sepertinya Raka baru saja pulang dari kantor kemudian langsung menuju ke sini. "Assalamualaikum ..." "Waalaikumsalam ..." "Ayo silakan masuk, Nak Raka!" sapa ibu dengan sangat ramah. Sementara Imah yang berada di samping Ibu ikut tersenyum pada laki-laki itu. "Terima kasih, Bu, Dek Imah," sahut Raka. "Ayo silakan masuk, Bos!" Mas Alif merangkul Raka ke dalam. Kemudian terdengar obrolan basa basi mereka di ruang tamu. Jelas seka
Mataku membelalak ketika melihat kertas kecil dalam genggamanku bertuliskan 'call me'. Kertas yang ternyata sebuah kartu nama itu juga tertera jabatan Raka Adipratama sebagai CEO PT Ramajaya, serta nomor ponsel laki-laki itu. Apa maksudnya? Untuk apa Raka memintaku untuk menghubunginya? Siapa dia sebenarnya? Aku terus berpikir keras berusaha mengingat-ingat. Tapi sama sekali tak ada titik terang di pikranku. Aku tidak boleh gegabah. Bisa saja Raka adalah salah satu musuh orang tuaku yang ingin menyingkirkanku. Sebaiknya aku tetap waspada sambil mencari informasi. Namun bagaimana caranya? Siapa yang harus aku hubungi? Siapa yang bisa aku percaya saat ini? Untuk sementara nomor ponsel Raka aku simpan di kontak ponselku. Sewaktu-waktu mungkin aku akan memerlukannya. Sambil menunggu Mas Alif, aku mencoba lagi mengingat-ingat, di mana aku pernah bertemu Raka. Rasanya wajah itu tak asing bagiku. Tapi sungguh aku tak ingat siapa dia sebenarnya. Dari sikapnya, Raka sepertinya orang bai