“Kamu sudah salat?” tanya Gus Azam dan kujawab dengan gelengan.
Aku menepuk jidatku pelan. Aku lupa jika belum melaksanakan salat Isya. Sehabis akad nikah, kami sibuk membicarakan tentang diriku. Besok aku sudah diperbolehkan pulang jika kondisiku sudah stabil. Kemungkinan besar aku akan tinggal di rumah Gus Azam. Mereka pikir aku lebih aman tinggal di sana daripada di rumahku sendiri.
“Aku antar ke kamar mandi. Kita salat jamaah!” Ucapannya tidak terdengar seperti sebuah tawaran melainkan perintah.
Aku mencoba duduk, tetapi tubuhku terasa kaku. Bekas cambukan dari Pak Rozaq masih terasa perih. Sekujur tubuhku rasanya sakit semua. Tiba-tiba kurasakan sebuah tangan memegang pundakku.
“Biar kubantu.” Gus Azam menaruh tangan kirinya di bawah leherku dan tangan kanannya diletakkan di bahu kiriku.
Sejenak napasku terhenti. Dengan jarak sedekat ini aku mampu mencium aroma parfumnya. Jantungku berdebar hebat kala dia mulai mengangkat tubuhku. Ya Allah, inikah rasanya berduaan dengan lela