TAMAT. Menikah dan hidup bersama sampai akhir hayat adalah impian setiap wanita. Namun, semua itu pupus oleh sebuah keputusan yang sangat mengejutkan. Kinarsih menjadi janda di malam akad pernikahannya. Sebuah awal yang membuat hidupnya terus membawa noda. Doa-doa dendamnya yang selalu dilangitkan membawa karma pada hidup Badai_ mantan suaminya. Mampukah Rian Si Playboy meluluhkan hati batu Kinarsih? Bagaimana mereka akan menemukan hati yang damai? Akankah kebahagiaan bisa direguk bersama? Mungkinkah Badai dan Kinarsih kembali rujuk? Yuk ikuti kisahnya sampai selesai ya Sobat
View More"Paman ...."
Wak Yanto memberikan perhatian kepada suara yang sedang memanggilnya."Saya talak satu, Kinarsih Aninda," suara Badai pelan tapi pasti.Terdengar oleh semua pasang telinga di sana. Semua terhenyak, tak ada yang bicara. Hening dan hampir menghilangkan kewarasanku. Apa yang barusan kudengar? Sepertinya telingaku sedang rusak."Anak setaaan!!!!!!" teriak Wak Yanto menghambur menyerang Badai.Ia menendang brutal pada Badai yang sedang duduk. Tidak lebih dari dua jam yang lalu, laki-laki itu mengesahkanku sebagai istrinya. Sangat lancar sekali lidahnya menyucapkan kalimat syahadat lalu diiringi kalimat ijab qabul. Lalu sekarang dia mengucapkan kalimat talak. Apa dia sudah kehilangan akal sehatnya?Semua orang di sana dengan cepat menarik tubuh Wak Yanto agar menjauh dari Badai. Tubuh tuanya terhuyung jatuh. Kopiah tanda kemuliaannya jatuh begitu saja, terinjak oleh kerumunan yang mencegahnya berbuat lebih. Wak Yanto mengamuk tak terkendali."Lepas! Lepaskan! Jangan halangi aku untuk membunuh manusia iblis ini! Tak punya hati nurani, biadab!!!"Wak Yanto berusaha melepaskan diri dari orang-orang yang memeganginya."Waaak!!!" teriakku menghampirinya.Bahkan aku sampai terjatuh karena menginjak mukenahku sendiri. Aku langsung memeluknya dan mengusap dadanya yang terasa panas. Mungkin deritaku tak sebanding dengan rasa malu Wak Yanto. Aku ditalak setelah hitungan jam setelah disahkan. Andai telingaku ini pekak saja, itu lebih baik daripada mendengar ucapan kejam yang keluar dari mulut laki-laki yang seharusnya kupanggil suami."Minggir Arsih! Anak dajjal ini semakin menginjak-injak kehormatan keluarga ini. Dengan tulus kuserahkan keponakanku padamu, tanpa memberatkanmu sedikit pun tapi kalian anggap sampah!!!" teriak Wak Yanto menatap sekelilingnya.Kemarahannya sungguh membuat siapa pun merinding. Tampak semua yang ada di sana hanya diam menyaksikan Wak Yanto terus mengumpat dan mengamuk. Wak Erni hanya meruncingkan matanya sinis menatap kami. Tak ada sedikit pun ia merasakan penderitaan suaminya apalagi kepedihanku."Maaf ya Yan, di sini Badai sudah memenuhi permintaanmu, menikahi Kinarsih. Urusan dia menceraikan Kinarsih, itu sudah menjadi haknya," ketus ibunya Badai tanpa beban. Bahkan sekarang wajahnya terlihat lebih santai daripada saat aku akan dinikahi. Sungguh hitamnya hati manusia."Lalu dengan seenaknya dia menceraikan keponakanku setelah akad dalam hitungan jam?! Kalian keterluan! Tak punya perasaan!"Wak Yanto melempar Badai dengan air gelas mineral yang tersusun rapi di depannya. Melempari berkali-kali hingga air gelas mineral itu