'PLAK'
Suara tamparan menggema di langit-langit ruangan. Aku semakin beringsut mundur dari kursi yang sedang kududuki. Kakiku gemetaran, dan tubuhku pun rasanya sudah tidak karuan. Panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kedua telapak tanganku reflek menutupi mulut yang saati itu sedang menganga karena kaget.
"Ini bukan hanya tentang menikah atau tidak menikah, tapi juga tentang harga diri keluarga yang kau jatuhkan begitu saja." Tangan Pak Hans mengepal di samping pinggangnya, "aku kecewa padamu, Bima."
"Lalu, selain menikahinya, apa yang bisa Bima lakukan, Yah?" Suara Pak Bima juga ikut meningggi, "Sedari dulu, sejak Bima masih anak-anak, Ayah selalu bilang bahwa Bima hanya bisa mengecewakan ... Itulah sebabnya kenapa Bima tidak pernah mendengarkan apa yang Ayah katakan."
'PLAK'
Tamparan kedua melayang di pipi kiri Pak Bima, hingga meninggalkan bekas tangan berwarna merah muda.
"Ayah pikir kamu bisa berubah, tapi Ayah keliru. Kamu tidak lebih baik dari seorang berandalan, yang selalu memberontak ketika diarahkan oleh orang tua!"
Pak Bima memegang pipi yang baru saja ditampar oleh Ayahnya. Aku yakin, tamparan yang kedua pasti rasanya lebih menyakitkan dari yang pertama. Bekasnya lebih kentara, dengan sedikit darah berwarna merah segar, yang keluar dari sudut bibir.
Ada rasa iba yang terbesit di dalam hatiku. Padahal, Pak Bima bisa menyangkal semua tuduhan ini, sebab kami memang tidak melakukan apa-apa di dalam ruangan ini. Aku ingin menjelaskan kepada semua orang yang ada di sini, tapi lidahku sudah terlalu kelu, susah untuk berbicara.
"Bima memang pemberontak, tapi setidaknya Bima bukan seorang penjilat seperti dia!" Pak Bima menunjuk orang yang ada di sebelah Pak Hans.
"Apa maksudmu, hah? Kau ingin cari masalah denganku?" Orang yang Pak Bima tunjuk marah. Dia melangkah maju mendekati Pak Bima, kemudian mencengkeram kerah baju milik Pak Bima.
Pak Bima hanya tersenyum, lalu mendorong orang yang ada di depannya.
"Santai saja, Bro! Selepas kejadian ini, kau bebas," ujarnya."Yah, kita selesaikan masalah ini di rumah. Ayah tidak ingin kan kejadian ini dijadikan tontonan gratis bagi orang-orang itu?" Telunjuk Pak Bima menunjuk para karyawan, yang sedang berlomba-lomba mencari posisi paling enak untuk menyimak drama siang ini.
"Mereka lebih memilih menonton pertengkaran kita, loh, daripada duduk anteng dimeja, menyelesaikan pekerjaan mereka," imbuhnya.
Selepas sindiran itu dilontarkan, semua karyawan yang sedang menguping berlari tunggang langgang menuju meja kerja masing-masing.
"Ayah tunggu di rumah ... Dan kau silakan pulang, sampaikan kepada orang tuamu bahwa aku datang melamarmu, bersama dengan anak tidak tahu diuntung ini!" Pak Hans menunjuk wajahku dengan ekspresi kemarahan yang belum padam. Setelah itu, beliau keluar dengan debaman suara pintu yang memekakkan telinga.
Aku mencoba untuk berdiri meski kakiku masih lemas karena gemetaran. Peluh yang ada di dahi menetes satu per satu membasahi seluruh wajah. Aku ingin ikut meneriaki Pak Bima dengan suara kemarahanku. Namun, bicara saja aku tak mampu, apalagi harus berteriak memaki orang yang ada di depanku.
Pak Bima mendekatiku kemudian berlutut di depanku. Dia bersimpuh sambil menundukkan kepalanya. Bahunya gemetar, mungkin dia sedang menahan emosi, atau mungkin terisak meluapkan tangis.
"Kiara, Maafkan aku," ucapnya parau. Dia mendongkakkan kepalanya ke atas. Mata indahnya menatapku dengan tatapan nanar. Manik mata itu berair, Pak Bima menangis di hadapanku.
Aku tidak tau harus merespon seperti apa. Aku marah tapi gejolak ini melunak seketika ketika melihat keadaan Pak Bima yang tidak karuan. Kupegang lengan kekar itu, "Berdirilah, Pak!" pintaku. Dia menunduk, seolah tidak mengindahkan ucapan yang keluar dari bibirku barusan.
Aku jongkok di depannya, lalu mengusap pelan bahunya, "Kita bicarakan ini baik-baik ya, Pak. Kita jelaskan kepada semua orang bahwa apa yang terjadi di sini hanyalah kebetulan. Kita sedang tidak sedang melakukan apapun," bujukku.
Dia menggeleng pelan, "Biarkan semua orang menganggapku sebagai orang brengsek. Maaf telah melibatkanmu dalam masalah ini ... Nanti malam, aku bersama Ayah akan datang ke rumahmu untuk melamar," jelasnya.
"Apa maksud, Bapak?" Aku mencengkeram lengan kekarnya, meminta penjelasan dari pernyataan yang baru saja dia sampaikan.
"Izinkan aku menikahimu, Ra," ucapnya lirih. Penuh pengharapan.
"Kita tidak saling mencintai. Bagaimana kita bisa menjalankan ikatan pernikahan tanpa sebuah cinta?" jawabku penuh emosi.
"Aku berjanji, aku akan membahagiakan mu semampuku ... jadi, mari kita membangun rumah tangga bersama."
Aku melempar lengannya dengan kasar, "Aku ingin pulang," kataku.
"Aku antarkan, ya, Ra?" tanyanya.
"Aku sedang ingin sendiri!" bentakku.
"Baiklah. Hati-hati di jalan, Kiara," pesannya padaku.
Aku tidak habis pikir dengan Pak Bima. Kenapa dia seolah membenarkan semua praduga salah yang ada di benak orang-orang. Dia kekeuh ingin menikahiku, padahal kita tidak saling mencintai.
Usiaku memang sudah hampir menginjak kepala tiga, aku juga mendambakan pernikahan, tapi tidak begini caranya.Aku keluar dari ruangan, meninggalkan Pak Bima yang masih duduk bersimpuh dengan mata yang tergenang oleh tangis.
Dengan langkah gontai, aku berjalan menuju ke stasiun kereta. Pikiranku kalut. Aku tidak tau harus bagaimana aku menjelaskan semuanya kepada Ayah dan ibuku. Semua kejadian ini diluar kendaliku, terjadi begitu saja tanpa aku minta.
Aku sengaja pulang menaiki kereta api. Harapanku stasiun masih ramai seperti tadi pagi, hingga membuat aku kesulitan mendapatkan tiket kereta untuk pulang. Namun, harapan hanyalah harapan. Nyatanya ketika kakiku menginjak stasiun ini, ramai yang kuimpikan lenyap bersama dengan rasa rinduku kepada rumah.Pak Bima berkali-kali menghubungiku via telepon, tapi tak satupun panggilan yang kuindahkan. Pikiranku masih berkecamuk. Takut, sedih, kecewa, marah semua bercampur menjadi satu.
Sampai di depan rumah, adikku langsung menghambur ke arahku. Berlari mengelilingi tubuhku kemudian menatapku dengan ekspresi sedih, "Kakak enggak bawa oleh-oleh?" tanyanya.
Aku menggeleng pelan, ingin rasanya kujawab 'Oleh-oleh kakak adalah kabar buruk untuk keluarga kita, Dek,' keluhku dalam hati.Aku ke dalam rumah dengan kehampaan tanpa obat. Ibu sedang menonton televisi, sedangkan Ayah masih belum pulang kerja. Aku diam seribu bahasa. Menyapa ibu dengan ciuman tangan takzimku."
"Kok pulang gasik, Nduk?" tanya ibu.
"Iya." Cuma itu kata-kata yang keluar dari bibirku. Aku mengunci diri di kamar, menunggu Ayah pulang kerja, sambil menghitung mundur waktu, sampai sore menjelang.
************************************************
"Ayah, nanti temanku akan ke sini beserta dengan orang tuanya," ucapku dengan sangat hati-hati."Datang ya tinggal datang to, Nduk. Bilang saja saja ibu, biar di buatkan masakan untuk makan malam," jawab Ayah diselingi tawa renyahnya.
"Mmmm .... Anu, Yah ... Mereka ingin melamar Kinar," jelasku terbata.
"Melamar? Temanmu? Siapa?" Mata Ayah terbelalak, menatapku dengan tatapan tajamnya.
"Pak Bima, atasan Kinar di kantor," ungkapku.
