"errghhh .... Aduuhh, Pakkk," erangku dengan mata sedikit terpejam. Himpitan di kakiku membuat luka yang menganga itu semakin terasa sakit. Aku menggigit bibir bawahku dengan kencang, jemari di tanganku mencengkeram kursi. Jika bukan karena sedang berada di kantor, tentu saat ini aku pasti sedang menangis.
'brakkkk'
Aku menoleh pada pintu ruangan yang tiba-tiba terbuka. Satu, dua, tiga, empat, dan seketika banyak orang yang kini sudah ada di dalam ruang kerja Pak Bima, mereka merangsek masuk, menerobos pintu yang terbuat dari kaca tebal itu.
"Apa-apaan ini? Apa yang sebenarnya sedang kalian lakukan di kantor saya, HAH?" Setelah pintu ruangan terbuka, Pak Hans, selaku pemilik perusahaan masuk dengan muka yang merah padam. Merasa berada pada situasi yang tidak aman, badanku mendadak terasa dingin dan juga sedikit begetar. Aku menggigil bukan karena tidak enak badan. Tapi, karena tidak enak hati dengan sutuasi yang ada. Aku yakin, jika aku tidak segera menjelaskan, Pak Hans pasti akan salah paham. Apalagi, saat ini posisi muka anaknya menempel tepat di tengah-tengah kedua pahaku, sedangkan telapak tangan kanannya tidak sengaja berada di atas bukit kembarku.
Aku beringsut mundur, memundurkan kursiku beberapa langkah untuk menjauhi Pak Bima. Sehingga membuat tubuh jenjang yang menempel di tubuhku ini, jatuh terjembab di atas lantai.
Pak Bima berdiri kemudian membenarkan jasnya yang sedikit berantakan.
"Ma-Maaf, Pak. Semua tidaklah seperti apa yang Bapak pikirkan," jelasku dengan suara agak gemetar.
"Tidak seperti yang saya bayangkan? Setelah saya melihat dengan mata kepala saya sendiri kalau kalian melakukan tindakan asusila di kantor saya, kalian masih bisa membela diri dan berkata bahwa kalian tidak melakukan apapun? Ck, kalian pikir mata saya buta!" Melihat Pak Hans dengan rahang yang mengetat dan nada suara yang tinggi, sekujur badanku melemas karena takut.
"Pak ... Tapi kami tidak melakukan apapun." Aku masih berusaha untuk membela diri, sedangkan Pak Bima tampak tenang dengan tangan bersedekap.
"DIAM, JANGAN ADA YANG BICARA LAGI SELAIN SAYA! Dan kalian ..." Pak Hans menunjuk mukaku dan Pak Bima secara bergantian, "harus segera mempertanggungjawabkan apa yang sudah kalian lakukan di ruangan ini! Saya tidak suka ada orang yang melakukan tindakan asusila di kantor saya, siapapun itu! Termasuk jika itu adalah anak saya sendiri!"
"Ta-tapi kami tidak melakukan apa-apa, saya berani bersumpah, Pak." Aku panik sampai hampir menangis karena banyak orang yang melihatku dengan tatapan jijiknya.
"Sudah ketangkap basah masih berani mengelak!" bentaknya.
"Demi Tuhan, Pak. Ini semua tidak seperti yang Bapak Kira." Embun di mataku semakin terdesak oleh emosi dan rasa takut.
"Dasar wanita tidak tahu diri! Setelah kamu mengerang dengan mata yang tertutup, kamu masih berani untuk berbohong atas nama Tuhan? Cih! Pak Hans membuang muka dariku. Rahangnya masih tampak menengang dengan emosinya sedang berada dipuncaknya.
"Sudah, Ayah tidak perlu marah-marah seperti itu, buang-buang tenaga. Saya minta maaf untuk kesalahan yang sudah kami buat. Tenang saja, besok pagi pasti saya akan menikahinya." Dengan enteng Pak Bima mengucapkan kalimat itu, seolah mengiyakan apa yang dituduhkan oleh Ayahnya. Aku menghempaskan tubuhku di kursi, dengan mata yang kini sudah basah oleh embun yang deras menetes.
