"Sayaaang," seru Anggi dari dalam kamarnya.
Pandu menaiki tangga tergopoh-gopoh, membawa tiga bungkus pampers berukuran besar dan satu plastik besar. Setengah jam yang lalu, Anggi menyuruhnya membeli perlengkapan bayi yang dia butuhkan termasuk susu dan Pampers untuk si kembar.
"Sayang," seru Anggi lagi.
"Iya, aku di sini," jawab Pandu masuk ke dalam dan melihat kesibukan Anggi mengurus bayi mereka yang berumur lima bulan.
"Apa lagi yang harus aku bantu?" tanya Pandu dengan napas tersengal-sengal.
"Bikinin susu untuk Aira, aku mau gantiin pampers Arya dulu," jawab Anggi meletakkan Aira ke tempat tidur bayinya, lalu mengangkat pelan tubuh Arya yang sudah menunggu antrian untuk di gantikan popoknya.
"Siap!" jawab Pandu lantang, lalu melangkah ke sudut ruangan yang sudah lengkap dengan semua peralatan susu bayi kembar mereka.
"Nggi." Wulan memanggilnya di ambang pintu.
"Iya, Ma."
"Kita berangkat setelah makan siang
Enjoy reading 😘
Taman samping rumah Shesa sudah di penuhi keluarga Atmaja dan Gunawan. Malam ini adalah perayaan kembalinya Gunawan setelah melewati masa hukumannya di penjara atas perbuatannya. Shesa dan Anggi duduk di sisi para suaminya, Gunawan dengan seksama mendengarkan cerita dari putri-putrinya melewati hari mengurus buah hati mereka. Sementara Wulan dan Paula sudah menjadi kebiasaan dua nenek ini menyiapkan segala sesuatu di meja makan. "Ini yang mau di bakar apa?" tanya Pandu dengan polosnya. "Jangan rumah gue," seloroh Alvin diiringi tawa semua anggota keluarga. "Kita tunggu satu keluarga lagi untuk bergabung," ujar Budiman. "Papa sengaja mengundang mereka." "Selamat malam." Semua orang menoleh ke asal suara, lelaki tampan bermata sipit berkulit putih, merangkul seorang wanita dengan perut yang membesar. "Aya, Windu," sahut Shesa yang tak percaya jika yang di maksud Budiman adalah Soraya dan Windu serta Citra yang berdi
Lelaki itu turun dari tubuh Shesa yang membuatnya melayang ke angkasa malam itu. Menjadikan lengan kekarnya sebagai bantalan untuk kepala sang gadis. Tak berapa lama, lelaki itu menatap langit-langit kamar, sementara Shesa di sebelahnya masih sibuk membuat lingkaran dengan jari jemarinya di dada lelaki itu. "Sha ... aku mau jujur sama kamu," ujarnya dengan wajah serius namun tangannya masih memberikan belaian lembut di pundak Shesa. "Aku sebenernya— aku sudah menikah," ujar Catur ragu-ragu. "Whattt?" Shesa menarik selimut agar menutupi seluruh tubuhnya, lalu berdiri. "Gila lo ya ... Pergi lo!" Seru gadis itu lantang, "segila gilanya gue, gue anti maen sama laki orang... Pergi lo!" "Maaf, Sha ... maaf aku baru mengatakannya sekarang, aku gak bisa membohongi diriku sendiri, aku suka hubungan kita tapi—" "Pergi ... sebelum gue panggil keamanan kesini ..
"Kurang ajar juga si Catur ya, gue kira dia single." Nina menepuk jidatnya. "Jangankan elo, gue aja masih gak percaya sampe detik ini... Astaga Nin, itu laki orang, gue gak pernah maen sama laki orang, gue kira tiga bulan ini gue udah beneran tobat, Catur nerima gue apa adanya, ternyata dia sama brengseknya dengan yang lain." "Yang gue heran, kenapa sama lo dia jujur ya Sha? bilang kalo dia udah nikah... Njiiirrr bini nya baru lahiran dua bulan lalu." "Dua bulan lalu baru ngelewatin masa nifas Nin, berarti selama tiga bulan sama gue, dia lampiasin hasratnya sembari nunggu bini nya kelar masa nifas, emang gak ada otak." Wajah Shesa memerah menahan marah. Untung saja coffeeshop milik Nina pagi ini masih sepi, jadi mau sekeras apapun suara Shesa menyalurkan kemarahannya juga tidak ada yang perduli. "Cariin gue kerjaan deh Nin, gue capek jadi model begini, kesenangan yang g
Bunyi jam weker menggema di kamar Shesa. Tepat pukul lima pagi, suara itu membuat matanya harus terbuka. Jika saja hari ini bukan jadwalnya dia harus berangkat ke Bali mungkin dia akan terbangun pukul tujuh dan masih menyempatkan dirinya untuk menikmati secangkir kopi latte di meja makan. Shesa harus bergegas, dia harus sampai di bandara pukul sembilan sedangkan situasi jalan di pagi hari kota besar ini begitu padat merayap, belum lagi Shesa harus menunggu orang bengkel untuk mengambil kunci di apartemennya, agar bisa membawa mobilnya ke bengkel. "Mas nya dimana? Atau gini aja deh, saya taruh kunci mobil di lobby apartemen ya ... nanti Mas bilang aja sama resepsionisnya, atas nama saya," ujar Shesa pada orang bengkel di seberang sana. Terburu-buru Shesa masuk ke dalam taksi yang akan mengantarkan dia ke bandara pagi ini. Jika saja urusan mobil bisa dia selesaikan semalam mungmjn dia tidak akan telat untuk urusan kunvu saja.
