“Mayang! Ini kamu selesaikan setrikaannya. Ibu mau pergi rewang untuk pengajian dulu di rumah Ibu Mia!” Ketus Ibu mertuaku sambil menunjuk pakaian dua baskom besar yang belum tersentuh setrikaan.
Kerjaan seperti ini sudah biasa kulakukan setiap dua hari sekali. Ini belum termasuk cucian kotor seluruh keluarga.“Setelah itu, kamu siapkan makan siang. Itu ibu sudah belanja sayur bayam sama tempe, tahu. Terserah kamu mau masak apa yang penting harus ada sambelnya.” Titahnya sembari melotot ke arahku.Ibu punya dua orang menantu di rumah tapi anehnya, menantu yang satu, Farah tak pernah sekalipun diperintahnya seperti ia biasa melakukannya padaku.“Kerjanya jangan lelet karena semua orang butuh makan cepat, Suami mu tuh bangunin jangan malas-malas, suruh cari kerja sana!” Aku hanya bisa mengangguk saja mendengar omelannya.Akupun gegas menuju kamar tidur kami untuk membangunkan suamiku yang masih tertidur pulas di samping buah hati kami, Arthur.“Mas, bangun dulu … Ibu suruh cari kerja hari ini.” Suamiku, Mas Didik masih bergerak malas.Setelahnya, Aku lanjut menyetrika sebelum Arthur ikut terbangun dan memperlambat kerjaku.Aku memang harus mengerjakan segala sesuatunya sekilat mungkin, karena sebentar lagi anakku, Arthur yang berumur 3 bulan pasti bangun dan musti menyusu.Cucian piring sejak semalam sudah kukerjakan sehingga aku lebih fokus membersihkan rumah, memasak dan mengurus cucian saja pagi ini.Kurang lebih satu jam, akhirnya aku selesai dengan satu kerjaan. Aku lanjut merendam pakaian dan memotong sayuran sambil menggoreng tempe tahu yang sudah aku potong kotak-kotak. Tak lama Arthur bangun, aku meminta Mas Didik membantu ku selagi aku menyusui Arthur.Suamiku tanpa banyak bicara membantuku. Ia memang sangat rajin membantu pekerjaan rumahku selama ini. Maklum saja ia sudah menganggur selama setahun ini karena PHK di perusahaan tempatnya bekerja dulu dan sampai sekarang belum ada permohonan lamaran kerjanya yang membuatnya bekerja kembali.Sambil mencari kerja, biasanya suamiku membantu Bapaknya, Bambang di kebun menanam bibit pohon yang nantinya untuk dijual.“Kamu yang sabar ya, nanti kalau aku sudah punya kerjaan. Pasti kamu sama Arthur akan kubelikan pakaian dan makanan yang enak-enak.” Janji Mas Didik kala itu menenangkan, aku yang hanya bisa pasrah saat melihat menantu lainnya, Farah membeli barang-barang branded setiap bulannya.Farah, menantu lainnya di rumah ini sejatinya berasal dari keluarga kaya dan punya pekerjaan yang bagus sehingga tak heran aku yang hidupnya pas-pasan ditambah suami yang pengangguran membuat Ibu mertua lebih memfokuskan perhatian pada Farah sedangkan aku harus puas diperlakukan layaknya pembantu.Setelah selesai memasak dan mengerjakan semua pekerjaan, Aku masuk ke kamar untuk menidurkan Arthur kembali. Sebelum masuk kamar, kulihat Farah baru saja bangun tidur dan langsung ke kamar mandi.Itulah pekerjaan rutinnya, setiap bangun tidur dia langsung mandi dan bersiap-siap makan siang. Sementara aku masih berjibaku dengan anakku dan pekerjaan rumah yang tak ada habis-habisnya dengan baju yang masih berbau asam. Pukul tiga sore, Ibu Mertuaku pulang dan aku yang ikut tertidur di samping Arthur, kaget mendengar suara teriakannya.“Ampun! Ini sampah berhamburan. Dasar si Mayang ini menantu pemalas. Disuruh kerja malah enak-enakan tidur.” Kepalaku mendadak pusing namun tetap ku paksakan bangun dan menghampirinya.