******
Napasku kian menderu. Aku berhenti sejenak untuk mengusap peluh yang sudah sedaritadi membanjiri dahi. Kutengok jam yang melingkar di pergelangan tangan kiriku, pukul delapan pagi. Itu artinya, aku cuma punya waktu 15 menit untuk sampai di kantor. Dengan sisa napas patah-patah, aku kembali berlari, sekencang dan secepat yang aku bisa.
Pintu masuk kantor masih sekitar 10 meter, sedangkan waktu yang tersisa tinggal 5 menit saja. Kulepas pantofel coklat muda yang kukenakan, kemudian segera bergegas menuju kantor, meski tanpa alas kaki.
"Duh, gimana sih? Kalau jalan lihat-lihat, dong!" ucapku ngegas. Tanpa melihat siapa yang baru saja menabrakku, aku berlari menuju ke ujung lobi, tempat di mana para karyawan harus melakukan presensi setiap pagi.
"KIARA!" Suara tegas itu membuat langkahku terhenti. Aku menoleh ke arah suara dan ketika tau siapa yang memanggil, tubuhku membeku seketika. Kulirik jam yang ada di mesin presensi, duh satu menit lagi presensi ditutup.
Aku menganggukkan kepala sembari memamerkan rentetan gigi putihku kepada si empunya suara.
"Maaf pak, marahnya ditahan sebentar, ya. Baru nanggung." Aku menempelkan jempolku ke mesin presensi kemudian menggaruk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.
Setelah selesai melakukan presensi aku membalikkan badanku lagi, "hehe gimana, Pak?" sahutku sambil nyengir.
"Benar-benar, ya. Segera pakai sepatu anda dan ikut saya ke ruang kerja milik saya!" titahnya adalah sebuah keharusan bagiku. Suaranya pelan, namun penuh dengan penekanan.
Aku menghela napas perlahan. Kemudian berjalan dengan langkah gontai menuju ruangan Pak Bima. Banyak karyawan yang menatap nanar ke arahku, sebab bagi kami, masuk ke ruang kerja Pak Bima sama halnya dengan menjebloskan diri ke ruang pesakitan.
Hmmm, kalau saja pagi ini motorku tidak rusak, pasti aku sudah sampai di kantor tiga puluh menit lebih awal dari pada saat ini. Kalau saja tadi aku tidak naik kereta, pasti tubuhku tidak harus berdesak-desakan untuk berebut tiket. Kalau saja jalan dari stasiun menuju kantor tidak macet, pasti aku tidak akan terlambat. Aku merutuki pagiku yang penuh dengan kesialan.
Aku mengetuk pintu dengan pelan.
"Masuk!" Suaranya berat, terdengar seperti orang yang sedang menahan amarah.
Dengan langkah ragu, dan penuh dengan ketakutan, aku masuk ke ruang kerja Pak Bima.
"Kiara, pakai sepatumu! Saya tidak pernah membiarkan seorangpun masuk ke ruangan saya tanpa sepatu!"
Tanpa diminta dua kali, aku langsung membalikkan badan kemudian keluar dari ruangan. Pintu berdebam karena aku terlalu tergesa ketika menutupnya.
"Kiara!" Pak Bima berteriak lagi. Aku langsung berlari menuju ke toilet lantai ini, aku harus cuci kaki terlebih dahulu sebelum memakai sepatu.
"Aduh." Untuk kedua kalinya, aku limbung karena ditabrak oleh orang.
Pyarrrr ...
Cangkir di atas nampan berjatuhan, kemudian teh beserta kopi yang ada di dalamnya tumpah ruah ke lantai.
"Ma-maaf, Pak. Saya terburu-buru. Di panggil Pak Bima ke ruangannya." Aku berusaha membantu OB yang pekerjaannya ku hambat akibat ketergesaanku.
"Sudah, neng, sudah, biar saya saja. Neng segera saja ke ruangan Pak Bima. Dari pada disembur." Dia terkekeh.
"Aduh." Kakiku terangkat sebelah, ternyata serpihan kaca yang berhambur di lantai menancap di sudut kaki. Darah segar mengucur dengan deras dari saja.