hampir habis. Beberapa pecah dan menyemburkan air hingga Badai basah kuyup."Kami tidak pernah menyangka juga Badai akan menceraikan Kinarsih. Itu sudah murni keputusannya. Kita kan tidak bisa memaksa anak kami mencintai Kinarsih," sambut ayah badai yang berkumis tebal itu."Kinarsih sedang meng---. Astagfirullah ya Allah ... astagfirullah ...."Wak Yanto tersendat lalu terus berdzikir, mengelus dadanya. Sesekali ia memegangi perutnya. Pasti ia sangat merasa kepedihan yang mendalam. Aku hanya bisa terus menangis di sampingnya.Badai yang sedari tadi meringis kesakitan berusaha bangkit."Maafkan saya, Paman. Saya tidak bisa memaksa hati saya. Yang penting saya sudah menikahinya seperti keinginan Paman," ujar Badai takut berani, berlindung di balik punggung ayahnya."Anjing! Tapi tidak begini caranya setan! Kamu semakin menginjak harga diri keluargaku dan kehormatan putriku!"Seolah tak peduli, Badai menatapku. Aku menunjukkan air mataku padanya, mengharapkan hatinya iba padaku. Aku masih berharap dia meminta maaf, meski tidak padaku tapi pada pamannya."Maafkan aku Kinarsih, aku tidak bisa terus mencintaimu," ucapnya parau."Tidak, Badai! Jangan ceraikan aku! Bagaimana dengan ...."Aku tercekat, tak mampu meneruskan ucapanku. Hanya air mataku yang terus jatuh tanpa jeda hingga membuatku tersendat-sendat."Kita sampai di sini saja. Jangan cari aku lagi. Kamu bukan siapa-siapa bagiku," ujar Badai tanpa beban. Sekarang ia sedang melangkah keluar tanpa sekali pun sudi menoleh.Aku langsung lemas. Tak ada tenagaku meski hanya sekedar menarik nafas. Ini hantaman yang sangat luar biasa memporak-porandakkan hatiku. Melihat ayah dari janinku menjauh yang diikuti kedua orang tua dan saudaranya, jantungku seperti menyusut. Mereka sama sekali tidak menatapku apalagi menenangkanku. Aku mengerti sekarang, betapa busuknya keluarga itu.Wak Yanto dibawa masuk ke dalam kamarnya. Ia dipapah oleh sahabat-sahabatnya yang ikut menyaksikan pernikahan yang mungkin hanya aku yang mengalaminya sepanjang sejarah hidup mereka. Dinikahi lalu diceraikan di waktu yang sama. Sungguh kemalangan apa lagi yang tidak aku rasakan?"Masuklah ke kamarmu, Kinarsih. Kamu janda sekarang, jaga sikapmu," sinis istri pamanku meninggalkanku. Suaranya berlalu begitu saja.Aku masih mematung, seolah malam ini seperti mimpi terburuk. Bagaimana bisa laki-laki yang kuyakin menjadi pelabuhan terakhirku memperlakukanku sekejam ini? Ini sangat kejam. Lebih baik dia tidak menikahiku daripada diangkat seperti ratu, dijanjikan harapan lalu dibuang tercampakkan seperti ini."Badai ... mengapa kamu setega ini?" lirihku sendirian dalam gelapnya kamarku.Aku merasa lebih nyaman tanpa penerangan. Amat pekat seperti kehidupanku yang tak bertuah. Yatim saat usia tujuh tahun dan hidup dalam kemiskinan bersama sosok ibu selama sepuluh tahun. Genap tujuh belas tahun, aku kehilangan ibuku untuk selamanya. Di usia yang dinantikan para remaja karena begitu manis namun bagiku adalah awal dari lengkapnya kesengsaraan hidupku. Lalu sejak menjadi yatim piatu, aku harus tinggal bersama uwakku, kakak laki-laki dari ayahku.Hidup rupanya makin tidak bertuah karena di sini, aku tidak diterima oleh istri dan