"Mimpi apa sih aku semalam, Hen?" Desah Karina sambil menyusut air mata.
Heni menghela nafas panjang, ia menyodorkan tissu pada Karina. "Sudahlah, kamu sepuluh menit lagi sidang dan malah nangis sesegukan kayak gini? Kan file presentasi kamu udah ketemu, Rin."
Karina menghentakkan kakinya ke lantai, tampak terlihat dia begitu frustasi.
"Ketemu sih, cuma aku bayarnya harus pakai masa depan, Hen!" Kembali Karina terisak, sungguh simalakama sekali. Tidak ketemu flashdisk itu sama saja dia harus menunda wisuda S1-nya, dan sekarang ketemu, dia harus menukarnya dengan masa depan cemerlang yang sudah Karina rancang sejak lama, tidak adakah pilihan lain?
"Kamu sih!" Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Siapa suruh asal njeplak ngomong tadi? Pakai bawa-bawa nama Tuhan lagi, rasain sekarang!"
Tangis Karina makin kencang, membuat Heni kembali menggebuk punggung itu dengan kesal.
"Aku lagi kena sial kenapa kamu malah nyalahin aku?" Karina mencebik, kenapa tidak ada yang simpatik kepadanya?
Heni memutar bola matanya dengan gemas, bukankah Heni sudah bilang berkali-kali bahwa Karina tidak boleh sembarangan bicara? Tapi dia sama sekali tidak mendengar, dan sekarang kena batunya, bukan?
"Kan dulu aku udah pernah bilang, jangan asal kalau ngomong, kena, kan, sekarang?" Desis Heni sedikit kesal. "Dah lah, dokter Yudha ganteng juga kok. Mana tinggi lagi, memperbaiki keturunan, Rin. Tinggi kamu kan cuma satu setengah meter nih, nah nikah sama dokter Yudha yang menjulang gitu otomatis nanti anak kamu kan bakal--."
"Aaaaaaaa .... Huaaaaa!!"
Kembali Karina menangis sambil berteriak, membuat atensi peserta sidang skripsi yang sedang menunggu giliran tertuju kepadanya. Heni sontak membungkam mulut itu, menginjak kaki Karina keras-keras.
"Sakit, Hen!" Protes Karina sambil melotot tajam.
"Inget kata-kataku, bakalan lebih sakit besok pas di perawani dokter Yudha daripada aku injek kakimu seperti ini!"
Karina membelalak, bayangan tidak senonoh yang pernah tidak sengaja dia lihat di video yang ada di ponsel sang kakak kembali berputar dalam pikirannya saat ini.
Dia dan sosok itu? Saling polos dan melakukan ....
"Heh!" Kembali Heni menggebuk punggung Karina, "Mikir apa wajahmu sampai merah begitu, heh?"
Karina tersentak, ia sontak menutupi wajah merah padamnya dengan kedua tangan. Membuat Heni sontak tertawa terbahak-bahak.
"Hayo mikir ngeres, kan?" Tebak Heni setengah menggoda.
"Apaan sih, gaje!" Tukas Karina sambil menghirup udara banyak-banyak.
"Kayaknya punya dokter Yudha gede deh, Rin. Lihat deh posturnya, apalagi--."
"STOP!" potong Karina cepat, apaan sih Heni ini? Kenapa bahas sampai sana? "Apanya yang gede? Lubang hidungnya? Matanya atau apa?"
Heni sontak nyengir lebar, mendekatkan wajahnya ke telinga Karina lantas berbisik lirih, "Anunya lah, manteb tuh kayaknya!"
Karina melotot, mulutnya separuh terbuka sambil menatap nanar sahabatnya yang tampak nyengir lebar sambil menaikkan kedua alis. Karina hendak buka mulut dan kembali berteriak ketika panggilan itu membungkam mulutnya seketika.
"Karina Destinna Pertiwi."
***
Heni menatap kepergian sosok itu dengan tatapan iba. Dia tahu betul sahabatnya itu sejak dulu selalu bertikai dan berselisih dengan sosok dokter bedah ganteng itu. Dan sekarang, dia termakan sumpahnya sendiri, dia harus mau tidak mau dinikahi oleh sosok dokter Yudha Anggara Yudhistira yang dia benci setengah mati.Heni duduk di sofa depan ruang sidang, ia baru sidang minggu depan dan untung sekali tadi dia membawa laptopnya, jadi bisa dipakai Karina untuk sidang skripsinya. Dia masih tidak habis pikir, bagaimana bisa laptop Karina mati layarnya? Mana tadi flashdisk sempat hilang lagi.
