Bantu GEMnya ya kak
"Kenapa kamu berpikiran picik begitu, Arsih? Bi Erni sudah banyak membantu kita. Wajar dia mendapatkan upah." Badai kembali menggengam tanganku. "Aku tidak suka, seolah aku penghasil uang buatnya. Aku ingin segera lepas dari bibimu itu. Nikahi aku segera, Badai!" Aku menutupi wajahku dengan kedua tanganku. Akhirnya aku menangis. "Arsih ...." Badai berusaha menenangkanku. "Atau jangan-jangan kau sama dengan bibimu itu, hanya memanfaatkanku," jeritku. "Menurutmu begitu?" Badai memberikan raut wajah yang tegang, tak senang. "Siapa yang tahu." "Apa maumu?" Badai memegang stir mobil dengan erat. Ada yang ia pendam. "Aku ingin segera menjadi istrimu! Belum jelaskah?" Aku terisak tak tertahan. "Baiklah." Badai menstarter mobil dengan begitu cepat. Aku sedikit takut. "Kau mau membawaku kemana?" "Kau persiapkan dirimu sebaik mungkin," jawab Badai. Ia menatap tajam jalanan yang kami lewati. Sedikit pun dia tidak melihatku. Aku menenangkan diri. Badai pasti membawaku ke rumahnya, pik
"TIDAK!!!" teriakku. Aku terbangun dan melihat sekelilingku dengan cepat. Ada wak Yanto yang berada di sampingku. Seorang wanita yang kukenal sebagai bidan di desa ini. Di tanganku terpasang infus. Rupanya aku masih di kamarku dan aroma nanas muda masih pekat. "Kalau nanti habis infusnya, dan tidak ada pendarahan atau mual-mual lagi, telpon saya ya, Pak. Nanti saya buka infusnya. Nanti saya bantu bawa ke donter kandungan untuk memeriksa kondisi kandungannya.""Tak perlu, Bu. Cabut aja sekarang, toh juga Kinarsih sudah sadar."Bidan itu hanya tersenyum kecil lalu mengucapkan permisi. "Jangan jadi hamba yang tak tahu diri, Kinarsih. Sudah berbuat dosa zina, lagi kau akan menjadi pembunuh. Kalau kau mati dalam usahamu menggugurkan kandunganmu, maka kau akan mati dalam su'ul khotimah. Sudah rugi di dunia, rugi selamanya di akhirat.""Wak ... Maaf," desisku. Aku langsung menangis. Namun seperti abai, Wak Yanto bangkit. "Kasih dia makan," ucapnya datar lalu pergi meninggalkanku yang terp
*** FLASH BACK POV AUTHOR*** "Badai! Antar Bibi pulang dong, sekali-kali mau dong naik mobil ponakan," rengek Erni. "Aku lagi kurang enak badan, Bi," jawab Badai. "Lihat Ning, rasanya aku ini bukan bibinya, sampai tega menolak permintaanku." "Antar Bibimu, Badai. Biasanya juga kamu rajin ke rumahnya," sindir Nining, Sang Ibu. Badai berwajah masam. Ia merasa tidak tenang jiwanya. Sejak kejadian itu, ia merasa bersalah kepada Arsih. Dia serius mencintai gadis itu, namun jika dia kembali ke keluarganya, ia akan mengingat bahwa strata sosial itu sangat penting. Tentu saja Kinarsih bukanlah gadis yang diinginkan keluarganya. Jika sampai ayahnya tau dan murka, bisa-bisa ia tidak akan mendapatkan harta warisan. Seorang wanita yang berpendidikan dan dari keluarga kaya raya berpangkatlah yang boleh menjadi bagian dari keluarga Nasrun Sakti Wijaya. Itu aturan sekaligus persyaratan yang ayahnya buat. "Apa yang harus aku katakan pada Arsih jika aku bertemu dengannya nanti di rumah Bi Er?"
