Tidak pernah Aleena sangka jika dirinya akan mengandung bayi kembar sekaligus dengan pria yang baru saja ia ketahui memiliki teman tidur lebih dari satu wanita. Saat dirinya mengungkapkan kehamilan itu, Liam Anthony Gray dengan tegas menolak keberadaan calon bayi yang tengah dikandung Aleena itu. Aleena memutuskan untuk pergi dari hidup Liam dan bersumpah tidak akan mengenalnya selamanya. Namun, siapa sangka jika takdir mempertemukan mereka lagi setelah enam tahun tak bertemu. Liam menginginkan anak itu, sementara Aleena dengan tegas mengatakan bahwa Liam bukan ayah dari si kembar. Akankah Aleena mengungkapkan kebenarannya?
View More"Aku tidak bisa menikahimu. Jadi, jangan memintaku untuk bertanggung jawab atas kehamilanmu, Aleena."
Bagai petir di siang bolong, kata-kata itu menghantam Aleena tanpa ampun.
Dunianya yang semula berputar dalam keyakinan bahwa pria yang dicintainya akan bertanggung jawab, seketika runtuh menjadi kepingan yang berserakan.
Napasnya tercekat, dadanya terasa sesak, seolah udara di ruangan itu tak lagi cukup untuk membuatnya bertahan.
Suara Liam terdengar dingin, tanpa emosi. Seakan-akan hubungan yang mereka jalani selama ini tidak berarti apa-apa.
Seakan-akan semua janji yang pernah terucap hanyalah angin lalu yang tak pernah memiliki bobot.
Aleena menatap pria itu dengan mata yang mulai berkaca-kaca, hatinya berteriak, menolak untuk percaya bahwa ini nyata.
"A—apa yang membuatmu berubah pikiran, Liam? Kau bilang kau akan menikahiku setelah tahu keberadaan bayi di perutku,” suaranya lirih, bergetar menahan luka yang mulai mengoyak.
Liam hanya menatapnya datar, seolah tak tergoyahkan sedikit pun oleh penderitaan di hadapannya. “Aku tidak yakin itu adalah anakku. Selama ini kita jarang berhubungan, aku tidak memiliki alasan kuat untuk menikahimu hanya karena kita pernah bercinta.”
Seakan dipukul dengan palu godam, Aleena terhuyung ke belakang. Kata-kata Liam lebih tajam dari belati yang menyayat kulitnya, lebih kejam dari badai yang menghancurkan segalanya tanpa ampun.
Matanya yang bening kini penuh dengan kesedihan, namun juga kemarahan yang siap meledak.
“Kau gila, Liam! Kau … benar-benar membuatku emosi!” Napasnya memburu, dadanya naik turun, menahan letupan perasaan yang tak terkendali.
“Kau sudah berjanji akan bertanggung jawab, Liam. Apa kau akan mengingkari janjimu begitu saja? Dan aku tidak pernah tidur dengan lelaki lain selain denganmu!” ucapnya dengan tegas, mencoba mempertahankan harga dirinya yang mulai diinjak-injak.
Namun, Liam malah terkekeh kecil, seolah ucapan Aleena hanyalah sesuatu yang menggelikan.
“Cukup, Aleena! Keputusanku sudah bulat. Lagi pula, itu semua salahmu karena tidak bisa menjaga hal ini terjadi. Jika ingin digugurkan, gugurkan saja. Aku tidak peduli!”
Sebuah tamparan keras melayang di pipi pria itu, membuat kepala Liam sedikit menoleh. Namun, bukan rasa sakit yang terlihat di matanya, melainkan kemarahan yang mendidih.
“Kau tega ingin membunuh calon anakmu sendiri, Liam?” suara Aleena nyaris hanya berupa bisikan. Ada ketakutan, ada luka, ada keputusasaan.
“Calon anakku?” Liam mendengus sinis.
“Sudah kubilang padamu, aku tidak yakin bahwa dia adalah anakku, Aleena. Kau pikir aku tidak tahu bagaimana pergaulanmu di luar sana? Bahkan diajak tidur denganku pun kau mau-mau saja.”