Ah ... Agaknya semesta memang menjodohkan dirinya dengan dokter bedah favorit se-Fakultas Kedokteran.
"Apes banget sih kamu, Rin? Salah siapa mulut asal jeplak." Heni tertawa konyol, dasar Karina. Sejak dulu selalu begitu.
Dulu Heni sudah banyak menasehati tapi siapa suruh tidak mendengarkan apa yang Heni nasehat kan? Kena, kan, sekarang?
"Tapi lucu juga kayaknya kalau mereka jadi nikah beneran," Heni menopang dagunya, membayangkan Karina bersanding dengan sosok itu di pelaminan.
"Pakai adat apa besok?" Heni memvisualisasikan sosok Karina dalam busana pengantin, pasti cantik! Karena Heni akui, Karina memang cantik! Coba kalau jelek, pasti meskipun dokter Yudha yang menemukan benda itu, dia nggak bakalan mau menikahi Karina meski Karina sudah bersumpah sekali pun.
Senyum Heni merekah, dia jadi sangat tidak sabar menyaksikan mereka bersanding. Ah ... Kenapa jadi Heni yang tidak sabar.
"Kira-kira malam pertama mereka besok gimana?"
Kembali senyum Heni merekah, dia jadi macam orang gila begini? Senyam-senyum sendiri, ngomong sendiri seperti ini? Ah ... Semua gara-gara si Karina dan dokter ganteng itu!
"Minta live boleh kali? Live malam pertama mereka sepanas apa nanti?" Ah ... Tawa Heni kembali pecah, kini ia harus menutup mulutnya agar suara tawa keras itu tidak terdengar oleh orang-orang di sekitarnya. Bisa-bisa Heni dibawa ke Prof Junaedi, dikira ada gangguan psikologis.
"Tunggulah tanggal mainnya, dan nikmati yah jadi Nyonya Yudha. Beruntung amat sih, lulus S. Ked eh dapat suami udah spesialis!"
***'.... Demi Allah, siapapun yang nemu flashdisk aku dan kasih balik ke aku, kalau dia perempuan aku jadikan dia saudara dan kalau dia laki-laki bakal aku jadiin suami!'Bunyi sumpah Karina tadi entah mengapa terdengar begitu indah di telinga Yudha. Ah ... Baru beberapa menit yang lalu dia mengeluh cari istri kemana, eh ternyata langsung nemu!
Yudha melirik smartwatch yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah setengah jam, sudah selesaikah Karina dengan sidang skripsinya? Benarkah dia akan menemui Yudha atau malah kabur?
"Awas saja kalau kamu kabur, aku kejar sampai kemanapun, Rin. Daripada harus nikahin Tere, mendingan ngejar kamu lah." Desis Yudha sambil mengusap wajahnya.
Bayangan wajah itu masih terngiang di dalam benak Yudha membuat Yudha tak terasa menyunggingkan senyum tipis.
Cantik, imut dan menggemaskan!
Sedetik kemudian wajah sumringah Yudha berubah masam. Teringat bagaimana menyebalkannya gadis itu. Baru jadi mahasiswinya saja sudah bikin Yudha sakit kepala, bagaimana nanti kalau jadi istri?
"Ah ... Bisa diatur mah nanti, yang penting nggak harus nikah sama Tere! Gila apa nikah sama dia?" Kembali Yudha tersenyum kecut.
"Lagian ibu ini gimana sih? Dapat ide edan itu dari mana? Masa iya anaknya ganteng begini mau dinikahin sama cewek model kayak begitu? Ogah lah!"
Yudha kembali melirik smartwatch di pergelangan tangannya, ia segera memberesi buku-buku dan melangkah keluar dari perpustakaan. Siapa tau dia sudah menunggu Yudha, bukan?
