Home / Romansa / Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan / Bab 16 : Semua Terbongkar, Tapi Tak Semua Didengar

Share

Bab 16 : Semua Terbongkar, Tapi Tak Semua Didengar

Author: Pandandut
last update Last Updated: 2025-06-25 10:58:34
Kampus bukan lagi tempat yang terasa aman. Setiap lorong seolah penuh bayangan. Setiap tatapan mengiris. Beberapa teman lama hanya menunduk saat berpapasan, tak berani menyapaku. Yang lain berpura-pura tak mengenal, menyingkir seperti aku membawa penyakit. Namun, yang lebih melukai adalah yang tersenyum sinis seolah tahu seluruh ceritaku tanpa pernah duduk bersamaku, mendengar langsung suaraku.

Setelah artikel di "Suara Kita" tayang, hidupku seperti diputar dari kaset yang berbeda. Bukan lagi tentang kuliah, atau lomba, atau organisasi. Tapi tentang bertahan hidup.

Hari Sidang Etik

Ruangan itu dingin. Bukan karena AC, tapi karena atmosfernya. Aku duduk di kursi tengah, diapit oleh Rina dan Dimas. Di seberangku duduk Reza, dengan setelan formal dan tatapan penuh percaya diri. Di sisi kanannya, duduk seorang pria berjas gelap pengacaranya.

Komisi Etik Mahasiswa duduk memanjang, lima orang: tiga dosen, satu perwakilan BEM, dan satu staf akademik. Di belakangku, Ardi duduk sebagai pema
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 21 : Yang Kembali dari Masa Lalu

    Sudah seminggu sejak sidang kedua. Tapi hatiku belum sepenuhnya tenang. Bukan karena Reza. Dia sudah kutanggalkan dari pikiranku. Tapi karena sesuatu orang yang datang tiba-tiba di masa yang rapuh ini. Kak Ardi. Dia kembali. Dan kepulangannya membuka kembali luka yang berbeda. Luka yang diam-diam dulu kuciptakan sendiri, dari perasaan tidak layak yang disiram kata-kata orang lain dan kubiarkan tumbuh dalam diam. --- Di Taman Kampus – Pertemuan itu Sore itu, aku duduk di taman kampus yang sepi. Di tanganku, sebuah buku jurnal kecil dan bolpen hitam. Aku sedang menulis bukan untuk siapa-siapa, tapi untukku sendiri. Sampai suara itu muncul. “Aku tahu kamu suka tempat ini dari dulu.” Suaranya menggetarkan kenangan yang sudah lama kupendam. Aku menoleh. Dan benar Kak Ardi berdiri di sana. Kemeja biru, rambutnya sedikit lebih panjang dari terakhir kali kulihat, tapi senyumnya masih sama. Hangat. Aku berdiri perlahan. “Kak Ardi...” “Boleh duduk?” Aku mengangguk. Dia

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 20 : Sudah Selesai, Bukan Berakhir

    Setelah persidangan kedua itu, langkahku terasa berat tapi pasti. Bukan karena aku lelah, melainkan karena aku sedang menapaki jalanku sendiri. Jalan yang selama ini tak pernah kubayangkan harus kulalui ini sendirian, dengan luka dan beban yang tak kasat mata. Tapi aku tidak akan mundur lagi. Aku tahu satu hal: dunia tidak akan pernah memihak secara adil, tapi aku bisa memilih untuk tetap berdiri. --- Beberapa Hari Setelah Sidang Aku duduk di taman belakang kampus. Tempat itu kini sepi. Biasanya ramai oleh mahasiswa yang mencari udara segar atau sekadar menghindari kelas. Tapi sore itu, hanya ada aku dan buku catatanku. Buku baru. Sampulnya abu-abu. Kosong tanpa label. Isinya lembar-lembar kosong yang siap kutulisi, bukan lagi dengan kisah lama, tapi dengan lembar baru kehidupanku. Dimas datang membawa dua gelas kopi. “Gula dua, tanpa krim. Favorit kamu,” katanya sambil menyodorkan gelas kertas itu. Aku menerimanya dengan senyum kecil. “Terima kasih,” gumamku. Suaraku

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 19 : Kebenaran yang Tak Pernah Dicintai