“Kamu kerjanya apa seharian, memangnya sampah ini bisa membersihkan sendiri dan masuk langsung ke tong sampah kalau hanya kamu lihatin, Coba lihat sampah berhamburan dan tai ayam dimana-mana.” Sungut Ibu mertuaku seraya menendang-nendang plastik-plastik yang bertebaran ke sana ke mari.Meski bingung dengan keadaan dapur, Aku mengambil sapu dan membersihkan sampah-sampah tadi. Aku sangat yakin sekali sudah menutup pintu dapur dengan menguncinya.Tadi saat membersihkan, semua sampah sudah kumasukkan ke dalam karung dan rencananya akan kubakar pada sore hari nanti. Pintu dapur memang harus ditutup setiap selesai bekerja sebab ayam tetangga selalu saja masuk dan mengotori dapur.Selama ini apapun perlakuan Ibu memang membuatku tak tahan, tapi karena keadaan membuat kami harus hidup menumpang dan bertahan dengan apapun perlakuan ibu mertua. Terkadang air mataku mengalir sambil mengerjakan perintahnya.“Makan siang yang ibu suruh buatkan mana?” tanyanya. Aku menunjuk tudung saji di meja makan. Begitu ibu membukanya, dia menoleh dengan pandangan tak senang. Begitu kuhampiri, aku kaget karena semua piring yang tadinya terisi penuh gorengan tempe, tahu juga sayur bayam dalam mangkuk, semuanya bersih dalam keadaan kosong.“Mana !! Ini kosong Mayang, Ibu ini lapar belum makan, Ini pasti kamu berdua sama Didik yang habiskan makanan. Terus orang rumah mau kamu suruh makan batu !” Hardiknya.“Mayang dan Mas Didik bahkan belum makan, Bu. Tadi selesai masak, Mayang menyusui Arthur di kamar sementara Mas Didik mulai pagi tadi bantu bapak menanam bibit.” Selaku membela diri.“Halahhh, alasan aja memang kalian berdua itu rakus, makan nggak ingat-ingat sama orang yang ada di rumah ini, sudah menganggur bikin beban keluarga aja, Capek ibu lama-lama lihat kalian berdua di rumah ini.” Katanya sambil berkacak pinggang.Astaghfirullah. Sebegitu teganya ibu mertuaku bilang begitu. Kami memang selalu dianggap sebagai beban hanya karena Mas Didik masih menganggur, meski kami berdua selalu mengerjakan pekerjaan rumah sekalipun, tak pernah dianggap apalagi dihargainya. Aku hanya bisa menunduk dan memandang kosong. Lelah rasanya ingin menangis.Air mataku sudah sangat jarang menetes lagi, rasanya semakin kebal dengan kata-kata kasar dari mulut mertuaku ini. Dulu, saat Mas Didik bekerja dan kami sering membelikan kebutuhan di rumah ini. Perlakuan ibu sangat baik bahkan dari mulutnya sendiri berucap bahwa aku dianggapnya sebagai anak sendiri.“Tidak ada menantu di rumah ini, yang ada hanya anak. Jadi kamu Mayang pasti ibu anggap sebagai anak sendiri, ya kan, Pak?” Bapak mertuaku tersenyum dan menganggukkan kepalanya tanda setuju dengan kata-kata ibu.Tapi itu tak bertahan lama, begitu aku mengandung dan ia ketahui anakku laki-laki. Seketika dia mulai berubah sampai Arthur lahir tak sekalipun mau ia gendong. Alasannya klise, hanya karena sudah terbiasa punya anak laki-laki maka cucu laki-laki membuatnya malas.Ia menginginkan cucu perempuan saja. Keadaan semakin diperparah ketika Mas Didik tak bekerja. Kesengsaraan semakin lengkap menderaku.“Ibu maunya cucu perempuan, kalau laki-laki buat apa !! Ibu sudah punya tiga anak laki-laki.” Aku hanya mengusap dada mendengarnya waktu itu.Aku pikir itu hanya perkataannya sementara saja, namun hal itu berkelanjutan hingga sekarang dan terbukti dengan perilakunya pada kami.Saat kerepotan mengurus rumah, ada kalanya aku meminta bantuannya menggendong Arthur sebentar saja tapi langsung ditolaknya.