Intinya hanya Karina yang bisa menyelamatkan masa depan Yudha sekarang! Hanya dia. Yudha melangkah dengan begitu santai, hingga kemudian wajahnya berubah cerah ketika melihat sosok itu tengah berdiri di depan pintu ruang dosen.
"Ah ... Baru mau aku cari, kamu sudah datang sendiri!" Yudha mempercepat langkahnya, rasanya dia sudah tidak sabar lagi hendak berbincang banyak hal dengan sosok itu.
"Cari saya?"
Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona."Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam
"Bismillah dulu sebelum buka amplopnya."Pandangan Karina yang semula tertuju pada amplop di tangannya sontak beralih pada sosok berjilbab itu. Dokter Rasya tersenyum begitu manis, membuat jantung Karina makin kencang berdegub. Di dalam amplop itu ada secarik kertas yang menentukan hidupnya setelah ini. Ah ... maksudnya menentukan nasib perjalanan pre-kliniknya yang sudah tiga setengah tahun dia lalui."Bismillah, ya Allah," desis Karina lirih lalu membuka amplop itu.Ia mengambil kertas yang terlipat di dalamnya, membukanya perlahan-lahan dengan jantung yang berdisko ria. Harus lulus! Kalau tidak bisa habis Karina nanti. Mana dia harus izin nikah lagi, ah! Kenapa malah mikirin nikah sih? Karina memaki dirinya sendiri, semoga...Karina tertegun, surat itu sudah dia buka dan tak selang lama terdengar suara teriakan riuh teman-teman yang berjuang sidang bersamanya hari ini. Karina LULUS! Dia sudah lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Kedokt
Yudha meletakkan ponselnya, sedetik kemudian senyum Yudha merekah sempurna. Wajah cantik yang nampak manyun tadi kembali terngiang di dalam benak Yudha. Dia harus menekan sosok itu agar membujuk sang ayah merestui lamaran Yudha. Kalau tidak, bisa dipastikan lamaran Yudha bakal ditolak mengingat Karina masih cukup belia dan baru saja lulus S1 kedokteran. Dan jangan lupa, usia Karina dan Yudha terpaut cukup jauh! Tiga belas tahun! Dan kalau lamaran Yudha ditolak, tahu kan apa yang akan terjadi pada Yudha ini? Dia akan dipaksa sang ibu menikahi Tere! Dan Yudha tidak mau itu terjadi. "Mau tidak mau, kita harus menikah, Rin! Dan kamu harus pastikan papamu setuju!" desis Yudha lirih. Dan malam nanti, dia harus bicara banyak hal pada Karina. Sebelum nanti Yudha datang ke rumah gadis itu dan memintanya langsung kepada sang ayah. Perlu dicatat, Yudha tidak mau pulang dengan tangan kosong dari sana. Tidak! Dia harus bawa Karina ikut pulang bersamanya, menjadi istrinya
"Dokter mau ngajar?" komentar Karina asal ketika sudah masuk ke dalam Pajero Dakar berwarna putih itu. Pasalnya penampilan Yudha begitu rapi malam ini, seperti ketika sedang mengajar di kelas.Celana bahan dan kemeja itu terus terang menampilkan kharisma yang begitu kuat, hanya saja di mata Karina, penampilan Yudha bapak-bapak sekali! Ah! Agaknya Karina lupa bahwa dia dan laki-laki ini beda generasi.Tampak sosok itu mendengus kesal, menoleh ke arahnya dan langsung mengomel."Ngajar katamu! Memang saya nggak boleh istirahat apa?" gerutunya dengan bibir manyun. "Saya mau ajak kamu makan malam, sekalian mau bahas masa depan."Karina tertegun sejenak, bahas masa depan? Bahas masa depan yang seperti apa? Kenapa dosen jutek dan menyebalkan ini jadi begitu bernafsu ingin menikahi dirinya? Jangan-jangan ..."Rin, tolong pakai sabuk pengamanmu!" titah Yudha membuyarkan lamunan Karina.Karina sontak nyengir, menarik seat