anaknya. Aku seperti menjadi alas kaki, benar-benar tidak dihargai. Menjadi pembantu rasanya lebih bernilai karena mereka tidak hanya memanfaatkan tenagaku, tapi juga mengoyak-ngoyak rasa percaya diriku sebagai manusia yang merdeka."Ibu ... Bapak ...!!!"Aku terus memanggil kedua orang tuaku. Tangisku tak terhenti. Aku meraung, meratap dan memukul diriku sendiri. Beberapa kali kutemukan diriku tersadar seolah bangun dari tidurku. Lalu aku kembali mengingat aroma parfum yang kusukai, terakhir pergi meninggalkan kepingan hatiku yang remuk redam tak bersisa lagi. Aku terus menangis hingga aku tidak mengingat apa-apa lagi."Itu murni hasil menulis, Bi. Bukan jual sawah Bapak," ulang Kinarsih menegaskan. "Ap-apa dengan menulis bisa dapat segini?" tanya Niah tidak bisa menahan dirinya. Kinarsih mengangguk dengan senyum merekah. Ia rela hasil usaha kerja kerasnya berbulan-bulan, siang malam tak kenal lelah demi membuktikan pada calon ibu mertuanya itu."Tapi itu tidak istan, Bi. Semua berproses," jawab Kinarsih. Niah masih menatap buku rekening itu. Perlahan matanya terus menelisik jejak uang yang masuk. "Pakailah, Bi untuk bantu-bantu acara. Arsih gak mau, Bibi dan Rian banyak beban lagi. Setidaknya ada yang Arsih bisa lakukan untuk bantu Bibi."Setelah menatap lamat-lamat buku rekening itu, Niah menoleh kepada Kinarsih. "Sekarang katakan, jika seandainya aku lumpuh seperti uwakmu yang sudah meninggal itu, apakah kamu akan merawatku juga?""Pertanyaan itu sepertinya sangat sudah jelas jawabannya, Bi. Kepada istri dari adik bapak saja, yang pernah membuat luka di hati, Arsih masih mau untuk merawatnya k
Badai menyandarkan motornya di bawah pohon mangga. Ia sengaja membawa motor, niatnya mau mengajak Ilham jalan-jalan. Akhir pekan begini, biasanya Kinarsih di rumah Yanto. Mungkin wajah manis mantan istrinya yang dia rindukan sepanjang jalan, bisa sedikit menghilangkan pikirannya yang lelah memulai bisnis dari nol. Bulat tekadnya untuk memperbaiki hidupnya bersama Kinarsih dan anaknya, mungkin Tuhan akan sedikit berbaik hati menyempurnakan hidupnya. Bukankah ada pepatah mengatakan, selama janur kuning belum melengkung, kita boleh menikung? Seharusnya ia masih boleh berharap. Badai tersenyum simpul. Baru saja Badai turun, riuh rendah suara beberapa orang dari dalam terdengar. Dia pun baru sadar, di teras rumah terpasang beberapa bunga hias buatan melingkari sisi-sisi tiang. Di langit-langit teras tergantung hiasan bunga-bunga putih seperti kumpulan melati melambai-lambai jatuh. Cantik.Badai mengernyitkan kening heran.Ia pun masuk, tanpa salam. Didapatinya beberapa orang yang tak dike
Niah menghela nafasnya berat. Mencoba menenangkan hatinya. Ini demi putranya, dia harus mengalah. Dilihatnya sekeliling, tampak daun mangga kering yang berguguran menutupi halaman. Ia melangkah terus. Keputusan sudah bulat."Assalamualaikum!" salamnya dengan yakin. Tak ada sahutan jawaban. Ia mencoba sekali lagi. Terbukalah pintu rumah yang terasnya berdinding keramik biru."Waalaikumussalam," jawab seorang lelaki tua. Siapa lagi kalau bukan Yanto. Dahinya mengernyit, heran, siapakah wanita berhijab lebar di depannya ini?"Saya Niah, ibunya Rian," tanggap Niah mengerti keheranan pemilik rumah."Ooh ... ayo silakan masuk, Bu. Maaf berantakan," ucap Yanto sedikit kaku. Hatinya penuh tanda tanya, mengapa sampai ibunya Rian datang? Ia was-was, akan ada perdebatan di rumahnya. Yanto mencoba mencair."Terimakasih." Niah masuk dan duduk di sofa merah, "Kinarsih ada di sini kan?" lanjutnya lagi."Nggih, Bu. Kebetulan sudah dua