“Nanti dia kencing dan BAB, ibu ini mau salat, kasih aja sama bapaknya sana,” Akhirnya aku menggendong Arthur sambil menyelesaikan kerjaan, karena Mas Didik masih sibuk di kebun bersama bapaknya.Memang cukup berbahaya membawa anak sambil memasak, namun apa boleh buat jika tidak segera dikerjakan maka omelan dan caci maki ibu mertua akan terdengar sampai rumah tetangga. Tetanggaku saja sampai hapal dengan kebiasaannya.Yang lebih mengesalkan lagi, saat ibu mengadakan pengajian di rumah. Mulai dari kegiatan bebersih rumah sampai memasak diserahkan sepenuhnya kepadaku. Sementara menantu satunya tidak boleh diganggu gugat dengan alasan dia sibuk dan capek karena seharian bekerja.Farah bekerja di salah satu salon kecantikan, sementara suaminya bekerja sebagai mandor di peternakan. Sedangkan adik iparnya yang terakhir, Iwan masih bekerja sebagai tenaga administrasi di sekolah swasta.“Besok di pengajian Ibu mau bikin lontong sayur sama kue basah, Mayang coba kamu catat apa saja bahan yang harus ibu beli di pasar,” Aku yang memang pandai memasak sejak masih gadis, tak kesulitan mencatat bumbu dan bahan yang harus dibeli.“Acaranya jam empat sore, jadi semua harus siap sebelum jamnya ya, Ibu mau ke tempat Bu Ida dulu nanti Ibu kembali.” Ibu menyerahkan semua belanjaan saat dia sudah pulang dari pasar dan aku mulai mengolahnya berjibaku di dapur.Mas Didik yang melihatku kerepotan harus mengurus semua masakan sendiri untuk 40 orang di pengajian, membantuku menggelar ambal, menyusun minuman gelas dan melipat tisu. Dan setengah jam sebelum acara, Ibu pun baru pulang dengan santainya.“Sudah selesai semuanya?” Aku hanya mengangguk. Badan rasanya lelah sekali. Dia memperhatikan dengan senyum karena semua lontong sayur sudah lengkap, ditambah kue kelepon, bebongko dan tahu isi yang sudah siap di meja prasmanan.Ia segera menuju kamar mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi yang tak jauh dari dapur. Setelah lima belas menit, dia ke luar dan masuk ke dalam kamar. Tak lama diapun siap menyambut tamu pengajiannya dengan senyum ramahnya. Senyum yang tak pernah ia tunjukkan di hadapanku.“Ayo Ibu-ibu silahkan diicip-icip rasa masakan saya, gimana enak nggak?” Suara ibu terdengar hingga ke dapur.Aku dan suami saling berpandangan, kami masih sibuk memotong lontong. Kami berdua Mas Didik stand by menunggu perintah ibu selanjutnya. Sementara ibu berdua dengan Farah menghadap para tamu pengajian.“Ini enak sekali loh, Bu Sutinah. Diam-diam ternyata Ibu pandai sekali memasak dan bikin kuenya, ini yang berbungkus daun pisang …kue apa namanya.” Terdengar suara Ibu Ida, teman ibu.“Itu nogosari, biasalah kue orang jawa.” Tapi begitu bungkus dibuka ternyata bukan nogosari. Isinya kue bebongko, seketika wajah Ibu pias karena malu dan ibu pasti lupa bertanya padaku kue apa yang ada dalam daun pisang tadi.“Loh, nogosari kok warnanya hijau dan rasanya ini seperti kue bebongko, itu loh kue khas Banjarmasin.” Ibu cengegesan mengetahui kue dalam pisang bukanlah sesuai harapannya.“Iya ini namanya bebongko, Bu. Gimana sih buat kue sendiri tapi lupa namanya.” Ibu tersenyum kecut saat ibu-ibu lain yang justru tahu nama kue yang kubuat.“Kamu itu kalau bikin makanan, kasih tau ibu apa-apa aja namanya. Jangan sampai bikin ibu malu.” Ucapnya kesal ketika acara pengajian sudah selesai. Lagi-lagi aku yang disalahkan. Aku berpikir dia akan memuji masakan atau kue yang kubuat. Tapi itu tak mungkin terjadi. Ia memang selalu mengakui apapun hasil masakanku menjadi masakannya. Padahal tak sekalipun ia ikut bersusah payah di dapur.Aku dan Mas Didik hanya bisa menghela napas panjang mendengar omelannya yang tak berujung. Seperti biasa pula, selesai acara aku dan suamiku yang harus berberes dengan piring kotor dan membersihkan ambal bekas pengajian. Aku dan suamiku sudah selayaknya pembantu di rumah ini, Sementara Farah juga anak-anak lainnya tak ada yang mau membantu, setelah kenyang maka mereka masing-masing langsung masuk kamar dan hebatnya, kami baru bisa makan setelah semua pekerjaan selesai dan jangan harap bisa makan banyak, sebab makanan sisa lah yang kami dapatkan. Banyak tetanggaku yang suka menegurku, perbedaan tu