"Loh ... Atasanmu sik jarene nyebai kae tah, Nduk?" Ayah menghisap rokok kretek yang diselipkan diantara jemarinya. ("Loh ... Atasanmu yang katamu nyebelin itu to, Nduk?")
Aku mengangguk.
"Kok tiba-tiba melamarmu? Apa kalian pacaran?"
Aku bingung harus menjawab apa. Aku tidak pernah menjalin hubungan dengan Pak Bima, berurusan saja rasanya sudah malas sekali.
"Kami akan saling membahagiakan, Ayah," jawabku kemudian. Hanya itu yang bisa aku katakan kepada Ayah. Dan jika nanti kesalahpahaman itu akan dibicarakan oleh Pak Hans, aku ingin Pak Bima ikut menjelaskan semuanya kepada Ayah.
Aku hanya berharap, semoga acara nanti malam berjalan dengan lancar. Tidak ada teriakan, kemarahan, atau umpatan kebencian yang keluar dari bibir kami. Jika memang Tuhan memberiku jodoh lewat kesalah pahaman ini, semoga pernikahanku selalu dalam lindungan Nya.
"Kiara, bilang kepada Ayah dan Ibumu, aku beserta dengan keluargaku akan berkunjung ke rumahmu ba'da Isya."Kubaca lagi pesan yang dikirimkan Pak Bima beberapa jam yang lalu. Aku melirik jam yang terletak di atas nakas. Semakin malam, perasaanku justru semakin kalut. Aku tidak bisa membayangkan reaksi ayah, jika nanti orang tua Pak Bima menceritakan kejadian di kantor siang tadi. Meskipun itu hanyalah kesalahpahaman semata, namun aku yakin, Ayah dan Ibu pasti marah padaku. Aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal semuanya, sebab satu-satunya bukti yang bisa kuperlihatkan juga bisa bersuara. Tidak bisa membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya kepada orang-orang.Ruang tamu sudah tertata rapi, jamuan untuk para tamu juga sudah tersaji. Ibu sepertinya sangat senang, mengetahui anak gadisnya akan dilamar oleh orang. Segala hal yang berkaitan dengan penyambutan tamu sudah ibu siapkan dengan baik, meskipun acara lamaran ini sangat mendadak sekali.S
Aku masih menunduk dengan bibir yang bergetar karena menahan isak. Debaran di dadaku semakin lama justru semakin kencang. Mataku masih saja meneteskan bulir bening dengan derasnya."Yah ... Kiara mohon, percaya sama Kiara," pintaku sambil terisak, "Kiara berani bersumpah, bahwa kami tidak melakukan apapun di dalam ruang kerja Pak Bima," imbuhku."Diam Kiara! Jangan bersumpah jika kamu tidak punya bukti apapun!" bentak ayah.Hatiku rasanya perih, bukan karena bentakan dari ayah. Namun, baru kali ini, ayah tidak mempercayai ucapanku meskipun aku sudah bersumpah di depan kitab suci. Sepertinya rasa percaya ayah terhadapku sudah patah akibat kesalahpahaman ini.Aku sebenarnya bisa saja memberikan rekaman CCTV kepada mereka semua. Namun, semua itu kurasa percuma. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup rapat, dan lagi rekaman CCTV itu tidak bersuara, jadi untuk apa kutunjukkan. Tidak bisa membantuku untuk
Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.Pintu kamar terbuka perlahan. Pak
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk
Suasana di ruang makan mendadak menjadi kacau. Pak Bima mendekat ke arahku dengan muka yang masih merah padam karena menahan amarah. Aku menunduk, takut melihat ekspresi tidak menyenangkan dari orang-orang yang ada di ruangan ini."Kak Bima duduk dulu, semua bisa kita bicarakan dengan baik. Asal Kak Bima mau meredam emosi dan juga menurunkan ego milik Kakak," bisik Binar pada Pak Bima."Apa yang perlu dibahas? Dalam kasus ini memang mereka yang salah. Bima susah diarahkan sedangkan istrinya tidak bisa menjaga diri." Brian menyuapkan nasi ke dalam mulutnya,"Wanita itu seharusnya bisa menjaga dirinya, bukan malah mengobral diri kesana kemari. Secantik apapun orangnya, kalau sudah begitu ya enggak menarik lagi, buatku wanita seperti itu, kesannya justru sangat murahan sekali."Pak Bima menggebrak meja yang ada di depannya. Rahangnya menegang dengan gigi yang terdengar saling bergesekan."Apa maksudmu, hah?" Pak Bima me