Yudha tersenyum melihat pemandangan di depannya itu. Kalau saja tidak ada ibu dan mertuanya di sini, mungkin Yudha sudah sesegukan menangis. Bagaimana tidak? Yudha tidak pernah berpikir kalau kemudian dia bisa sampai pada tahap ini, tahap di mana dia akhirnya bisa menyandang dua gelar yang dulu sama sekali tidak pernah terlintas dalam benaknya.Jadi suami dan seorang ayah!Ternyata rasanya sebahagia ini! Begitu bahagia sampai-sampai Yudha tidak bisa mengungkapkan kebahagiaannya dengan kata-kata.Yudha melangkah mendekat, menatap dengan saksama bagaimana manisnya Arjuna yang tengah menyusu pada ibunya."Hai, Jun ... ketahuilah, yang kau nikmati itu dulu jatah ayahmu." bisik Yudha yang langsung dapat sebuah tabokan dari Karina.Yudha terkekeh, dikecupnya puncak kepala Juna dengan penuh kasih sayang. Lalu tidak lupa puncak kepala Karina. Yudha mencintai dan mengasihi keduanya, bukan hanya salah satu saja."Kapan boleh pulang, Mas?" tanya Karina setelah Yudha duduk di kursi yang ada di sam
“Mau sampai kapan sih, Yud? Kamu sudah tiga puluh lima tahun.”Yudha yang hendak menyuapkan nasi ke dalam mulutnya itu sontak menghela napas panjang, meletakkan kembali sendok berisi nasi ke atas piring dan menatap ibunya dengan saksama. Ningsih yang ditatap sedemikian serius oleh sang anak pun membalas tatapan itu, netra mereka beradu untuk sepersekian detik, hingga kemudian Yudha yang mengalah dan menundukkan kepalanya.“Kariermu sudah oke banget. Dokter iya, dosen iya, terus kamu mau cari apa lagi sih?”Yudha membisu, dia tahu betul sia-sia berdebat melawan ibunya dalam kondisi seperti ini. Semuanya akan dilibas wanita paruh baya itu dengan begitu mudah dan Yudha? Tentu akan kalah telak!“Mau cari calon yang kayak siapa? Maudy Ayunda? Atau Mikha Tambayong? Apa malah yang kayak Cinta Laura?” Ningsih melirik Yudha yang tampak jemu itu. “Kalau yang kamu bidik mereka, harusnya kamu jadi pengusaha saja, jangan jadi
Yudha memarkirkan mobilnya di area pakir Fakultas Kedokteran universitas tempat dia mengajar. Tas ranselnya sudah naik ke punggung, ia sudah mematut diri dan semuanya tampak rapi. Yudha melangkah dengan begitu tenang, beberapa kali menyungginkan senyum tipis ketika ada yang menyapanya. Dia hendak melangkah keluar dari area parkir ketika kakinya menginjak sesuatu.Yudha menundukkan tubuhnya, meraih benda berwarna pink dengan gambar babi itu.“Flashdisk?”Alis Yudha berkerut, ia menggeleng dan membawa flashdisk itu dalam genggmannya. Mungkin milik salah satu mahasiswinya. Ia terus melangkah, sambil menghilangkan perlahan-lahan rasa dongkol yang bercokol di dalam hatinya, efek obrolan membosankan bersama sang ibu.***“Cari yang bener dong, Rin!”Karina sontak mendengus, memutar bola matanya dengan gemas sambil menatap Heni yang tampak ikut panik.Bagaimana tidak panik kalau 30 menit lagi Karina harus sidang skrip
Dan di sinilah Yudha berada sekarang, duduk di sebelah Karina, mahasiswi paling menjengkelkan dalam sepanjang karier Yudha menjadi dosen. Ya ... walaupun baru 2 tahun ini dia menjadi tenaga pengajar di universitas, tetapi sungguh baru kali ini dia bertemu dengan makhluk semenyebalkan Karina.“Jadi bagaimana, Karina?” tanya Profesor Pamudji, dekan Fakultas Kedokteran itu sambil menatap keduanya secara bergantian.“Saya mau mengajukan protes, Prof!” ujar gadis itu tanpa takut, yang sontak membuat Yudha melonjak kaget. Edan! Berani benar rupanya makhluk satu ini!“Protes yang seperti?” tampak Profesor Pamudji menatap Yudha yang terkejut itu, ia masih mencoba tenang dan hendak menyimak apa yang hendak mahasiswi semester 4 itu keluhkan.“Saya keberatan dengan para dosen yang seenaknya bikin peraturan tidak boleh ikut kelas ketika ada mahasiswa yang terlambat! Itu sangat merugikan. Kami di sini bayar SPP juga, Prof. Uan