Selama dua jam Arthur diperiksa dan dilakukan pengecekan darah, ternyata Arthur didiagnosa terkena demam berdarah dan harus dirawat di rumah sakit. Aku dan Mas Didik terduduk lesu. Pasalnya, kami bingung dengan biaya rumah sakit yang pasti tak sedikit.“Biarlah nanti Mas usahakan pinjam lagi sama teman Mas untuk biaya berobat Arthur, Dia harus sembuh, Mas pulang dulu bawa baju ganti kamu sama Arthur.” Ujar suamiku sembari memegang pundakku. Aku mengangguk pelan. Malam ini aku harus menginap menjaga Arthur.Aku menghubungi saudaraku, Farida dan Emi dengan berkirim pesan melalui Whatsapp. Mereka berjanji akan menjenguk keponakannya pada esok harinya. Pikiranku tak tenang memikirkan biaya Arthur. Uang yang dibawa Mas Didik tadi hanya tiga ratus ribu dan tersisa seratus ribu sisa dari biaya pemeriksaan darah Arthur.Aku tak yakin Mas Didik akan mendapatkan pinjaman, namun ingin meminjam dengan adik-adikku juga rasanya tak mungkin sebab kedua adikku bekerja serabutan. Farida ikut menjaga
“Ngapain ibu repot-repot minta bantuannya, sekarang itu jaman sudah canggih. Semua resep makanan bisa langsung dilihat di Youtube kemudian tinggal dipraktekkan, Beresss,” Ku dengar suara Farah di teras, memberi saran ke ibu. Aku yakin sekali dia pasti ingin mencari resep kue bebongko pesanan Bu Trisno.“Oya sudah, gimana caranya. Bantuin Ibu ya, Rah… Cuma kamu aja menantu harapan ibu.”“Tenang, Bu. Ibu ketik aja kue apa namanya.” Farah memperlihatkan ponselnya kepada ibu. Aku yang mengajak Arthur bermain di ruang tamu berusaha cuek. Meski sesekali aku melihat dari kaca jendela yang menjadi pembatas antara ruang tamu dengan teras.“Videonya terlalu cepat, Rah. Ibu bingung jadinya.” Mereka pun menonton video berulang kali.“Besok ibu praktek dulu, jadi begitu buat yang 200 bungkus nanti hasilnya nggak mengecewakan, memangnya ibu mau nanti beda rasanya dengan yang dibuat Mbak Mayang.” Ibu menggelengkan kepalanya. “Nah, makanya ibu besok beli bahannya terus praktek.” “Ya, besok ibu mul
“Bukan main, Ibu Sutinah ini seakan-akan dia yang pandai bikin kue tapi ternyata cuma mantunya yang kerjain, mana sendirian lagi nggak dibantu, Nggak nyangka ya ibu mertuamu seperti itu.” Aku diam saja mendengarkan., tanganku masih sibuk dengan pesanan Bu Trisno.Selama tiga jam Ibu Trisno menemani aku membuat kue, dia dengan ikhlas membantu menyusun kue dalam dandang kukusan juga mengangkatnya, kemudian membantuku menyusun kue yang sudah masak dalam keranjang. Selama itu pula dia mengajakku bercerita banyak hal. Bu Trisno sangat baik orangnya.“Lain kali kalau Ibu ada hajatan, nanti biar Ibu langsung pesan sama kamu aja. Biar nanti ibu-ibu yang lainnya juga Saya kasih tau,” Dia lalu menyerahkan uang tiga ratus ribu kepadaku.Aku bingung dan bertanya. “Ini buat apa, Bu,”“Ini buat beli susu anak kamu, Arthur. Diterima aja ya, ini rejeki anakmu.” Katanya dan setelahnya ia menelpon anaknya untuk membawa kue bebongko ke dalam mobil. Aku sangat bersyukur pekerjaan menjadi cepat selesai ka