"Kamu harus segera meminta laki-laki itu bertanggung jawab, Arsih!" Bola mata Adelia seperti penuh tertutupi dengan air. Aku tahu sahabatku ini benar-benar tulus menyayangiku. Jelas terlihat raut wajahnya tegang hingga sampai merah. Bahkan aku bisa melihat dengan jelas, urat-urat bola matanya berubah jadi merah karena menahan rasa iba. "Aku tidak bisa menghubunginya. Aku berkali-kali mencoba menelponnya tapi tidak ada respon," jawabku histeris. Adelia memelukku. Berkali-kali ia menghapus air mataku. Gadis itu pun akhirnya menangis. Basah hijabku oleh air matanya. Dia gadis yang peka, pastilah bisa merasakan bagaimana menderitanya menjadi aku. Sudah tak berayah dan beribu, sekarang harus hamil di luar nikah. Bayangan hujatan dan hinaan makin pekat di otakku. Siapapun, katakan padaku, bagaimana caraku untuk bernafas agar aku terus hidup?! Sesak rasa dadaku hingga suaraku tercekat. "Sudah, jangan menangis lagi. Tangisan ini tidak akan menyelesaikan masalah. Kamu coba hubungi dengan h
"Sudah Wak! Wak Er, mungkin benar Arsih menjual diri, tapi siapa yang menjual Arsih? Bukannya Wak yang mendapatkan keuntungan dari hasil jualannya Arsih?!" teriakku tak tertahan. Mungkin sudah penuh isi dadaku ini, jadinya aku memiliki kekuatan dan keberanian untuk menimpalinya. "Heh, anjing jaga ucapanmu ya!" Wak Erni memucat. "Iya, anjing ini sudah habis terjual oleh Uwak nya sendiri!" "Apa maksudmu?" Wak Yanto terlihat bingung menatapku. "Jangan dengarkan wanita gila ini, Kak!" "Diam kau Erni!" Suara Wak Yanto menyalang. "Jelaskan padaku apa arah pembicaraan kalian, Arsih!" "Arsih ... Arsiih ...." Rasanya tenggorokanku tak mampu mengeluarkan suara. "Apa Arsih? Bicaralah. Jangan buat Wakmu ini kebingungan." Wak Yanto melemahkan suaranya. "Arsih ha ...." Aku susah bernafas. "Arsih ... tenanglah, Nak." "Arsih haa ... haamil, Wak," isakku menyeruak memenuhi halaman yang terbuka. Terasa seratus pisau menusuk tubuhku ketika kumenyampaikan kebenaran itu di depan orang yang s
"Kurang ajar sekali mulutmu itu!!!" Haryanto menampar dan menarik leher Badai sampai pemuda itu tersungkur. "Aaaaakhhh sakit, Paman!" Badai berteriak dan meringis. Kedua orang tuanya hanya mampu melihat dan menahan nafas. Haryanto memiliki alasan yang kuat untuk tak terkendali. "Kau sudah merenggut kehormatan putriku, dan kau menghinanya seolah dia juga bersama laki-laki lain! Kubunuh kau sekarang!" Haryanto menekan leher Badai dengan kuat sehingga wajah pemuda itu memerah pertanda ia butuh oksigen. "Hentikan! Tolonglah ... mari kita bicarakan baik-baik! Badai pasti akan mempertanggungjawabkan perbuatannya," tangis Nining memegang lengan Haryanto. Berharap, adik iparnya itu melemah. "Menurut kalian, apa aku harus diam saja ketika keponakanku dihina begini, hah?!" Haryanto mengalihkan pandangannya kepada kedua pasangan itu. "Tidak, Yan. Tapi tolong kasihi Badai. Kalau ada apa-apa dengannya, bagaimana bisa ia menikahi Kinarsih?" Nining masih berusaha melepaskan cengkraman di leher
Byuuuur!!! Tiba-tiba air yang begitu dingin mengguyur tubuhku. Aku yang mengerang seketika hanya bisa terhenyak. Menggigil tanganku mengusap mataku agar jelas kulihat sosok di depanku itu. "Berisik! Sudah jam sebelas malam ini! Kamu kayak orang gila!" "Dingin ... wak ...," desisku menggigil. Wanita keriting itu sangat kejam. "Resikomu jadi perempuan murahan. Jangan harap aku mau mengurusmu. Merepotkan saja. Awas kalau kamu berisik lagi." Wak Er melempar centong yang ada di tangannya dengan sangat keras menghempas dinding. Aku masih tergugu dalam kaku. Sudah cukup. Aku sudah tak sanggup lagi. Aku harus pergi dari rumah ini. Akan kubuang diriku sejauh-jauhnya. Kutatap infus yang ada di tanganku. "Aaaaakhh!" teriakku menahan sakit saat jarum itu tercabut. Tubuhku sempoyongan saat berusaha berdiri. Aku segera melepas bajuku hingga aku tak berpakaian sama sekali. Aku masih kuyup. Wanita jahat itu luar biasa kejamnya. Hampir lepas rasa tulangku dari daging karena begitu dingin sek
Setelah memasak untuk makan siang, aku bergegas menuju kamarku. Kepalaku rasanya sangat pusing. Bahkan aku merasa memiliki dua jantung yang sedang berdetak. Sembari berjalan dengan pelan, aku mengelus perutku. "Pel rumah. Debu semua," ujar Wak Erni yang melewatiku. Dia membawa sebuah ponsel, seperti sedang menonton film. "Nanti sore, Wak. Arsih mau rehat dulu. Makan siang sudah siap," ujarku. "Manja. Pel dulu baru boleh ke kamar!" Wanita itu berlalu menuju dapur. Pastilah dia akan makan. Benar-benar manusia tak berhati nurani. Aku tidak peduli dengan perintahnya. Seandainya bukan Wak Yanto yang ikut makan, aku tidak akan mau masak. Sekarang perutku sudah kenyang, karena aku lebih dulu makan. "Mak! Aku pergi dulu!" seru Ana. "Oke. Salam sama dokter ganteng itu, ya! Aduh, calon mantu!" timpal Wak Erni dari dapur. Aku tercengang. Apa itu artinya, Ana akan menemui Rian? Aku segera mengejar Ana yang sedang memanasi motornya. "An ... apa kamu mau ketemu, Rian?" tanyaku lemah lembu