Aleena mengerjapkan matanya, berusaha mencerna tuduhan itu. Rasa sakit di dadanya berubah menjadi kemarahan yang tak terbendung.
Tangannya kembali mengepal, bukan untuk menyerang, tetapi untuk menahan gemuruh emosi yang hampir meledakkan dirinya.
Ia ingin berteriak, ingin menumpahkan segala kepedihan yang telah ditanamkan pria itu dalam hatinya. Namun, ia tahu, tidak ada gunanya lagi.
Air matanya yang selama ini ia tahan akhirnya jatuh, tetapi bukan karena kelemahan. Itu adalah air mata dari seorang wanita yang terluka, namun tidak akan membiarkan dirinya dihancurkan.
Aleena menatap Liam untuk terakhir kalinya, kemudian berbalik, melangkah keluar dengan kepala tegak.
"Tega sekali kau berkata seperti itu padaku, Liam. Kau menuduhku dengan keji, padahal kau sendiri yang sudah berjanji akan menikahiku begitu tahu aku sedang hamil." Suaranya bergetar, matanya memerah menahan air mata yang hampir jatuh.
Ia masih ingat betul, satu minggu yang lalu, saat ia dengan penuh keberanian memberi tahu Liam tentang kehamilannya.
Waktu itu, meski wajah pria itu sempat menunjukkan keterkejutan, tapi Liam berjanji akan bertanggung jawab.
Ia berjanji akan menikahinya, akan menjadi ayah bagi anak mereka. Namun kini, ketika ia datang menagih janji itu, Liam justru berbalik dan mengingkari segalanya.
Tidak hanya itu, pria itu bahkan dengan keji menuduhnya. Mengira bahwa janin yang dikandungnya bukan darah dagingnya sendiri? Ini benar-benar gila! Bagaimana bisa Liam sekejam ini padanya?
"Sekarang pergilah. Keputusanku tidak akan bisa diubah meski kau berlutut di kakiku. Aku juga belum siap menjadi ayah. Kalau kau ingin menggugurkannya, gugurkan saja. Aku sudah memberimu pilihan."
Aleena mengepalkan tangannya erat. Ia menatap wajah Liam dengan tajam, mencoba mencari sedikit saja penyesalan di sana.
Namun tidak ada. Tidak ada sama sekali. Liam tetap menatapnya dengan ekspresi tanpa dosa, seakan-akan dirinya bukanlah orang yang telah menghancurkan hati seorang wanita yang tulus mencintainya.
Dengan suara bergetar penuh kepastian, Aleena berkata, "Aku tidak akan pernah membunuh darah dagingku sendiri, Liam."
Liam hanya menghela napas pelan, tampak sedikit kesal dengan keteguhan hati Aleena. "Baiklah. Jika itu maumu. Jadi, sekarang pergilah. Aku sedang sibuk, Aleena."
Sibuk? Aleena hampir tertawa pahit. Bahkan untuk berbicara soal anak mereka pun, pria itu merasa ini hanyalah gangguan? Seberapa rendah dirinya di mata Liam sekarang?
Namun, sebelum Aleena bisa mengucapkan sepatah kata lagi, ketukan di pintu menghentikan segalanya.
Tak lama, seorang wanita cantik melangkah masuk. Tubuhnya semampai, dengan gaun ketat yang membalut lekuk tubuhnya dengan sempurna.
Wajahnya begitu menawan, dan suaranya terdengar manja saat ia menyapa Liam dengan nada yang begitu akrab.
"Liam, aku sudah menunggumu. Apa kau sudah selesai?"
Aleena mengerutkan kening, matanya membesar saat menyaksikan interaksi mereka. Wanita itu berjalan mendekat, tanpa ragu melingkarkan tangannya di lengan Liam.
Sebuah tindakan yang membuat Aleena merasakan pukulan hebat di dadanya.