    Hujan turun, samar tapi konsisten. Seperti perasaanku malam itu tidak lagi meledak-ledak, tapi terus mengguyur tanpa henti. Di sela persiapan sidang kedua, aku membuka kembali satu folder lama di laptopku. Folder yang selama ini kututup rapat, yang tak pernah kubuka sejak semua ini meledak. Namanya “Cafe Notes.” Isinya bukan tugas. Tapi catatan kecil, nota digital, screenshot pembayaran, foto-foto makanan semuanya dari masa-masa awal aku dan Reza sering pergi bareng. Semua masih tersimpan, rapi, seperti bukti cinta yang tak ingin dilupakan. Tapi sekarang, aku melihat semuanya dengan mata berbeda. Flashback – Tahun Lalu Saat itu kami baru masuk semester tiga. Aku baru saja kehilangan ayahku karena stroke mendadak, dan hidupku seperti kehilangan arah. Di tengah itu, Reza datang di hidupku, yang katanya ayahnya baru saja bangkrut karena gagal proyek properti. “Gue cuma punya uang saku cukup buat seminggu. Selebihnya...entah ” katanya saat itu, dengan tatapan jatuh. Aku merasa

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 18 : Mereka Ingin Aku Diam, Tapi Aku Memilih Menjadi Suara

    Narasi Nadia: Hari itu gerimis jatuh diam-diam. Tapi pikiranku justru seperti badai. Gugatan balik dari Reza resmi dilayangkan ke pengadilan. Aku menerima surat panggilan melalui email dan salinannya dikirim ke fakultas. Aku harus bersiap untuk menghadapi sidang kali ini bukan di kampus, tapi di Pengadilan Negeri. “Nama lo disebut langsung dalam gugatan. Mereka pakai pasal 27 ayat 3 UU ITE,” jelas Mbak Ajeng, kuasa hukumku. “Tapi tenang, kita bisa lawan. Kasus ini absurd, dan justru membuka ruang untuk memperluas laporan pidana terhadap Reza.” Aku mengangguk, meski jantungku berdetak tak karuan. Kata-kata itu seolah hanya lewat. Kepalaku penuh bayangan. Bayangan kemungkinan terburuk. Bagaimana kalau pengadilan berpihak pada Reza? Bagaimana kalau aku kalah? Bagaimana kalau semua yang sudah kubangun keberanian, suara, dan harapanku hancur lagi? Aku duduk di kamar kosan, memandangi cermin yang retak di ujung lemari. Di sana, wajahku tampak asing. Seperti perempuan lain. Bukan Nadia

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 17 : Setelah Luka, Sebelum Sembuh

    Narasi Nadia: Hari-hari setelah sidang itu tak langsung membawa lega. Justru sebaliknya: sepi terasa menggema lebih kencang. Meski suara publik memihak, dan putusan sidang sudah diumumkan, aku masih harus berjuang menata puing yang tersisa. Kampus tetap jadi tempat yang harus kulewati. Tapi kali ini, aku berjalan dengan kepala tegak. Bukan karena aku tak lagi takut, tapi karena aku tak mau terus dihantui oleh rasa malu yang bukan berasal dari kesalahanku. Di depan ruang BEM, aku bertemu Ardi. "Nad," sapanya hati-hati. "Gue denger putusan dekanat bakal dikawal langsung ke ranah hukum juga. Ada dosen yang ngelaporin kasus lo ke LPSK, lo tahu?" Aku terkejut. "Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban?" Ardi mengangguk. "Bu Mirna yang inisiatif. Katanya lo butuh perlindungan formal buat data dan ruang aman digital lo. Mereka juga bisa bantu kalau ada gugatan balik dari Reza." Aku nyaris menangis. "Gue... nggak tahu harus bilang apa." "Lo cukup bertahan, Nad. Sisanya, kita bantu." Nara

  • Dimanfaatkan, Dihabisi, Ditinggalkan   Bab 16 : Semua Terbongkar, Tapi Tak Semua Didengar

    Kampus bukan lagi tempat yang terasa aman. Setiap lorong seolah penuh bayangan. Setiap tatapan mengiris. Beberapa teman lama hanya menunduk saat berpapasan, tak berani menyapaku. Yang lain berpura-pura tak mengenal, menyingkir seperti aku membawa penyakit. Namun, yang lebih melukai adalah yang tersenyum sinis seolah tahu seluruh ceritaku tanpa pernah duduk bersamaku, mendengar langsung suaraku. Setelah artikel di "Suara Kita" tayang, hidupku seperti diputar dari kaset yang berbeda. Bukan lagi tentang kuliah, atau lomba, atau organisasi. Tapi tentang bertahan hidup. Hari Sidang Etik Ruangan itu dingin. Bukan karena AC, tapi karena atmosfernya. Aku duduk di kursi tengah, diapit oleh Rina dan Dimas. Di seberangku duduk Reza, dengan setelan formal dan tatapan penuh percaya diri. Di sisi kanannya, duduk seorang pria berjas gelap pengacaranya. Komisi Etik Mahasiswa duduk memanjang, lima orang: tiga dosen, satu perwakilan BEM, dan satu staf akademik. Di belakangku, Ardi duduk sebagai pema

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status