"Kenapa kamu berpikiran picik begitu, Arsih? Bi Erni sudah banyak membantu kita. Wajar dia mendapatkan upah." Badai kembali menggengam tanganku.
"Aku tidak suka, seolah aku penghasil uang buatnya. Aku ingin segera lepas dari bibimu itu. Nikahi aku segera, Badai!" Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Akhirnya aku menangis.
"Arsih ...." Badai berusaha menenangkanku.
"Atau jangan-jangan kau sama dengan bibimu itu, hanya memanfaatkanku," jeritku.
"Menurutmu begitu?" Badai memberikan raut wajah yang tegang, tak senang.
"Siapa yang tahu."
"Apa maumu?" Badai memegang stir mobil dengan erat. Ada yang ia pendam.
"Aku ingin segera menjadi istrimu! Belum jelaskah?" Aku terisak tak tertahan.
"Baiklah." Badai menstarter mobil dengan begitu cepat. Aku sedikit takut.
"Kau mau membawaku kemana?"
"Kau persiapkan dirimu sebaik mungkin," jawab Badai.
Ia menatap tajam jalanan yang kami lewati. Sedikit pun dia tidak melihatku. Aku menenangkan diri. Badai pasti membawaku ke rumahnya, pik