Enam bulan kemudian ....Rumah hijau itu lenggang. Tanah kering yang ditiup angin membawa debu masuk sebab jendela-jendela terbuka lebar. Sayup-sayup suara isak wanita terdengar dari dalam bilik kamar."Jangan terlalu keras terhadap keputusan anakmu. Dia sudah dewasa. Usianya bukan remaja lagi. Sudah saatnya dia menikah dengan pilihannya. Apakah kamu bisa menjamin, jika bersama dengan wanita lain, dia akan bahagia? Apa kebahagiaannya tidak menjadi perioritasmu, Niah?" Kamal mendekati istrinya dengan lembut. Dibelainya rambut panjang yang sudah beruban itu. Tangannya yang lain mengusap bahu Niah untuk menyalurkan ketenangan. "Aku tidak memaksa pilihanku, Bang. Aku hanya tidak mau, Kinarsih menjadi menantuku. Masih banyak wanita lain yang jauh lebih baik. Kukira selama ini dia sudah melupakan wanita itu, nyatanya mereka culas! Hiks hiks hiks." Niah sesugukan. Sedari tadi ia tak berhenti menangisi keputusan Rian yang tak masuk di akalnya. Secara tiba-tiba, pemuda itu menyampaikan keing
Ana melangsungkan pernikahan dengan sederhana di mushola yang tak jauh dari tempat tinggal mereka. Setelah akad berlangsung, dilanjutkan acara makan bersama. Kinarsih dan Marni sibuk mempersiapkan semuanya. Banyak warga yang membantu juga karena Yanto adalah orang yang sangat dekat dengan masyarakat sebab dia dulu sebagai mantan kepala desa. Meski banyak yang bertanya dan heran mengapa sampai Ana mau menikah dengan pria yang bukan sarjana dan sebagai peternak yang baru merintis, Yanto sama sekali tidak menjadikannya bahan pikiran. Ia hanya meminta doa dari para warga yang masih bertanya-tanya."Namanya jodoh, sudah seperti ini. Doakan saja nanti Ana bisa jadi istri yang baik dan mereka sejahtera," tanggap Yanto tenang. Yang penting baginya, ada yang mau menerima kondisi Ana saat ini. Setidaknya setitik ada cahaya harapan, aib itu tidak terbongkar secara gamblang. Setelah acara selesai, Ana langsung diboyong ke rumah suaminya. Haryanto dan Erni melepas putrinya dengan rasa haru dan ikh
Ana langsung meraih tubuh Kinarsih. Ia langsung mengangkat wajah kakak sepupunya itu dan memeluknya. "Arsih! Bangun woy!!! Apa yang barusan kamu lakukan?!" teriak Ana. Suara motor berderum kencang meninggalkan mereka. Keempat pria itu sudah tak terlihat. Ana menangis histris karena Kinarsih tak bersuara dan menutup matanya. "Ba-bawa ke puskesmas aja, Mbak! Gak terlalu jauh dari sini.""Ii-iya, Mas." Pria penyabit itu nampak masih muda. Ana menoleh kiri kanan dan melihat motor Kinarsih. "Masnya bisa bantu gonceng?""Iya, bisa Mbak!" jawab pria itu cepat. Mereka langsung mengangkat tubuh Kinarsih, membawanya naik ke motor. Ana memeluk Kinasih dari belakang."Bertahanlah Kinarsih, aku mohon!"Ana memandang wajah Kinasih yang memucat. Rasa bersalah semakin pekat dan bergelayut kuat dari dalam hatinya. Luar biasa pengorbanan Kinasih untuk dirinya, sampai-sampai wanita itu tidak memperdulikan nyawanya sendiri."Mengapa kamu sebodoh ini, hah?! Kinarsih kamu harus bertahan karena aku belum
