Gendhis mematung di ujung tangga, bibirnya terkatup rapat sedangkan matanya lekat menatap pada Rai yang duduk di sofa, menghadap ke arahnya. Duduk membelakangi Gendhis, Eriska nampak menyeruput teh hangat buatan ART yang memang diperintahnya untuk membuat minuman.
"Ane-san, boleh ke sini ikut ngobrol," panggil Rai lembut.
Sesaat Gendhis ragu, ia masih mematung di tempatnya berdiri. Ekspresi wajahnya tampak pias, ia tengah memetakan apa yang terjadi saat ini, kenapa Eriska tiba-tiba berani mendatangi kediaman Ben, lelaki yang sangat membencinya karena masa lalu mereka.
"Sayang," panggil Rai lagi, senyum terkembang di wajahnya setelah sebelumnya ia pasang wajah serius untuk menghadapi Eriska.
Terhenyak, sadar dari prasangka yang berputar di otaknya, Gendhis melangkah, mendekat pada Rai dan duduk di sebelahnya. Sambil tak melepas tatapannya dari Rai, Gendhis sempatkan membungkukkan badannya pada Eriska sebagai tanda hormat.
"Jadi dia nggak pa-pa?" desis Eriska tersenyum miring, sorot