"Minimal jadi bidan atau sarjana lah, baru Abang mau nikah sama kamu, Dek. Kalau cuma lulusan SMA kayak kamu gini, maaf-maaf aja, Dek. Kita nggak setara. Aku ini tentara, loh." Nilam sangat mencintai Indra, seorang tentara yang ia kenal sejak kecil. Ia berjuang keras agar bisa setara dengan pria itu dan menikah dengannya. Namun, saat ia berhasil menjadi seorang sarjana, Indra malah melamar wanita lain yang merupakan anak dari majikan ibunya. Hati Nilam hancur berkeping-keping. Apalagi Indra juga menghinanya dan meninggalkan luka mendalam. Lalu, tiba-tiba ibunya menjodohkan Nilam dengan seorang tentara berstatus duda anak satu yang bernama Galih Samudra. Awalnya Nilam menolak. Namun, begitu tahu pria itu adalah seorang Komandan Batalyon di Kesatuan tempat Indra berdinas, Nilam langsung menerimanya tanpa syarat. Ia bertekad akan membalas dendam atas penghinaan Indra padanya. Bagaimanakah kisah Nilam selanjutnya? Selengkapnya baca sampai tuntas di sini.
View More"Minimal jadi bidan atau sarjana lah, baru Abang mau nikah sama kamu, Dek. Kalau cuma lulusan SMA kayak kamu gini, maaf-maaf aja, Dek. Kita nggak setara. Aku ini tentara, loh."
Kata-kata itulah yang selalu diingat Nilam dalam hidupnya. Kata-kata yang memotivasi dirinya hingga akhirnya lulus menjadi Sarjana muda di usianya yang baru 22 Tahun. Ia mengambil jurusan bahasa Inggris di universitas ternama dengan jalur beasiswa. Berkat kegigihannya, ia lulus dengan gelar cumlaude. Nilam bukan berasal dari keluarga mampu, ia berasal dari keluarga miskin yang ayah dan ibunya bekerja menjadi seorang pembantu dan supir di rumah keluarga kaya raya. "Aku yakin, Bang Indra mau nerima aku sekarang," ucapnya percaya diri. Ia sudah membayangkan akan menikah dengan pria impiannya dan menjadi Cinderella di prosesi sangkur pora mereka nanti. Pria itu bernama Indra Sanjaya, seorang tentara berpangkat Sersan satu yang saat ini bertugas menjadi Caraka/Ajudan yang membantu Pak Danyon (Komandan Batalyon) di kesatuan tempatnya berdinas. Indra dan Nilam tinggal di satu kampung yang sama. Sejak kecil, pria itu selalu memberi harapan padanya kalau akan menikahi Nilam ketika dewasa nanti. Maka dari itu, saat Nilam lulus SMA, dia menanyakan hal tersebut kepada Indra. Sayangnya, kala itu Indra yang baru dilantik jadi tentara, malah menjawab kalau dirinya hanya akan menikahi Nilam jika wanita itu sudah memiliki gelar atau profesi. Karena katanya, dia ingin menikah dengan wanita yang setara dengannya. Nilam tidak tersinggung, ia justru makin semangat untuk melanjutkan pendidikannya. Meskipun saat itu ia juga kebingungan dari mana biayanya karena orang tuanya bukanlah keluarga mampu. Tetapi, seakan ia diberi keberuntungan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa, Nilam dikabari oleh gurunya kalau ia mendapatkan beasiswa dari universitas ternama. Meskipun harus hidup merantau dan jauh dari orang tuanya karena universitas itu berada di luar kota, Nilam tetap mengambil beasiswa itu demi menjadi seorang sarjana dan memiliki gelar seperti yang diinginkan Indra. Perjuangannya di kota orang tidaklah mudah, Nilam harus bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhannya yang tidak ditanggung oleh beasiswa itu. Apalagi ayahnya juga sudah berhenti menjadi supir karena sakit-sakitan. Hanya ibunya lah yang menjadi tulang punggung keluarga mereka. Dreett Dreett Ponsel Nilam tiba-tiba berdering nyaring. Nilam mengambilnya dari dalam tasnya. Rupanya ada panggilan dari sang Ibu. Nilam pikir, ibunya ingin mengucapkan selamat atas kelulusan wisudanya karena memang beliau tidak bisa hadir dikarenakan harus menjaga ayahnya yang sedang sakit. "Hallo, Bu?" "Mbak Nilam..." Terdengar suara isakan dari sebrang telfon. Itu bukanlah suara ibunya. Melainkan suara Tiana, sepupunya. "Ti, ada apa? Kok kamu yang angkat?" Nilam mulai merasa cemas. "Mbak..." Tiana malah menangis. Perasaan Nilam menjadi semakin berkecamuk. "Ada apa, Ti? Kok kamu telfon pake nomer ibuku? Ibuku baik-baik aja 'kan?" "Bude baik Mbak, tapi Pakde...." Nilam membelalak. Jantungnya berdebar kencang. Ia merasakan firasat yang tidak bagus. "Bapakku kenapa, Ti?" tanya Nilam dengan suara bergetar. "Pakde meninggal, Mbak." Deg! Tubuh Nilam seketika lemas hingga terduduk ke lantai. Dunianya seakan runtuh saat itu juga. Nilam memandangi ijazah wisudanya yang masih ia pegang. Hatinya berdenyut begitu nyeri. Senyum di bibirnya tersimpul, tetapi matanya terus menangis. Ia meraih mimpinya, tetapi di waktu yang sama, ia kehilangan orang yang disayanginya. “Bapak....” panggilnya lirih. * Setelah kematian ayahnya. Nilam masih belum memutuskan apa yang akan ia lakukan kedepannya. Rasanya separuh hidupnya ikut dibawa pergi oleh sang Ayah. Nilam kehilangan semangat hidup. Sore itu, ketika Nilam memandangi rintik hujan gerimis dari balik jendela kamarnya, ia mendengar suara ketukan pintu dari pintu depan. Nilam buru-buru keluar dari kamarnya untuk membukakan pintu. Ternyata itu adalah ibunya yang baru pulang bekerja. Memang, belum ada empat puluh hari ayahnya meninggal, tetapi sang ibu harus kembali bekerja. Bosnya tidak mengizinkan ibunya libur lama-lama. “Ibu, sudah pulang? Mau minum dulu?” tawar Nilam. Membantu sang Ibu duduk di atas kursi, sementara ia mengambil air minum di dapur dan memberikannya pada Ibunya. Ia melihat wajah Ibunya lamat. Sepertinya wanita itu terlihat kelelahan, tubuhnya pun sudah mulai lemah. Tangannya yang keriput dan kasar sampai gemetar memegangi gelas di tangannya. Nilam mendekat dan duduk di depan ibunya sambil meraih tangannya. “Bu?” panggilnya lembut. Ibunya mendongak. “Mulai sekarang, biar Nilam aja yang kerja, ya, buat gantiin Ibu. Jadi Ibu nggak usah kerja lagi. Ibu istirahat aja di rumah.” Ibunya kaget. “Maksudnya?” Nilam tersenyum. “Biar Nilam aja yang kerja di sana untuk sementara.” “Jangan, Lam. Kamu itu sudah sarjana, mana mungkin ibu membiarkan kamu bekerja jadi pembantu. Kamu bisa cari kerjaan yang lebih baik, Nak.” Nilam tersenyum. “Opo to hubungannya gelar sarjana sama jadi pembantu, Bu? Kerjaan apa aja yang penting kan halal.” Ia berusaha meyakinkan ibunya. Namun, sang ibu masih terlihat ragu. “Nilam benar-benar nggak apa-apa, Bu. Lagipula, Ibu pasti masih terpukul sama kepergian Bapak. Jadi, sebaiknya Ibu istirahat aja di rumah. Nilam yang akan gantiin, untuk