Sore itu Kinarsih mondar-mandir di ruang tamu. Bahkan beberapa telepon dan pesan dari Rian tidak dia indahkan karena rasa khawatirnya terhadap Ana. Biar bagaimana pun anak adalah sepupunya. Dulu saat mereka masih kecil seusia SD, mereka sempat dekat. Namun Ana selalu mendapatkan hasutan dari Erni sehingga gadis itu menjadi sangat tidak bersahabat. "Kamu sedang menunggu siapa?" tanya Yanto. "Bukan siapa-siapa, Wak.""Kamu mau pulang?"Kinarsih menggeleng. Tak sampai hatinya untuk meninggalkan Erni yang semakin memburuk. Lebih-lebih, wanita itu sudah meminta maaf berkali-kali. Yanto juga sering keluar tinggalkan rumah jika ada kerjaan dari kantor desa yang membutuhkan tenaganya."Kenapa kamu tampak gelisah begitu?" tanya Yanto. Kinasih menoleh kepada uwaknya itu dengan tatapan sayu. "Tak tenang hati ini memikirkan Ana, Wak. Satu minggu bukanlah waktu yang sedikit.""Biarkan saja dia. Nanti kalau uangnya sudah habis, dia pasti pulang. Aku yakin dia sudah menjual perhiasan itu dan tin
"Tidaak!!!! Kau kira aku barang murahan! Seenaknya kau tawarkan begitu. Aku hanya inginkan Rian. Rian cinta pertamaku. Yakinlah Rian, aku sungguh mencintaimu. Huhuhuhu ...," tangis Ana tak mau Rian melepaskan pelukannya walau Rian sudah memberi isyarat kuat."Kau mengagungkan cinta pertama. Tanyakan Rian, siapa cinta pertamanya?" tantang Kinarsih percaya diri. Diabaikannya Badai yang sedari tadi menatapnya tajam. Ana tak mau bicara. Hanya isaknya saja yang jelas terdengar."Kinarsih cinta pertamaku dan terakhirku, An. Aku akan berjuang untuknya. Tolong lepaskan aku." Rian mencoba lagi. Kali ini dengan sedikit kekuatannya. Namun ia gagal. Ana semakin mengeratkan pelukannya. Jika ia memaksa, takut gadis ini semakin nelangsa. Rian kembali pasrah.Kinarsih mendekati mereka. Memegang kasar bahu Ana lalu menariknya."Lepaskan!" Ana tersungkur ke lantai."Janda setaaaan! Beraninya kamu kasar kepadaku!!!"Ana mengamuk, mencoba menerkam Kinarsih. Rian menangkap tangannya, menghempaskannya lalu
"Aaaa-aarsih," panggil Erni dengan suara yang sangat payah. Kinarsih menoleh, tanpa menjawab. Itu pun dia kembali merapikan kain yang dipakai Erni. Mood Kinarsih sedang buruk. "Mmma-mmaaafkan aak-ku," ucapnya terbata. Kinarsih tak menjawab, terus saja dia membersihkan debu dan pasir yang di sprei itu. Entah darimana datangnya."Kkaaau maau kan?"Kembali Erni mencari jawaban dari mulut Kinarsih. Namun wanita muda itu sungguh enggan untuk berbicara sepatah kata pun padanya. Erni menyerah. Ujung matanya meneteskan air mata dan dia pun tak mampu mengusapnya.Hari berikutnya .... "Ma-aafkan a-aku," suara Erni tersendat namun jelas di telinga Kinarsih yang sedang mengelap tubuhnya. Ia mencoba menatap wajah wanita muda yang dia benci sejak kecilnya, sampai dimana ia sendiri mendengar pengakuan menjijikan putrinya sendiri. Justru, yang dibenci yang berbakti. Sungguh sangat memalukan. Yang disayang-sayang, dimanja-manja, jangankan sudi merawat j
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments