Lyrienne duduk di ambang jendela paviliunnya, memandangi bulan yang menggantung redup di langit kelam. Udara malam membawa aroma tanah basah dan kelopak bunga yang layu perlahan. Di pelukannya, selembar selendang tipis yang dulu diberikan oleh tabib istana untuk menghangatkan tubuhnya—tapi malam ini, yang ia butuhkan bukan kehangatan fisik, melainkan kehangatan jiwa yang porak-poranda.
Bayangan Arcelia duduk dengan tenang di taman itu kembali berkelebat.
Bukan amarah, bukan ampunan yang membuat Lyrienne tak bisa berhenti memikirkannya—melainkan cara perempuan itu memilih diam, dan dari diam itu lahir keagungan yang membuat siapa pun ingin menunduk dengan hormat.
"Mengapa dia tidak marah?" pikir Lyrienne.
"Mengapa tak sedikit pun ia menyakitiku, padahal aku tahu… aku telah menyakiti hatinya walau tak berkata kasar?"
Dan di sanalah, Lyrienne sadar… bukan kemarahan yang menaklukkan, tapi keanggunan yang tak diucapkan.
Lyrienne merasa malu karena sudah memaksakan kehendaknya seperti itu.