"Si Joni kemarin istrinya lahiran loh, Yud!"Yudha sontak lemas. Benar, kan? Di hari kedua ibunya di sini, pasti itu yang bakalan dia bahas! Sudah Yudha tebak!"Ya baguslah, Bu. Nambah personil, nambah rejeki." Begitu, kan, kata orang tua zaman dulu? Semboyan yang membuat satu KK sampai punya belasan anggota keluarga, banyak anak banyak rejeki!"Ya makanya itu ... Kamu kapan nikah, Yud?"Skakmat!Kepala Yudha langsung berputar, rasanya ia ingin melesat masuk ke dalam kamar, tapi meninggalkan ibunya seorang diri di depan TV seperti ini? Itu mencari ribut namanya!"Nanti lah, kerjaan Yudha lagi padet, Bu." Jawab Yudha berharap ibunya tidak lagi membahas hal itu. Namun agaknya Yudha salah, karena sedetik kemudian, Ningsih langsung membelalak dan nampak tidak kesal dengan jawaban yang keluar dari mulut sang anak."Nanti terus! Dari kamu lulus jadi dokter sampai sekarang sudah spesialis tiap ditanya kapan nika
"Mimpi apa sih aku semalam, Hen?" Desah Karina sambil menyusut air mata.Heni menghela nafas panjang, ia menyodorkan tissu pada Karina. "Sudahlah, kamu sepuluh menit lagi sidang dan malah nangis sesegukan kayak gini? Kan file presentasi kamu udah ketemu, Rin."Karina menghentakkan kakinya ke lantai, tampak terlihat dia begitu frustasi."Ketemu sih, cuma aku bayarnya harus pakai masa depan, Hen!" Kembali Karina terisak, sungguh simalakama sekali. Tidak ketemu flashdisk itu sama saja dia harus menunda wisuda S1-nya, dan sekarang ketemu, dia harus menukarnya dengan masa depan cemerlang yang sudah Karina rancang sejak lama, tidak adakah pilihan lain?"Kamu sih!" Heni menggebuk punggung Karina dengan gemas, "Siapa suruh asal njeplak ngomong tadi? Pakai bawa-bawa nama Tuhan lagi, rasain sekarang!"Tangis Karina makin kencang, membuat Heni kembali menggebuk punggung itu dengan kesal."Aku lagi kena sial kenapa kamu malah nyalahin
Karina menatap gelisah pintu ruangan itu. Beberapa mahasiswa menatapnya sambil berbisik-bisik. Tentu tanpa perlu mendengarkan apa yang tengah mereka bisikkan, Karina sudah tahu mereka tengah membicarakan dirinya perihal nasib sial yang harus dia terima akibat sembarangan mengucap sumpah beberapa jam yang lalu.Ia sudah selesai sidang skripsi, dan sesuai yang sudah tadi sosok itu bicarakan, Karina hendak membicarakan hal itu. Membicarakan sumpahnya, ah tidak ... Lebih tepatnya hendak memohon sosok itu agar tidak menganggap semua tadi serius.Karina hendak melangkah masuk ketika suara langkah kaki itu memaksanya menoleh. Sosok itu -dokter Yudha- tampak melangkah dengan penuh percaya diri dan begitu gagah. Membuat Karina tertegun sesaat karena baru menyadari bahwa sosok itu luar biasa mempesona."Cari saya?" Tanya sosok itu sambil tersenyum.'Iya lah cari kamu, memang siapa lagi?' Karina mengumpat dalam hati, hanya berani di dalam
"Bismillah dulu sebelum buka amplopnya."Pandangan Karina yang semula tertuju pada amplop di tangannya sontak beralih pada sosok berjilbab itu. Dokter Rasya tersenyum begitu manis, membuat jantung Karina makin kencang berdegub. Di dalam amplop itu ada secarik kertas yang menentukan hidupnya setelah ini. Ah ... maksudnya menentukan nasib perjalanan pre-kliniknya yang sudah tiga setengah tahun dia lalui."Bismillah, ya Allah," desis Karina lirih lalu membuka amplop itu.Ia mengambil kertas yang terlipat di dalamnya, membukanya perlahan-lahan dengan jantung yang berdisko ria. Harus lulus! Kalau tidak bisa habis Karina nanti. Mana dia harus izin nikah lagi, ah! Kenapa malah mikirin nikah sih? Karina memaki dirinya sendiri, semoga...Karina tertegun, surat itu sudah dia buka dan tak selang lama terdengar suara teriakan riuh teman-teman yang berjuang sidang bersamanya hari ini. Karina LULUS! Dia sudah lulus dan berhak menyandang gelar Sarjana Kedokt