Pagi Pukul 6.30, aku baru selesai mengangkat air untuk memandikan Arthur lalu menyiapkan pakaian yang akan dikenakannya setelah mandi di tempat tidur. Arthur masih tertidur pulas. Iwan kembali masuk ke dalam kamar kami. Mas Didik sudah duduk di tepi ranjang. Aku dan Mas Didik memperhatikan Iwan memasukkan baju yang dipinjamnya kemarin ke dalam lemari. Dengan tanpa bicara sepatah katapun, dia berlalu dari hadapan kami. Aku mengambil baju yang menggumpal yang ditaruhnya ke dalam lemari. Astagfirullah. Baju yang dipinjamnya kemarin dalam keadaan kotor dan dia dengan santainya memasukkannya kembali ke dalam lemari. Terbuat dari apa otak manusia satu itu.“Baju kotornya biar Mas nanti yang cuci sekalian baju-baju Arthur ya.” Kata suamiku mengambil baju tadi di tanganku. Di rumah ibu mertuaku memang tidak punya mesin cuci jadi semua pakaian dicuci secara manual.“Benar-benar bikin stres kalau lama-lama tinggal di sini, Sabar… sabar Mayang, ingat kamu masih numpang dan harus lebih banyak
“Ibu bangun tidur, cucian sudah dalam keadaan seperti itu, mau membela istri tercintamu itu, kalian itu sama saja pemalas, bisanya mikirkan makan aja sedangkan kerjaan terbengkalai nggak diurus dengan baik. Baru juga urusan rumah sudah tidak bisa diatur apalagi mau mikir terima pesanan, yakin itu bisa?” Kata Ibu dengan berkacak pinggang. Aku tak mempedulikannya.Selesai memungut pakaian, aku langsung menghampirinya. Dan meletakkan begitu saja pakaian kotor di kursi teras. Ia langsung melotot. Aku cuek berlalu dari hadapannya lalu masuk ke dalam kamar. Mas Didik menyusul ku.Tak lama kudengar suara pedagang sayur keliling mampir di depan rumah, ibu-ibu tetangga mulai berdatangan. Samar-samar kudengar Ibu membicarakanku. Aku langsung mengintip dari jendela kaca nako di ruang tamu yang berbatasan langsung dengan teras rumah. “Saya ini sudah terlalu sabar menghadapi istri si Didik, terlalu pemalas dan joroknya minta ampun. Coba lihat tuh, Bu … masa pakaian seperti itu dianggap bersih, je
Kedatangan ku bersama suami dan anakku disambut kedua adikku, Farida dan Emi. Mereka dengan antusias membantu kami pindah ke tempat tinggal yang baru. Rumah Eni memang tak sebesar rumah mertuaku. Rumah dengan dua kamar dan dindingnya masih belum diplester, masih kelihatan susunan batu batanya. Lantainya juga masih semen dan belum berkeramik. Aku suka karena rumahnya persis di depan sekolahan. Dengan pelataran yang cukup luas, membuat ku berpikir akan berjualan makanan untuk anak-anak sekolah.“Tempatnya strategis kalau kakak mau berjualan, persis depan SD lagi, menurut kakak bagaimana tempatnya bagus tidak?” Aku hanya bisa manggut-manggut saja. Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan tempat sebagus ini dan gratis pula.“Kakak besok mau kerjakan orderan untuk jumat berkah sama orderan snack rabu depan, Jadi Kakak fokus dulu kerjakan orderan setelah itu baru pikirkan mau jualan apa di depan nanti,”“Aku masih libur jualan, Kak. Bisalah aku bantu-bantu kakak siapkan kotakann
“Untunglah, Mas. Akhirnya kamu bisa bekerja kembali, semoga saja apa yang kita kerjakan menjadi berkah dan pahala ya, Mas.” Kataku sambil menyiapkan pakaian yang akan dikenakan di hari pertamanya kembali bekerja.“Ya, Dek. Oya kamu nggak apa-apa kan, seandainya sewaktu-waktu Mas ditugaskan ke luar daerah karena perusahaan ini ada cabangnya di beberapa daerah.” Meski berat, Aku pun mengangguk. Toh, ini demi kebaikan kami bersama.“Nggak apa-apa kok, Mas. Ada Farida dan Emi yang bisa menemani aku dan Arthur saat kamu ada tugas ke luar daerah, yang terpenting kamu kerjanya baik-baik aja, Mas. Ingat aja Mas cari kerja itu sulit, kita sudah sangat bersyukur akhirnya kamu mendapat pekerjaan,” pintaku, dia mengangguk.“Ya, Dek. Insha Allah bila pekerjaan lancar, aku berniat kita pelan-pelan membangun rumah dan buat tabungan masa depan Arthur.” Aku mengaminkan perkataannya.“Aku udah buatkan sarapan, sebaiknya kita sarapan dulu sebelum kamu berangkat bekerja, Mas.” Bersyukur selama berjualan