"Siapa dia, Liam?" tanyanya dengan suara tercekat, meski ia sudah bisa menebak jawabannya.
Liam menatapnya sekilas sebelum kemudian menghela napas seakan tidak mau berlama-lama dalam situasi ini.
Sebelum pria itu sempat menjawab, wanita itu lebih dulu membuka suara dengan nada yang begitu santai.
"Aku Laluna. Kekasih Liam. Kau siapa? Tamunya Liam?"
Dunia Aleena seketika runtuh. Pandangannya mengabur, dadanya terasa sesak. Kata-kata wanita itu terus terngiang di kepalanya. Kekasih Liam? Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Ke—kekasih?" bibir Aleena bergetar saat mengulang kata itu, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Aleena menggeleng keras. “Tidak! Kau tidak bisa datang dan tiba-tiba mengklaim hak atas mereka! Kau tidak tahu apa-apa soal mereka! Aiden suka dinosaurus, Eve suka bunga matahari, dan mereka punya rutinitas, punya dunia yang tenang tanpamu!”“Dunia yang kau bentuk karena kau takut menghadapiku!” bentak Liam, kini hanya berjarak setengah meter dari Aleena. “Bukan karena mereka tidak butuhku, tapi karena kau tidak ingin aku kembali dalam hidupmu!”Aleena merasakan dadanya sesak. “Karena aku takut… mereka akan mencintaimu. Karena aku tahu, kau selalu bisa membuat siapa pun percaya padamu. Dan saat kau pergi lagi—”“Aku tidak akan pergi,” potong Liam tajam. “Tidak kali ini.”Keheningan menggantung di antara mereka. Suara hujan di luar terdengar samar, denting waktu seolah melambat. Tatapan Liam mengunci mata Aleena, seolah ingin menembus benteng pertahanannya.“Liam, tolong,” bisik Aleena dengan suara bergetar. “Pergilah. Aku mohon... jangan buat semuanya makin rumit.”Tapi pria itu tidak
Sementara itu, Aleena duduk di balkon rumahnya, memandangi langit sore yang mulai berwarna jingga. Angin berembus pelan, membawa aroma tanah kering yang sebentar lagi akan basah oleh hujan.Di pangkuannya, Eve tertidur dengan napas teratur, tangan mungilnya menggenggam ujung syal milik Aleena.Di dekat jendela, Aiden duduk dengan serius, matanya menelusuri halaman-halaman buku dongeng kesukaannya. Suasana terasa damai, sejenak seperti tidak ada apa-apa yang salah di dunia.Ponsel Aleena bergetar pelan di sampingnya. Ia menoleh dan meraihnya dengan hati-hati agar tidak membangunkan Eve. Sebuah pesan singkat masuk, dari nomor yang tak ia simpan:Kita perlu bicara. Bukan sebagai mantan. Tapi sebagai ayah dan ibu dari dua anak luar biasa.–LiamAleena menatap layar itu lama. Jemarinya gemetar ringan, tapi bukan karena dingin.Ia tahu, pembicaraan itu bukan sekadar pertemuan biasa. Apa pun yang akan dikatakan Liam nanti, itu akan menja
Siang itu, udara kota terasa panas dan menyengat. Matahari menyorot tajam di balik kaca jendela besar sebuah kafe berkelas di pusat kota.Di salah satu sudut ruangan yang cukup sepi, Liam duduk dengan pandangan kosong menatap cangkir kopinya yang sudah lama mendingin.Kemeja putih yang ia kenakan tampak kusut meski ia selalu rapi. Kancing teratas dibiarkan terbuka, lengan tergulung hingga siku, tapi tidak ada kesan santai dari penampilannya.Rahangnya kaku, dan matanya seperti terus terombang-ambing oleh pikiran yang tak kunjung menemukan dermaga.Cangkir itu sesekali ia putar dengan ujung jari, seolah mencari jawaban dari pusaran kopi hitam yang nyaris basi.Denting bel pintu kafe membuatnya menoleh cepat. Sosok tinggi dengan balutan gaun krem selutut dan sepatu hak tinggi memasuki ruangan.Rambutnya ditata sempurna, wajahnya dibingkai riasan profesional, dan di bibirnya terlukis senyum tipis yang tidak sepenuhnya hangat.Laluna.