"Butuh yang bagaimana, Dok?"Tentu Karina terperanjat mendengar alasan Yudha ketika Karina tanya kenapa dia begitu bernafsu hendak menikahi dirinya."Saya butuh kamu untuk saya nikahi, untuk menyelamatkan masa depan saya, Rin."Kembali Karina terperanjat, dia syok dan terkejut luar biasa dengan kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut laki-laki itu. Ini maksudnya gimana?"Pardon?" alis Karina berkerut, laki-laki ini benar-benar lain!Yudha nampak menghela napas panjang, sementara Karina masih menatap sosok itu dengan saksama. Sebenarnya ada apa sih? Kenapa jadi Karina dihubungkan dengan misi penyelamatan masa depan sosok dokter bedah umum itu? Memang ada apa dengan masa depan laki-laki jutek dan menyebalkan macam Yudha?"Jadi begini," Yudha menatap lurus ke dalam manik mata Karina, "Kamu tahu, kan, umur saya ini berapa?" tanya Yudha serius."Lah mana saya tahu, Dok? Memang umur Dokter berapa?" jawab Karina balik b
Yudha menepikan mobilnya, menghentikan mobil itu di trotoar yang cukup sepi dan agak gelap. Membuat Karina sontak merinding dan sedikit ketakutan."Dok, mau ngapain?" kontan Karina panik, mau apa lagi sih dosen absurb-nya ini? Kenapa juga dia tidak ada panggilan cito mendadak? Jadi Karina tidak bisa kabur melarikan diri."Membicarakan jalan keluar untuk masalah kita." Yudha menoleh, menatap Karina yang memucat itu dengan tatapan serius.Karina menelan ludahnya dengan susah payah, jalan keluar yang seperti apa sih? Memang dokter menyebalkan satu itu punya rencana gila apa lagi selain tiba-tiba mengajaknya menikah?"Ja-jadi jalan keluar yang seperti apa, Dok? Dokter hendak membatalkan rencana kita menikah?" tentu itu harapan Karina, bukan? Namun sepertinya tidak semudah itu.Yudha mengayunkan tangannya, mencubit pipi Karina sampai gadis itu terkejut dan berteriak kesakitan."A-aduh ... aduh! Sakit, Dok!" teriak Ka
Yudha memasukkan mobilnya ke dalam garasi, setelah mematikan mesin mobil dan melepas seat belt, ia bergegas turun dan melangkah masuk ke dalam. Ia baru hendak membuka pintu ketika pintu itu sudah terhempas terbuka."Gimana, Yud?"Yudha menghela nafas panjang, sebegitu inginnya sang ibu melihatnya menikah? Bahkan sampai rela menunggu Yudha pulang selarut ini?"Apanya yang bagaimana, Bu?" tanya Yudha mencoba membelokkan arah pembicaraan.Sontak tangan Ningsih terayun, mengebuk gemas pantat Yudha sampai laki-laki tinggi tegap itu melonjak kaget."Aduh ... sakit, Bu!"Yudha menatap gemas ke arah sang ibu, sungguh memalukan sekali! Untung sejawat dosen dan dokter serta mahasiswanya tidak ada yang melihat, kalau ada yang melihat? Bisa hancur reputasi Yudha dalam sekejap."Makanya, jangan suka bercandain orang tua!"Yudha menghela nafas panjang, "Yudha bercanda yang bagaimana sih, Bu? Baru aja pulang loh
Yudha tergelak ketika foto-foto selfie gadis menyebalkan yang notabene adalah calon istrinya itu masuk ke dalam ponselnya. Dari mulai foto resmi sampai foto selfie alay semua dikirim ke nomornya. Entah berapa jumlahnya, Yudha tidak hitung pasti, yang jelas foto-foto itu memenuhi galeri ponsel miliknya yang biasanya kosong."Lebay!" Yudha mencibir, sedetik kemudian senyumnya merekah. "Cantik juga tapi!"Tentu Yudha tidak berbohong, Karina memang cantik kok. Tubuhnya mungil, wajahnya cantik dengan kulit putih, intinya dia begitu menggemaskan! Hanya saja satu, sikapnya rese dan menyebalkan sekali yang kadang membuat Yudha naik darah menghadapi gadis satu itu.Yudha masih membuka-buka foto itu, sampai di salah satu foto, tampak Karina berpose full body dengan memakai blouse bercorak bunga dan celana yang sangat pendek. Celana yang mengekspos kaki putih mulus miliknya dengan begitu sempurna.Yudha mendengus pelan, ada gairah yang muncul dari