Narasi Nadia:
Hari-hari setelah sidang itu tak langsung membawa lega. Justru sebaliknya: sepi terasa menggema lebih kencang. Meski suara publik memihak, dan putusan sidang sudah diumumkan, aku masih harus berjuang menata puing yang tersisa.
Kampus tetap jadi tempat yang harus kulewati. Tapi kali ini, aku berjalan dengan kepala tegak. Bukan karena aku tak lagi takut, tapi karena aku tak mau terus dihantui oleh rasa malu yang bukan berasal dari kesalahanku.
Di depan ruang BEM, aku bertemu Ardi.
"Nad," sapanya hati-hati. "Gue denger putusan dekanat bakal dikawal langsung ke ranah hukum juga. Ada dosen yang ngelaporin kasus lo ke LPSK, lo tahu?"
Aku terkejut. "Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban?"
Ardi mengangguk. "Bu Mirna yang inisiatif. Katanya lo butuh perlindungan formal buat data dan ruang aman digital lo. Mereka juga bisa bantu kalau ada gugatan balik dari Reza."
Aku nyaris menangis. "Gue... nggak tahu harus bilang apa."
"Lo cukup bertahan, Nad. Sisanya, kita bantu."
Nara