Meeting selesai dalam waktu hampir dua jam, dengan agenda jika besok akan di mulai kembali. Dan perusahaan membebaskan acara malam ini untuk para staff. Shesa berjalan menuju lift seorang diri, seperti biasa Reta selalu meninggalkannya dengan alih masih harus membahas beberapa poin saat meeting tadi, padahal sebenernya besok pun masih bisa di lakukan. "Jangan di tutup," seru suara dari luar lift saat Shesa sudah menekan tombol close, buru-buru Shesa menahannya. "Makasih," ujar lelaki itu. "Astaga, dia lagi," gumam Shesa. Lelaki itu bersandar di dinding lift, dengan satu tangan berada di kantung celananya memperhatikan Shesa yang menggulir layar gawainya. "Ketemu lagi kita," ujarnya membuka pembicaraan. "Iya, padahal aku udah berdoa, semoga gak ketemu lagi," kata Shesa dengan senyum tipis. "
Pagi itu Shesa berjalan sedikit terburu-buru bersama Reta. Memasuki ruangan rapat yang sudah di penuhi oleh banyak orang di dalamnya. Shesa hari itu mengenakan rok sepan hitam sebatas lutut dengan kemeja berwarna baby pink, dan laptop di tangan kanan serta tas yang berada di kiri lengannya. Duduk di meja yang bertuliskan namanya , mata Shesa seperti mencari seseorang. Mata itu bersitatap dengan obyekyang dia cari. Alvin sedang menatapnya, lelaki itu melempar senyuman. Meeting hari kedua ditujukan pada masing-masing divisi untuk melakukan presentasi di bagian masing-masing. Dan, hari ini divisi yang Shesa tempati mendapatkan kesempatan untuk menunjukkan kelebihan serta bagaimana mereka membantu perusahaan agar selalu di pandang baik sebagai salah satu perusahaan tekstil terbesar di negara ini. Shesa di tunjuk sebagai pembicara dari divisi Humas, wanita berumur 27 tahun itu berjalan sangat anggun. Aura model papan atas yang dulu sempat membawanya d
"Vin," lirih Shesa. "Hhmm." Alvin membuka satu per satu kancing kemeja Shesa, tangannya meraba dada Shesa sementara tautan bibirnya tak berhenti. Alvin menikmati permainan lidah Shesa di dalam rongga mulutnya. Ciuman Shesa begitu menghanyutkan, mereka sama-sama terbuai. Hingga akhirnya Alvin menarik mundur tubuhnya, menata mata Shesa yabg masih sendu. Kemeja Shesa sudah terbuka, buah dadanya begitu sempurna, pandangan Alvin turun pada dada yang masih terbalut bahan berenda berwarna nude itu. Alvin mengecupi dada Shesa, tubuh Shesa menegang ketika perlahan Alvin membuka pembungkus dadanya. "Vin,"lirih Shesa membusungkan dadanya. Alvin hanya bergumam, dia lebih memilih menikmati permainan lidahnya di puncak dada Shesa dan mendengarkan lenguhan suara Shesa yang merdu di telinganya. "Sha ... aku mau kamu," ujar Alvin, tangan lelaku itu turun menyusuri perut datar milik Shesa sampai pada pembatas rok yang Shesa kenakan. "Jangan," ujar Shesa
Sebuah minibus mengantarkan Shesa dan beberapa orang menuju Bandara I Gusti Ngurah Rai. Shesa tak habis pikir atas apa yang dilakukan oleh Alvin saat terakhir mereka bertemu tadi, tiba-tiba menarik tubuhnya lalu mendaratkan ciuman yang sama seperti malam sebelumnya. Shesa menggeleng lalu tersenyum, sudah dipastikan wajahnya merona merah. Jatuh cinta? Apa itu? Shesa belum pernah merasakannya sedalam ini bahkan dengan Catur si brengsek itu sekalipun. Senyum samar itu seketika hilang saat mengingat nama Catur kembali hinggap di benaknya "Sha, ayo ... siap-siap boarding," ujar Reta yang berjalan di depan Shesa. "Hari Senin, Pak Alvin gosipnya sudah bergabung di perusahaan kita," kata Reta menghempaskan tubuhnya duduk di sebelah Shesa. "Oh, selama ini ... maksud aku sebelumnya dia dimana?" "Gak tau ... gak jelas juga, ada yang bilang dia punya usaha sendiri di luar negeri ada yang bilang menghamburkan uang keluarga, entah mana yang benar."