sementara aja kok Bu sampai Nilam dapat pekerjaan yang lain. Ya?” "Tapi Lam, Ibu nggak mau ngerepotin kamu, Nak." Nilam menggeleng. “Ibu enggak pernah merepotkan Nilam sama sekali.” Ibu Nilam masih kelihatan berat mengizinkan Nilam menggantikannya bekerja. "Boleh ya, Bu?" Nilam terus memohon. Akhirnya sang ibu luluh. Nilam tersenyum, lalu memeluk ibunya erat. Nilam sudah kehilangan ayahnya, ia tidak ingin ibunya bekerja terlalu keras di usianya yang sudah menginjak angka enam puluh tahun itu. Nilam ingin ibunya terus sehat dan bahagia di masa tuanya. * Keesokan harinya, Nilam mulai bekerja di rumah Nyonya Mona, majikan ibunya yang ada di desa sebelah. Nilam menjelaskan kondisi ibunya kepada Nyonya Mona. Beliau tidak masalah yang penting ada yang tetap bekerja. “Kamu sudah biasa bersih-bersih, ‘kan?” tanya Nyonya Mona. Nilam tersenyum. “Iya, Nyonya.” “Ya sudah, kalau begitu kamu buruan bersihkan seluruh rumah, jangan lupa juga dirapihkan. Nanti sore, ada calon suami anak saya yang mau datang. Yang bagian masak Mbok Dasimah, tapi kamu bantuin juga ya nanti, soalnya hari ini masak banyak karena ada tamu.” Nilam mengangguk. “Baik, Nyonya.” Nilam pun langsung bekerja. Hari itu, pekerjaannya lumayan banyak. Dia membersihkan rumah besar itu sendirian dari mulai mengelap perabotan rumah, menyapu, mengepel, dan juga menata semua perabotan yang ada supaya lebih rapi. Untungnya, Nilam sudah biasa bersih-bersih, jadi dia pun tidak merasa terlalu kewalahan. Menjelang sore, semua pekerjaan Nilam sudah selesai. Rumah sudah kinclong dan rapi. Ia juga tadi membantu Mbok Dasimah sedikit untuk memotong-motong bahan masakan, jadi ia menemui Nyonya Mona untuk pamit. “Nyonya, semua sudah saya kerjakan. Saya mau pamit pulang dulu.” Nyonya Mona mengernyit. “Kok pulang? ‘Kan sudah saya bilang kalau hari ini calon suami anak saya mau datang. Jadi, kamu di sini dulu saja sampai acaranya selesai. Nanti setelah acara ‘kan kamu harus beres-beres lagi. Setelah itu, baru kamu boleh pulang.” Nilam mengangguk patuh. “Oh, begitu. Baik, Nya.” Akhirnya, Nilam pun ke dapur untuk membantu menyiapkan semua suguhan yang akan disajikan untuk calon suami anak Nyonya Mona beserta keluarganya. Makanan yang disiapkan Mbok Dasimah sudah siap semua, paling-paling hanya tinggal menata saja dan mengantar ke depan nanti. Sekitar pukul tiga sore, rombongan keluarga calon suami anak Nyonya Mona datang. Sellina—anak Nyonya Mona juga sudah berdandan amat cantik dan siap menyambut mereka. Ruang tamu terdengar ramai. Nyonya Mona kelihatan antusias sekali menyambut calon menantu dan besannya. Lalu, Nilam yang diam di dapur menunggu komando selanjutnya dihampiri oleh Mbok Dasimah yang tergesa-gesa. “Lam, bawakan minuman sama gelasnya. Di depan ternyata kurang. Buruan ya, sudah ditunggu sama Nyonya dan tamu-tamu yang lain.” Nilam mengangguk dan langsung sigap membawa teko berisi minuman dan beberapa gelas bersih untuk dibawa ke depan. Perlahan, langkah kakinya semakin dekat. Namun, tiba-tiba tatapan matanya berhenti pada sosok pria yang sedang mengobrol dan saling tatap dengan Selina. Jantung Nilam seketika berdetak dengan keras, tubuhnya