Beberapa bulan kemudian, Siena dan Jordy bertunangan.Setelah Billy pergi hari itu, Siena langsung membawa Jordy ke klinik dengan khawatir dan marah.
“Lihat lukamu ini ....” Siena mengoleskan obat di luka Jordy dengan hati-hati sambil mengomel, “Kenapa kamu begitu gegabah? Kan sayang banget kalau wajah setampan ini terluka.”
Jordy pun tersenyum dan menaruh dagunya ke telapak tangan Siena. “Karena bisa buat kamu kasihan sama aku, nggak sia-sia juga aku dipukul.”
Wajah Siena seketika memerah. Dia pun memelototi Jordy dan menegur, “Jangan gombal kamu!”
Namun, Siena tetap menunjukkan tampang khawatir. “Lain kali, jangan begini lagi. Aku benar-benar sedih melihatmu terluka.”
“Oke.” Jordy mengangguk, lalu menjamin dengan serius, “Aku bersumpah, kelak, aku nggak akan buat Siena Kimnara khawatir lagi.”
Pada awal musim panas, Siena dan Jordy mengadakan resepsi pernikahan. Diiringi dengan bunga yang bertebaran di udara, juga restu hangat dan tepuk tangan meriah dari sanak saudara serta teman dekat, kedua mempelai berjalan perlahan mendekati satu sama lain.
“Aku gugup banget!”
Pada momen ini, Jordy juga berlinang air mata, “Siena, sebenarnya, aku sudah jatuh cinta padamu dari dulu. Tak disangka, aku benar-benar bisa menikahi wanita yang kucintai selama ini. Apa aku lagi mimpi?”
Setelah tertegun sejenak, Siena pun tertawa setelah mendengar ucapan Jordy. “Mana mungkin ini mimpi? Jordy, aku juga teramat sangat mencintaimu.”
Siena berjinjit, lalu sepasang mempelai itu saling berciuman di hadapan pastor. Cinta mereka yang indah direstui oleh semua orang.
“Nana, kelak, anggaplah ini rumahmu.” Anita menggenggam tangan menantu dan putranya, lalu lanjut berkata, “Ibumu yang ada di alam baka pasti juga sudah tenang melihatmu sekarang.”
“Makasih, Bibi,” jawab Siena sambil menyeka air mata.
“Kenapa masih panggil bibi?” Anita tersenyum menggoda dan bercanda, “Bukannya panggilan itu sudah harus diubah?”
Siena pun tertawa dan segera memanggil, “Ibu.”
“Gitu, dong!”
...
Billy menyaksikan upacara pernikahan ini dari sebuah sudut lokasi acara. Dia tidak berani dan tidak dapat mengganggu Siena lagi. Oleh karena itu, dia hanya duduk sendiri dalam bayang-bayang dan memandang Siena dari kejauhan.
Saat melihat Siena dan Jordy saling berciuman dengan bahagia, Billy tetap tidak sanggup menyaksikannya dan segera bangkit untuk meninggalkan tempat ini.
“Ayo pulang,” ucap Billy dengan suara serak kepada asisten di sampingnya.
Setelah masuk ke vila Keluarga Juman yang kosong melompong, Billy akhirnya tidak tahan lagi. Dia perlahan-lahan terduduk di lantai dan menangis sedih sambil bersandar pada pintu.
Andaikan saja dia tidak kehilangan akal sehat akibat rayuan Julia. Andaikan saja dia tidak berulang kali mendorong Siena menjauh .... Orang yang berdiri di depan altar dan menerima restu dari semua orang itu seharusnya adalah Billy dan Siena.
Namun, itu semua hanya tinggal andai-andai. Waktu terus mengalir tanpa jeda dan membawa pergi masa lalu tanpa meninggalkan jejak.
Siena telah melangkah jauh ke depan. Sekarang, yang masih berdiam di tempat dan tenggelam dalam kehampaan hanyalah Billy seorang.
Tangisan penuh penderitaan yang tertahan bergema di dalam vila untuk waktu yang sangat lama.