“Iyalah, Sel. Mau siapa lagi? Riyani ‘kan ngomongnya sama kamu,” celutuk Satrio dengan santainya. Syukur-syukur Riyani tidak meminta bantuannya karena jujur, Satrio sedikit tidak nyaman berada di lingkungan formal militer.
Selina langsung merengut masam. Ucapan Satrio malah semakin membuat moodnya buruk. “Aku nggak bisa, Ri,” tolak Selina tanpa pikir panjang. “Ada alasan aku nggak bisa ke sana... Tapi, maaf aku nggak bisa cerita...”
Bahu Riyani sontak merosot lesu. Ia melirik Satrio yang memasang tampang ngeri. Karena jika Selina menolak, itu artinya Satrio-lah yang harus melakukannya. “Sat, boleh lah, ya? Sekali-kali ajalah ke batalyon. Enggak setiap hari juga.”
Satrio garuk-garuk kepala. “Masalahnya minggu ini aku juga full liputan ikut timnya Bang Rozi.”
“Yah...” Riyani menunduk dalam-dalam. “Emang, kayaknya aku harus minta izin dokter deh buat keluar RS. Minimal besok biar bisa istirahat di rumah sementara beberapa hari.”
“Jangan maksain diri kali, Ri. Entar kondisi kamu drop lagi