membeku di tempat. Prang!!! Nampan yang ia bawa di tangannya seketika jatuh. Membuat gelas-gelas itu pecah berserakan ke lantai. Semua mata menatap ke arahnya. Bibir Nilam bergetar menyebut nama pria itu. “B-bang, Indra...”PANGERAN 6:Ara menyusul Dipta ke kamar mereka. Ketika dia berdiri pintu, Dipta terlihat sedang mengganti pakaian dengan wajah masam. Ara tidak mengerti apa hal yang sedang suaminya pikirkan. Bukti-bukti yang terkumpul sudah jelas jika Dipta memiliki wanita lain di belakangnya, tapi Ara masih belum berani untuk membahas masalah ini dengan pria itu.“Mas Dipta,” panggil Ara sembari menghampiri Dipta.Dipta menoleh, melihat istrinya entah kenapa membuat dirinya lebih lelah. “Ada apa, Ara?”“Kamu nggak butuh apa-apa? Dibutain kopi atau teh?”“Aku nggak butuh apapun,” jawab Dipta singat.Ara mendesah. “Gimana kalau makan siang? Kamu baru pulang ‘kan, Mas. Aku bisa masakin sesuatu yang cepet biar kamu nggak nunggu lama.”“Nggak perlu. Aku udah makan di jalan tadi. Aku cuma ingin istirahat aja sekarang.”Ara memperhatikan suaminya berjalan gontai menuju kasur. Tubuh pria itu langsung merosot di pinggir kasur sebelum berbaring memunggunginya. Ara menggigit bibir bawahnya, menahan diri supaya
Selama beberapa saat, Astuti membiarkan ponselnya terus berdering. Ia tidak ingin berbicara dengan Dipta saat ini. Apalagi fakta bahwa pria itu telah menyembunyikan sesuatu sepenting itu darinya membuat Astuti merasa dibohongi. Astuti mengatur ponselnya dalam mode hening agar nada deringnya tidak mengganggu istirahat sang ibu. Namum, semakin lama dia mengabaikan Dipta, semakin gelisah juga hatinya. Astuti ingin bertanya mengenai kebenaran pernikahan Dipta, tetapi Astuti langsung teringat pada ancaman Tama yang langsung membuatnya merinding.Asuti benar-benar tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan.“Mbak Tuti, hpnya kedip-kedip tuh. Kayaknya ada telepon deh,” celutuk adik Astuti tiba-tiba, menyadari ponsel kakaknya terus-menerus menyala di karpet.Astuti terkesiap. Adiknya yang sedang memijat kaki ibunya menyadari panggilan Dipta. Astuti segera membalik ponselnya dan meneguk ludah. “Iya, ada telepon, tapi nggak penting kok.”“Tuti, kalau kamu ada yang nelpon mending diangkat, Nak,”
“A-apa!?”Napas Astuti tercekat mendengar bisikan Tama di telinganya. Matanya membola sempurna, sama sekali tak menyangka jika Tama akan mengatakan sesuatu yang tak sopan. Astuti mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Tama mungkin sudah membantunya, tetapi pria itu tidak berhak meminta hal sehina itu darinya.“Maksud kamu apa, Mas?” sergah Astuti cepat. Ia harus memelankan suaranya atau percakapan mereka akan terdengar oleh orang lain yang berlalu-lalang di koridor rumah sakit. “Kamu pikir saya wanita murahan yang akan menuruti semua permintaan kamu hanya demi uang?”“Ya, kamu memang wanita murahan, kan? Bagaimana lagi saya menyebutnya?” Tama menarik pergelangan tangan Astuti semakin dekat. “Jangan sok lugu kamu, Astuti. Kamu kira saya nggak tahu wanita macam apa kamu ini, hah?”Astuti benar-benar tidak memahami ucapan Tama. Pertama, pria itu membantunya dan bahkan terkesan memaksanya menerima uang itu. Astuti akhirnya setuju setelah pertimbangan yang singkat, berpikir Tama benar-benar pem