"Duh, Neng. Diobati dulu ini mah," ucap Pak OB khawatir.
"Sudah Pak gak usah. Keburu disembur sama Pak Bos."
Aku berlari ke toilet dengan kaki yang tergores serpihan cangkir. Dengan bibir cengar-cengir, aku membasuh lukaku di bawah air yang mengalir, ternyata perih.
Pak Bima adalah direktur utama PT Krakatau Jaya. Di usianya yang masih tergolong muda, dia mampu membawa perusahaan ini menjadi perusahaan nomor tiga se-Indonesia, dan menempati urutan ke delapan di Asia Tenggara. Perawakannya gagah, tinggi dan tentu saja ideal dengan berat badannya.
Bicara tentang Pak Bima, maka orang-orang tidak akan luput dengan kekaguman wajahnya. Hidungnya mancung. Dia memiliki manik mata berwarna abu-abu, hingga membuat pesona Pak Bima tidak bisa dielakkan begitu saja. Dari fisik itulah, banyak sekali wanita yang ingin bersanding dengannya. Namun, sepertinya sampai pada saat ini, tidak ada satupun wanita yang berhasil membuat hati Pak Bima terketuk.
Setelah kakiku agak mendingan, aku kembali ke ruangan Pak Bima. kuketuk pintu ruang Pak Bima dengan hati-hati. Rasa takut yang tadi sudah hampir pudar, kini muncul kembali.
"Masuk!" ucapnya.
Kakiku sedikit gemetar. Perut entah kenapa rasanya dingin sekali. Aku memberanikan diri untuk masuk.
"Duduk!" Pintanya tanpa basa-basi terlebih dahulu. Jalanku tertatih, kakiku masih terasa sangat perih.
"Ba-baik, Pak." Aku menjawab sedikit terbata.
Ini bukan pertama kalinya aku diminta oleh Pak Bima ke ruangannya. Sudah kesekian kalinya aku masuk ke ruangan Pak Bima karena kesalahan yang aku lakukan. Entah itu kesalahan berskala kecil atau besar, yang jelas selalu ada makian dan juga tugas berat yang menyertai ketika keluar dari ruangan ini.
Aku duduk dengan kepala sedikit menunduk. Jemariku saling bertautan.
"Tegakkan kepalamu, Kiara!" Suara beratnya mulai menembus gendang telingaku. Aku masih menunduk, takut menatap manik matanya ketika dia sedang marah.
"Kiara, saya bilang tegakkan kepalamu!" pintanya dengan tegas.
Dengan hati-hati aku mulai menegakkan kepala, meski aku tidak berani menatap wajah atau bahkan mata milik Pak Bima.
"Kamu, kenapa tadi berlarian di lobby seperti itu?" tanyanya.
"Anu Pak ... Saya ..." Entah kenapa kalimat yang tadi sudah kususun, hilang begitu saja. Pak Bima memang begitu, selalu ahli membuat lawan bicaranya mati kutu. Ucapannya yang penuh penekanan, dan tatapan mata elangnya terkesan mengintimidasi orang lain.
"Anu anu ... Anu kamu kenapa, Kiara?"
Aku terkekeh mendengar ucapannya, lucu. Baru kali ini Pak Bima melucu di depanku.
"Kiara, siapa yang meminta kamu untuk tertawa?" Nada bicaranya mulai tidak santai lagi.
'cih, galaknya minta ampun. Pantes aja jodohnya jauh'
"Tidak ada, Pak." Aku menunduk lagi.
"Kenapa tadi kamu berlarian sepanjang lobby? Kamu kira kantor ini arena bermain?"
"Maaf, Pak." Cuma itu yang bisa aku katakan. Badanku panas dingin rasanya, takut disepak dari perusahaan ini mengingat sudah begitu banyak kesalahan yang aku lakukan.
"Bukan waktunya untuk minta maaf! Sekarang jawab pertanyaan saya!"
"Saya tadi hampir terlambat, Pak ... Makanya tadi saya berlari untuk memangkas waktu."
"Kamu tahu, bahwa apa yang kamu lakukan itu berbahaya?" tanyanya lagi.
"Saya tahu, Pak."
"Kalau tahu, kenapa kamu lakukan?"
'Ahelah, Pak, Pak, tadi kan sudah dijelaskan kalau hampir terlambat. Jangan-jangan ini orang budek lagi' batinku. Aku mendengus kesal, mendapatkan pertanyaan yang hampir sama.
"Saya tadi hampir terlambat, Bapak. Makanya saya lari." Aku menjelaskan dengan pelan-pelan, berharap Pak Bima paham dengan penjelasanku.
"Kenapa?"
"Saya terlambat, Bapak. Makanya saya berlari." Ini untuk ketiga kalinya, aku menjawab pertanyaan dari Pak Bima.
"Saya tau kamu terlambat, apa alasan kamu terlambat? Kamu tau kan, saya paling tidak suka dengan orang yang tidak disiplin!" ujarnya penuh penekanan pada kata tidak suka dan tidak disiplin.
Aku menggigit bibirku. "Jawab!" bentaknya.
"Motor saya rusak, Pak."
"Itu bukan alasan yang tepat. Kamu bisa naik ojek online!"
"Tadi saya sudah coba pesan, tapi pesanan saya selalu dicancel." jelasku.
"Rumahmu dekat dengan stasiun, kamu bisa naik kereta menuju ke kantor."
"Iya, Pak. Saya tadi juga naik kereta."
"Lalu kenapa bisa terlambat?"
"Pak motor saya rusak, lalu orderan ojol saya selalu dicancel, saya sudah naik kereta, dan jalan dari stasiun menuju kantor macet makanya saya lari-lari, Pak." Aku terdiam sebentar. "Bagian mana lagi yang sekiranya masih bisa disanggah, Bapak?"
Dia menatapku tajam. "Naik keretanya kurang pagi? Asal Bapak tau, saya habis subuh sudah siap naik kereta, sayangnya saya harus berdesak-desakan untuk berebut tiket disana. Apesnya lagi, saya selalu tidak kebagian tiket." Suaraku bergetar karena meredam emosi.
"Kaki kamu kenapa? Kenapa tadi kamu berjalan dengan pincang ketika masuk ke ruangan saya?"
"Terkena pecahan cangkir, Pak. Saya tadi menabrak Pak Bejo yang sedang membawa nampan penuh cangkir. Cangkirnya jatuh berantakan, lalu serpihannya mengenai kaki saya." jelasku.
"Itulah Kiara, kenapa saya selalu meminta semua karyawan memakai sepatu. Selain agar rapi, ya biar aman ... Sudah diobati?"
Aku menggeleng. "Saya terburu-buru, Pak. Takut Bapak lebih marah kalau saya kelamaan."
Kali ini Pak Bima terkekeh. "Baru kali ini, saya ketemu sama orang sekonyol kamu, Kiara." Dia masih terkekeh, "ya sudah, saya bantu obati."
Pak Bima mengambil beberapa obat di kotak P3K yang terletak di almari belakang kursinya. Ketika dia mendekat ke arahku, kakinya tersandung sepatu yang ku letakkan di samping meja.
Dan kemudian tragedi tidak menyenangkan itu terjadi.
'PLAK'Suara tamparan menggema di langit-langit ruangan. Aku semakin beringsut mundur dari kursi yang sedang kududuki. Kakiku gemetaran, dan tubuhku pun rasanya sudah tidak karuan. Panas dan dingin bercampur menjadi satu. Kedua telapak tanganku reflek menutupi mulut yang saati itu sedang menganga karena kaget."Ini bukan hanya tentang menikah atau tidak menikah, tapi juga tentang harga diri keluarga yang kau jatuhkan begitu saja." Tangan Pak Hans mengepal di samping pinggangnya, "aku kecewa padamu, Bima.""Lalu, selain menikahinya, apa yang bisa Bima lakukan, Yah?" Suara Pak Bima juga ikut meningggi, "Sedari dulu, sejak Bima masih anak-anak, Ayah selalu bilang bahwa Bima hanya bisa mengecewakan ... Itulah sebabnya kenapa Bima tidak pernah mendengarkan apa yang Ayah katakan."'PLAK'Tamparan
"Kiara, bilang kepada Ayah dan Ibumu, aku beserta dengan keluargaku akan berkunjung ke rumahmu ba'da Isya."Kubaca lagi pesan yang dikirimkan Pak Bima beberapa jam yang lalu. Aku melirik jam yang terletak di atas nakas. Semakin malam, perasaanku justru semakin kalut. Aku tidak bisa membayangkan reaksi ayah, jika nanti orang tua Pak Bima menceritakan kejadian di kantor siang tadi. Meskipun itu hanyalah kesalahpahaman semata, namun aku yakin, Ayah dan Ibu pasti marah padaku. Aku tidak memiliki bukti yang kuat untuk menyangkal semuanya, sebab satu-satunya bukti yang bisa kuperlihatkan juga bisa bersuara. Tidak bisa membantuku menjelaskan kejadian sebenarnya kepada orang-orang.Ruang tamu sudah tertata rapi, jamuan untuk para tamu juga sudah tersaji. Ibu sepertinya sangat senang, mengetahui anak gadisnya akan dilamar oleh orang. Segala hal yang berkaitan dengan penyambutan tamu sudah ibu siapkan dengan baik, meskipun acara lamaran ini sangat mendadak sekali.S
Aku masih menunduk dengan bibir yang bergetar karena menahan isak. Debaran di dadaku semakin lama justru semakin kencang. Mataku masih saja meneteskan bulir bening dengan derasnya."Yah ... Kiara mohon, percaya sama Kiara," pintaku sambil terisak, "Kiara berani bersumpah, bahwa kami tidak melakukan apapun di dalam ruang kerja Pak Bima," imbuhku."Diam Kiara! Jangan bersumpah jika kamu tidak punya bukti apapun!" bentak ayah.Hatiku rasanya perih, bukan karena bentakan dari ayah. Namun, baru kali ini, ayah tidak mempercayai ucapanku meskipun aku sudah bersumpah di depan kitab suci. Sepertinya rasa percaya ayah terhadapku sudah patah akibat kesalahpahaman ini.Aku sebenarnya bisa saja memberikan rekaman CCTV kepada mereka semua. Namun, semua itu kurasa percuma. Hati dan pikiran mereka sudah tertutup rapat, dan lagi rekaman CCTV itu tidak bersuara, jadi untuk apa kutunjukkan. Tidak bisa membantuku untuk
Aku langsung masuk ke kamar setelah semua keluarga Pak Bima pulang. Riuh yang tadi diciptakan oleh puluhan orang, kini hanya menyisakan suara dari detak jarum jam, berjalan dari detik satu ke detik berikutnya.Setelah 2 jam sibuk menyambut tamu dari keluarga Pak Bima, badanku rasanya capai sekali. Kaki yang biasa kugunakan untuk berjalan, sekarang terasa pegal-pegal, mungkin karena terlalu lama berdiri diatas sepatu highhells yang tingginya tujuh cm. Seluruh tulang dan juga persendianku juga ikut sakit. Aku duduk di atas kasur, kemudian menyejajarkan kaki agar rasa pegalnya sedikit berkurang. Sedih rasanya jika harus meninggalkan ruangan yang sudah kutempati selama hampir 30 tahun ini. Namun, tidak mungkin jika seorang bos seperti Pak Bima bersedia untuk tidur di ruangan sempit seperti ini. Aku mengamati dengan saksama setiap sudut ruangan yang kusebut dengan kamar, terlalu banyak kenangan dan juga cerita yang tersimpan disini.Pintu kamar terbuka perlahan. Pak
Aku yakin, mukaku sekarang pasti sudah memerah seperti kepiting rebus. Rasa malu yang aku rasakan, menjalar begitu cepat ke sekujur tubuh. Mukaku panas, dan kakiku mendadak terasa lemas, lumpuh seketika.Aku menyeka ujung mataku dengan ibu jari. Ya ampun, aku nangis saking malunya. Kalau Tuhan kasih aku satu permintaan, tentu saja aku ingin Tuhan menghapus ingatan Pak Bima saat ini juga, biarin deh Pak Bima hilang ingatan sampe dia kakek-kakek nanti. Aduh, tapi kalau Pak Bima amnesia, nasibku nanti gimana dong?Kepalaku sebelah kiri tiba-tiba berdenyut kencang. Ternyata semakin dipikirkan, justru membuat kedua kakiku menjadi semakin lemas. Badanku ambruk seketika."Kiara, kenapa? Kamu jatuh?" suara Pak Bima terdengar sangat jelas di telingaku."Eng-enggak, Pak. Saya baik-baik saja," jawabku dengan suara yang agak bergetar. Udara di dalam kamar mandi ini sebenarnya panas, tapi tubuhku merinding
Setiap kali teringat kejadian semalam, pipiku pasti langsung memerah dan terasa sedikit panas. Rasa malu itu masih ada, meski aku sudah berusaha melupakan kejadian semalam.Setelah Pak Bima memergoki rambutku yang masih lengket akibat bilasan sabun yang kurang bersih, aku langsung berlari menuju ke kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, aku langsung mengguyurkan air ke sekujur badan. Bibirku mencebik ketika sadar bahwa baju yang kukenakan masih lengkap dan melekat di tubuhku."Kamu ngapain basah-basahan begitu? Emang gak dingin?" Pak Bima mungkin merasa aneh melihatku mandi dengan pakaian yang masih lengkap."BAPAK, NGAPAIN ADA DI SITU?" teriakku kepadanya.Dia menopang dagu, kemudian menjawab pertanyaanku dengan santai, "saya dari tadi duduk di sini sambil kerja, dan kamu tau itu. Kok tiba-tiba sekarang nanya ngapain saya di sini? Aneh." Dia menggelengkan kepalanya pelan."BAPAK, SAYA BARU MANDI!" bentakku.
Aku mengucek mata secara perlahan, memastikan orang yang ada di sebelahku sudah tertidur lelap. Namun, setelah berkali-kali aku mengusap mata, aku tidak menemukan orang itu. Aku reflek duduk kemudian menyalakan lampu tidur yang ada di atas nakas. Kuedarkan pandangan ke setiap sudut kamar untuk mencari keberadaan Pak Bima dan ketika mata ini tidak sengaja menatap ke bawah, aku menemukan dia sedang meringkuk di bawah ranjang.Aku turun dari kasur kemudian membalikkan badan Pak Bima yang saat itu sedang tidur dengan posisi telungkup. Meski badan Pak Bima tergolong kecil, namun ternyata butuh beratus-ratus kalori untuk menelentangkan badannya. Aku menggoyang-goyangkan lengannya agar dia segera bangun. Namun, usaha yang aku lakukan sepertinya percuma. Jangankan bangun, bergerak saja tidak. Karena aku capek menggoyangkan badan, akhirnya aku menggunakan jurus pamungkas, yaitu memencet hidung mancun
Aku terperanjat setelah melihat tonjolan yang ada di dalam celana Pak Bima. Baru kali ini aku melihat tonjolan sebesar itu. Dengan kaki yang gemetar, aku mengendap-endap melewati Pak Bima, merangkak sepelan mungkin agar dia tidak terbangun."Uhmm ...." Pak Bima mengigau sambil menggaruk pipi tirusnya.Aku menahan napasku ketika tubuh mungilku berada di atas Pak Bima, jangan sampai embusan napas ini membangunkan dia yang masih sibuk merangkai mimpi. Namun, ketika mataku tidak sengaja menatap wajah polosnya yang masih terlelap, tanganku enggan beranjak dari tempat itu. Muka tampan Pak Bima sepertinya menyimpan ribuan magnet yang membuat kedua bola mataku tak mampu berpaling ke arah lain. Ku perhatikan setiap lekuk wajah yang dimiliki oleh Pak Bima. Alis yang tebal, kedua mata yang agak sipit, hidung mancung, bibir sintal, pipi tirus, dagu yang ah dia memiliki ketampanan yang tanpa cela."Ki ...." gumamnya pelan. Dia melingk