Esok paginya, Aleena bangun lebih awal. Ia sengaja menyiapkan sendiri sarapan anak-anak meski tubuhnya masih terasa lelah.Ia ingin menghindari segala kemungkinan bertemu Liam lagi, apalagi setelah ketegangan yang terjadi semalam. Ia tak ingin anak-anak berharap lebih. Dan yang paling penting—ia tak ingin hatinya goyah lagi.Namun rencana tinggal rencana.Saat ia sedang mencuci tangan di dapur, suara bel rumah mengejutkannya. Ia menoleh ke arah jam dinding. Masih pukul 06.45 pagi. Alisnya langsung berkerut.Ia berjalan ke pintu depan, membuka sedikit tirai di jendela samping—dan jantungnya langsung berdegup kencang. Liam berdiri di sana.Membawa dua kotak makan putih dan dua kantong kecil berisi susu cokelat dengan gambar kartun kelinci di depannya. Susu favorit Aiden dan Eve.Aleena menghela napas panjang sebelum membuka pintu dengan cepat, menahan tubuhnya agar tidak langsung meledak.“Kau pikir bisa masuk semudah itu ke hidup kami?” desisnya kemudian menghadang pria itu sebelum sem
Aleena menatap kedua anaknya, lalu Liam. Ia tahu ini awal dari sesuatu yang besar—pertempuran panjang yang tak lagi bisa ia hindari.Tapi melihat tatapan tulus Liam pada anak-anak mereka, hatinya melemas, meski ia mencoba mengingkarinya.Liam masih berdiri di ambang pintu, dengan senyum tipis yang tak bisa disembunyikan.Tatapannya jatuh pada Eve yang menggenggam tangan Aleena erat, dan Aiden yang tampak ragu namun memancarkan rasa penasaran yang tak bisa disembunyikan.“Ayo cepat, sebelum Om Liam berubah pikiran,” ucap Liam sambil mengedip pada Eve. Suaranya ringan, tapi ada getaran harap yang dalam.Eve cekikikan kecil, dan Aiden menoleh ke arah Liam dengan senyum malu-malu. Ada sesuatu yang berubah dari anak laki-laki itu sejak mereka bertemu Liam—Aleena bisa merasakannya.Aleena tidak menjawab. Ia hanya mengikuti langkah mereka dari belakang, dengan segudang pikiran yang berkecamuk di benaknya. Setiap langkah terasa berat, seolah kaki dan hatinya tak lagi sejalan.Ia menunduk, mem
Aleena terpaku. Napasnya tercekat, seolah udara di sekelilingnya mendadak menghilang. Nama itu—John—keluar dari bibir Liam seperti peluru yang menghantam jantungnya.Ia tak tahu dari mana pria itu tahu, atau seberapa banyak yang sudah ia ketahui, tapi satu hal pasti: Liam tidak main-main.“Apa maksudmu?” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Suaranya gemetar, matanya menatap Liam dengan campuran ketakutan dan kebingungan.Liam mengendurkan genggamannya, tapi tetap berdiri tak jauh darinya. Tatapannya masih menusuk, namun kini diselimuti aura yang lebih gelap.“Maksudku jelas, Aleena. Pria itu bukan seseorang yang bisa kau andalkan. Dia hanya datang saat keadaan tenang, saat semuanya baik-baik saja. Tapi ketika badai datang, dia akan lari.”Aleena menggeleng cepat, mencoba menyangkal. “Kau tidak tahu apa-apa tentang John!”“Tapi aku tahu segalanya tentangmu,” balas Liam tenang. “Aku tahu bagaimana caramu menyembunyikan luka. Aku tahu nada suaramu ketika kau berpura-pura bahagia. Dan ak
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments