"Ya Tuhan, pusing sekali." Shinta memijit keningnya saat terbangun subuh. Entah pukul berapa ia tertidur semalam. Rasa kantuk dan lelah tak membuatnya lekas tidur karena rasa gelisah yang melanda. Semalam Shinta mengirim pesan pada Rein. Ia meminta pria itu agar membatalkan janjinya untuk menjemputnya pagi ini. Mengingat ada Raka di rumah ini, Ia tak mau sampai ada keributan nantinya. Namun hingga pagi ini pesan itu belum dibaca sama sekali. Tidak biasanya Shinta merasa begitu gelisah seperti ini semalaman. Shinta bergegas mandi dan salat subuh. Lalu bersiap -siap untuk berangkat ke kantor. Seperti biasa, setiap pagi Shinta menghampiri Kaisar, bermain dan sarapan bersama menjelang ke kantor. Namun Kaisar dan babysitter tidak ada di kamarnya. Shinta melangkah hendak mencari keberadaan anaknya. "Kaisar ada di mana, Mbak?" tanya Shinta pada salah satu pelayan yang ditemuinya. "Oh, Kaisar ada sama Tuan di ruang makan, Non." "Terimakasih." Shinta bergegas ke ruang makan. Dia hampir
"Siapa wanita yang sedang bersama Rein itu?" Shinta merasakan gemuruh di dadanya ketika melihat seorang wanita cantik yang sangat sederhana sedang menyuapi Rein makan. Wanita berambut panjang itu masih sangat muda. Tentunya jauh lebih menarik dari dirinya. "Astaga apa yang sedang aku pikirkan? Apa aku cemburu pada wanita itu?" Shinta bertanya dalam hati. Suasana hatinya yang sedang tak baik-baik saja pagi ini, membuat pikirannya ikut menyimpulkan sesuatu dengan buruk. Shinta melihat Rein baik-baik saja. Walau ada perban di kepalanya, pria itu menerima suapan dari wanita berambut panjang dengan lahap. Tatapan Rein kosong menghadap dinding. Pria itu duduk bersandar pada ranjang tanpa bicara sepatah kata pun. "Kenapa mereka saling diam? Siapa sebenarnya gadis itu?" pikir Shinta. Rein dan gadis itu tak menyadari kehadirannya sejak tadi. Sesaat ada rasa nyeri dirasakan Shinta di dadanya. "Sebaiknya aku tidak jadi masuk. Rein ternyata baik-baik saja, dan sudah ada yang mengurusnya.
"Aku pulang dulu. Aku akan kembali lagi besok!" Shinta meraih tas cangklongnya yang tadi ia letakkan di atas sofa yang berada di pojok ruang VIP itu. "Kalau kamu pulang, siapa yang akan menyuapiku makan nanti?" tanya Rein. Tatapannya tak lepas pada wajah cantik Shinta yang kini mengenakan hijab berwarna marun. "Ada Ayu. Dia nanti ke sini lagi, kan?" "Ayu itu anak Mbok Sum. Katanya, Ia menggantikan Mbok Sum selama ibunya itu pulang kampung. Kamu enggak cemburu?" Rein memiringkan kepalanya mengikuti langkah Shinta. Shinta menggeleng sambil tersenyum. Ia tak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Walau sejak awal mendengar nama Ayu, hatinya sudah panas. Rein membuang pandangannya dengan napas kasar. "Kenapa?" tanya Shinta. "Aku pikir kamu cemburu," sahut Rein kecewa. Hal ini membuat Shinta terkikik dalam hati. "Aku pulang sekarang. Pastikan orang-orangmu menjagamu dengan baik malam ini." Shinta pamit dan bersiap untuk melangkah. "Tunggu!" Satu tangan Rein berhasil meraih lengan Sh
"Aku ... Aku dilamar Rein semalam." Hafiz dan Hikmah saling menatap. "Rein?" Hikmah mengerutkan keningnya. "Pria yang menolongmu saat penculikan dulu?" lanjutnya lagi. Shinta mengangguk antusias. Dia senang sepertinya Hikmah mendukungnya. "Kak Hafiz yang cerita," jelas Hikmah. "Trus gimana? Kamu terima?" tanya Hikmah penasaran. "Sayang, biarkan Maira melanjutkan ceritanya dulu!" ucap Hafiz lembut. Pria berbadan kekar itu membelai lembut hijab istrinya. "Oh iyaa, maaf ya, Shin. Aku kok jadi kepo." ujar Hikmah malu-malu. Shinta terkekeh. Ia senang melihat kemesraan Hikmah dan kakaknya. "Aku ...dan Rein saling mencintai. Kami ingin segera menikah. Aku butuh bantuan kalian untuk meyakinkan Ayah." Hafiz menatap Shinta tak percaya. "Bukankah ini terlalu cepat? Jujur, Aku tidak yakin Ayah akan menyetujui pernikahan kalian." "Justru itu, Aku membicarakan hal ini pada kalian. Aku butuh bantuan kalian." Shinta memandang keduanya dengan tatapan memohon. "Tunggu, apa kamu sudah yaki
"Cari tahu segera dimana Rein dirawat!" Hafiz menutup ponselnya. Ia meminta orang kepercayaannya untuk mencari keberadaan Rein. Sebenarnya ia bisa saja menanyakan hal ini pada Shinta. Namun ia tak mau adik tirinya itu tau rencana yang akan dia lakukan selanjutnya pada Rein. Tidak menunggu lama, sebuah balasan pesan masuk pada ponselnya. Hafiz bangkit, meraih jaket kulit dan kunci mobilnya. "Sayang, Aku keluar dulu. Mungkin agak lama." "Loh, mau kemana, Kak? Ini sudah hampir jam delapan malam." Hikmah memandang cemas pada suaminya.. "Ada perlu sebentar. Aku akan usahakan untuk pulang lebih cepat. Kamu kalau mengantuk tidur aja. Ada anak-anak sedang berlatih di depan. Mereka akan berjaga di sini sampai aku pulang." Hikmah menghela napas panjang. Ia selalu khawatir setiap Hafiz pergi malam hari. Apalagi kalau bukan urusan adu otot, pikirnya.. "Aku pergi, ya!" Hafiz melangkah keluar setelah mencium kening Hikmah. Wanita yang ia nikahi karena dijodohkan oleh Shinta, dan siapa yang
"Ada apa ini?" Shinta baru saja menapakkan kaki di lantai lobby. Ia melihat sedikit keributan di meja resepsionis. Seorang pria berperawakan asing dengan rambut kecoklatan sedang berdebat dengan resepsionis kantor dan beberapa security. "M-maaf Bu Shinta. Bapak ini memaksa ingin bertemu dengan Pak Raka," jelas resepsionis itu gugup. Shinta melihat wajah resepsionis itu cemas dan ketakutan. "Mas Raka pasti mengancam mereka," pikirnya. "Silakan hubungi saja ponselnya!" ucap Shinta. Sebenarnya ia tak ingin ikut campur. Namun pria bule itu sudah menyebabkan keributan di kantornya di pagi hari. Pria bertubuh tinggi besar itu tampak sangat bingung dan khawatir. "Sejak kemarin rumah sakit juga mencoba menghubungi ponselnya. Tapi tidak bisa." "Rumah sakit?" Shinta mengerutkan keningnya. "Iy-iyaaa, dokter memerlukan persetujuan Raka untuk melakukan tindakan pada Aina." Shinta tersentak mendengar Aina sedang di rumah sakit. Ya, rasa sakit karena dikhianati itu masih terasa, walau kin
"Kenapa kamu terlalu peduli pada Aina? Atau jangan-jangan anak itu memang benar anakmu?" Raka tersenyum sinis pada Paul.yang masih berdiri di hadapannya.. "Aku memang mencintai Aina sejak dulu, tapi yang ada di hatinya cuma kamu, dan janin di dalam perutnya itu bukan anakku!" Napas Paul naik turun dan semakin tersengal karena menahan amarah yang nyaris tak terbendung. Mendengar pengakuan cinta dari Paul, pria yang masih berstatus suami Aina itu tersenyum miring seakan meremehkan. "Apa lagi yang kamu tunggu? Apa.kamu memang menginginkan Aina mati?" Paul terus bicara sambil mengumpat dalam hati. Kedua tangannya sudah gatal ingin menyeret tubuh Raka dan membawanya masuk ke mobilnya. "Kau urus saja kekasihmu itu. Aku sudah tak peduli lagi padanya. Mau mati atau mau hidup terserah dia," ucap Raka santai, lalu menghempaskan tubuh di kursi kebesarannya. "Brengsek! Dasar laki-laki pengecut! Istri dan anakmu sedang mempertaruhkan nyawa, kamu tau itu?" Paul sudah tidak dapat lagi membend
"Aku akan menemanimu hari ini," ujar Shinta tanpa menoleh. Ia masih belum sanggup membalas tatapan Rein yang mendebarkan. Rein yang sudah lepas infus, sengaja menutup sebagian tirai di dekat ranjangnya. "Tapi aku mau kamu menemaniku selamanya," lirih Rein membuat Shinta semakin salah tingkah. "Mungkin kita harus lebih bersabar, Rein!!" Rein menghela napas panjang. "Baiklah. Minggu depan. Tidak bisa ditawar lagi. Minggu depan aku akan melamarmu pada Bapak Pratama." Shinta berpikir sejenak. Ia pun tak ingin menunda-nunda. Ia sudah sangat yakin dengan keputusannya. "Rein, bagaimana jika Ayah tidak merestui?" lirih Shinta lemah. Ada rasa khawatir yang begitu besar tersirat dari ucapannya. "Kita terus berjuang. Aku minta kamu jangan pernah menyerah. Kita sudah berjanji akan berjuang bersama-sama." Rein meraih jemari Shinta dan mengenggamnya erat. Pria tampan berhidung mancung itu mengecup jemari lentik Shinta cukup lama. Napas Shinta seakan berhenti saat merasakan sentuhan bibir