Satu hari sebelumnya.
Sindy berjalan mendekati pintu rumah besar milik Kakek Luhan. Dia mengetuknya dengan lembut, tangannya gemetar dan suaranya serak karena menangis di perjalanan. Pintu itu terbuka dan muncul sosok Kakek Luhan yang tampak terkejut melihat keadaan Sindy.
"Sindy, kamu?"
"Kakek... saya ke sini karena mencari Dony. Saya mohon, beritahu saya di mana Dony?" ucap Sindy dengan suara yang hampir tak terdengar.
Kakek Luhan, yang pada awalnya hanya bingung, kini melihat kesedihan yang mendalam di mata Sindy. "Tidak. Maaf Sindy. Aku tak bisa memberitahukan di mana Dony."
"Kakek, ada hal yang sangat penting untuk aku bicarakan dengan Dony. Aku ... hiks, hiks."
Perlahan, Sindy mulai bersujud di depan Luhan, tangannya terulur memohon, "Tolong, Kakek. Saya harus bertemu dengan dia."
Kakek Luhan, yang hatinya luluh melihat penderitaan gadis itu, akhirnya menghela napas panjang. "Baiklah, Sindy. Dony ada di sebuah pondok terpencil di utara sini. Tempat yang sangat jauh dan tersembun