Mata Tama bergetar melihat sosok wanita di ponsel Ara. Rasanya, baru beberapa jam yang lalu ia berbicara dengan wanita itu, tetapi sekarang Tama mendapati kenyataan jika wanita itu adalah simpanan iparnya. Tama menatap Ara yang masih terguncang dengan perselingkuhan Dipta. Tama menurunkan tangan Ara dan meremas lembut pundaknya.“Mbak minum dulu, ya. Emosi Mbak Ara belum stabil. Duduk di sini. Aku ambilin air,” ucap Tama. Ara mengangguk pasrah. Ia membiarkan Tama membimbingnya duduk di kursi terdekat. Kepalanya tertunduk pada lantai dan semakin lama Ara memandangi foto itu, semakin hancur pula hatinya. Suaminya dekat dengan perempuan lain, yang notabennya mahasiswa di kampus tempatnya bekerja. Mereka terlihat sangat dekat dalam momen yang ditangkap foto itu.Tama kembali sekitar lima menit kemudian dari dapur. Pria itu membawa segelas air sebelum duduk di samping Ara.“Minum pelan-pelan, Mbak. Hati-hati tersedak.”Tama membantu Ara minum dari bibir gelas secara perlahan. Setelah meng
Astuti dan semua yang ada di sana kaget. Tapi Tama justru menyeringai tipis melihat Prita dan ibunya membelalak seperti itu. Masalahnya, ibu Prita menawarkan Tama untuk menikahi Astuti bukan dengan cara yang tulus. Justru ia sedang mengejek Tama. Astuti adalah anak pembantunya, itu artinya level Tama hanya sampai di situ. Ia lebih pantas menikahi wanita yang selevel pembantu seperti Astuti ketimbang Prita yang sudah menjadi pramugari. Sementara itu, Tama sendiri langsung menghampiri Astuti yang terdiam membeku dengan raut bingung. Ia tidak tahu harus bereaksi apa bahkan ketika Tama mendekatinya dan mengulas senyum tipis kepadanya. “Astuti ‘kan? Ibu kamu sakit dan butuh uang? Mau saya bantu?”Astuti mendongak dan beradu tatap dengan Tama. “A-ah… Saya… itu…”Ibu Prita mengurut pelipisnya sendiri yang mendadak pening. “Udah sana kalian pergi ajalah dari sini. Rumah saya bukan tempat untuk memadu kasih kaum-kaum kelas bawah kayak kalian. Hus!”Astuti menunduk dalam-dalam. Mendengar ucap
"Cuman 50 juta? Yang bener aja kamu, anak saya ini seorang pramugari lho, bukan tukang jualan seblak!""Nih, ambil mahar kamu! Saya nggak terima uang recehan begitu. Kalau kamu mau nikahin anak saya, minimal kasih 1M lah. Tapi kalau dilihat-lihat dari pangkat kamu yang cuma pratu, aduh-aduh... saya yakin seribu persen, 100 juta aja kamu gak akan sanggup. Belum lagi nanti kalau sudah menikah, mau dikasih makan apa anak saya? Nasi sama garam?"Ucapan pedas itu terlontar dari wanita paruh baya yang begitu sombong menolak lamaran Tama, seorang tentara yang sedang melamar kekasihnya, Prita. Ia ditolak mentah-mentah hanya karena menyerahkan uang sebesar 50 juta untuk mahar pernikahannya dengan sang kekasih.Tama menatap kekasihnya yang justru malah memalingkan wajah."Prita, kamu nggak mau terima mahar dariku?" tanyanya.Gadis itu menatap jengkel ke arah Tama."Kan aku udah bilang, kamu jangan datang ke rumahku kalau cuma bawa 50 juta Mas. Ya orang tuaku gak bakal setuju lah!""Aku hanya ma
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments