Di Mana Kamu Menyimpan Buku Favorit Edisi Terbatasmu?

Di kamarku yang penuh poster, aku punya trik simpel buat buku edisi terbatas yang nggak bikin pusing. Untuk yang paling sering kubuka, aku pakai rak tertutup dengan pintu kaca, supaya bisa dipajang tapi tetap terlindung dari debu. Buku yang super langka aku masukkan ke dalam kotak arsip berkualitas, sementara yang masih sering kubaca diletakkan berdiri dengan bookend empuk biar punggungnya nggak rusak.

Satu kebiasaan yang gampang tapi penting: selalu cuci tangan sebelum pegang, atau pakai sarung tangan katun untuk yang benar-benar sensitif. Aku juga taruh paket silica gel kecil di dekat rak dan jauhkan buku dari sinar matahari serta sumber kelembapan. Untuk judul-judul spesial seperti edisi collector 'Harry Potter' yang aku punya, aku foto tiap lapisan pembungkus sebelum membuka—berguna kalau suatu hari mau jual atau sekadar nostalgia.

Intinya, aku memilih cara yang balance: terlihat rapi untuk dinikmati, tapi cukup aman supaya nggak nyesel nanti. Buku itu untuk dibaca, tapi kalau bisa dirawat biar bisa diceritain lagi ke generasi selanjutnya, kenapa nggak?

Rak buku di kamar kerja aku itu punya sudut istimewa. Aku menyimpan edisi terbatas paling berharga di sebuah lemari kaca yang bisa dikunci—bukan karena takut dicuri, tapi karena aku ingin mereka tetap terjaga dari debu dan sinar matahari langsung. Di dalamnya, tiap buku diberi penyangga lembut dan berdiri tegak; kalau ada yang lebih besar atau tebal, aku taruh di rak bawah agar tidak menekuk punggungnya. Untuk pelindung ekstra aku pakai selubung polipropilen bebas asam, bukan plastik murah yang bisa mengeluarkan gas, karena beberapa edisi seperti 'Berserk' versi box set yang aku punya punya sampul yang sensitif terhadap perubahan lingkungan.

Kendali iklim itu penting buatku: aku jaga suhu kamar stabil dan pakai pengering silica gel di dalam lemari supaya kelembapan tidak naik. Tanda kerusakan seperti noda jamur atau kertas menguning selalu bikin kepala cenat-cenut, jadi aku rutin cek setiap beberapa bulan, buka lemari sebentar biar sirkulasi udara, dan foto tiap sampul untuk arsip digital—berguna kalau harus klaim asuransi atau sekadar nostalgia. Untuk buku yang benar-benar langka, aku simpan di kotak arsip berkualitas museum; kotak itu menahan debu dan benturan ringan, plus membuat susunan koleksiku terlihat rapi.

Meski aku perfeksionis soal penyimpanan, ada sisi lain yang tetap ingin dinikmati: beberapa edisi terbatas aku taruh di rak paling mencolok agar bisa kusentuh dan kubaca sesekali. Ada keseimbangan antara memamerkan dan mengamankan. Kadang aku tukar posisi koleksi untuk mencegah paparan cahaya berlebih di satu titik—rotasi kecil yang membuat semua barang tetap terasa hidup. Intinya, aku perlakukan buku-buku itu seperti barang yang bernapas: mereka butuh perlindungan, ruang, dan kadang sedikit perhatian manusia untuk tetap awet. Menjaga mereka bukan cuma soal nilai, melainkan juga soal kenangan yang melekat pada tiap halaman.

Akhirnya, meski teknis penyimpanan penting, aku selalu ingat satu hal sederhana: jangan mengurung barang kesayangan sampai lupa kenapa kamu mencintainya. Kalau aku terlalu protektif, aku malah bikin koleksi itu terasa asing, jadi aku sisakan waktu untuk membukanya, membalik halaman, dan mencium aroma kertas lama—itu yang paling membuat semua usaha perawatan terasa bermakna.