Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.
Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.
Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.
Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.
Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.
Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.
Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.
Laluna.