Warning 21+/Harem Reverse Seorang wanita manusia direbut oleh Kaisar dunia iblis karena diramal akan membawa keberuntungan. Namun, setelah menikah dengan sang Kaisar, ia menemukan bahwa sembilan pangeran tampan dari berbagai ras juga bersaing untuk mendapatkan hatinya.
Lihat lebih banyakTangannya mengepal erat, kuku-kuku tumpulnya menekan telapak sampai hampir berdarah.
Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tapi karena luka cambuk pada punggungnya terasa membakar.
“Diam! Kau pikir dengan meminta maaf, semua masalah akan beres?! Putriku kehilangan calon suami yang baik karena kelalaianmu! Dasar pembawa sial!” Suara Marla, bibi kandung Arcelia, membelah udara senja yang kelabu. Tidak sedikit pun dia berhenti mencambuki Arcelia.
Semua ini bermula dari siang tadi, saat tamu kehormatan dari keluarga Jefferson, datang untuk membicarakan mengenai perjodohan putra sulung mereka dengan Nora, putri bungsu Marla.
Karena kurangnya pelayan, Arcelia yang menumpang hidup dengan Marla semenjak kematian orang tuanya, dipaksa ikut melayani jamuan hari itu. Namun, saat Arcelia ingin menyajikan hidangan sup, seseorang menyenggolnya dan mengakibatkan sup di tangannya tumpah ke gaun mahal yang dikenakan Nora.
Seketika, Nora langsung meledak dan memaki kebodohan Arcelia.
Yang tidak diduga, masalah tidak berakhir di sana.
Saat jamuan itu bubar, perwakilan keluarga Jefferson menyatakan bahwa perjodohan itu dibatalkan. Dan saat ditanya alasannya, mereka hanya menjawab: “Sepertinya, karakter keluarga Anda dan kami tidak selaras.”
Kemudian, mereka pergi.
Mendengar itu, Nora dan Marla seperti menggila. Mereka menganggap keputusan itu diambil karena kelalaian Arcelia. Tanpa sedikit pun menyadari bahwa yang menjadi masalah adalah karakter Nora yang tidak bisa menjaga sikap.
“Rasakan ini! Rasakan ini! Mati kau!” maki Marla tanpa henti selagi berkali-kali mencambuk Arcelia.
Sementara itu, dua anak Marla, Eden—anak laki-laki Marla yang paling tua—dan Lydra—anak Perempuan Marla yang kedua—berdiri sembari memerhatikan kejadian itu dengan ekspresi malas.
“Sudah selama ini, tapi masih tidak mati-mati. Kuat juga dia,” ucap Lydra.
“Menjijikkan,” komentar Eden dengan mengernyitkan hidung, seakan Arcelia adalah makhluk paling kotor sedunia. “Kenapa tidak bunuh saja dia dibandingkan terus menjadi beban keluarga? Sudah tahu dia terlahir sebagai pembawa sial.”
Arcelia menarik napas pendek. Memang benar, kata ‘pembawa sial’ sudah menempel padanya sejak lahir, dan itu semua disematkan semua orang lantaran dirinya dianggap mengakibatkan kematian dan kesulitan banyak orang.
Ayahnya yang meninggal dalam kecelakaan kerja aneh beberapa hari setelah sang ibu mengabarkan kehamilannya, ibunya yang meninggal dalam proses persalinan yang berdarah-darah, kelumpuhan Paman Liam—suami Marla—setelah menyelamatkannya saat balita dari Sungai, hingga pelayan-pelayan yang mengundurkan diri karena mengaku sering sakit setelah terlalu lama berada di dekatnya.
Mengingat semua hal itu, satu tetes air mata menuruni wajah Arcelia. ‘Ya Dewa, dibandingkan hidup tersiksa seperti ini, lebih baik biarkan saja aku mati ….’
Di saat itu, telinga Arcelia menangkap suara langkah kaki. Dia menengadah dan melihat sosok Nora datang menghampirinya dengan sebuah ember, lalu—
BYURR!
“AHHH!”
Semua orang terkejut, termasuk Marla yang langsung menghentikan cambukannya kepada Arcelia. Dia tidak menyangka putri bungsunya akan datang dan tiba-tiba menyiramkan air garam ke arah Arcelia, menyebabkan gadis itu menjerit kesakitan.
“Rasakan itu, dasar jalang! Makanya, lain kali jangan ceroboh! Karena dirimu, perjodohanku dengan putra tunggal keluarga Jefferson jadi gagal! Cuih!” Nora meludah ke arah Arcelia yang meringkuk.
Merasakan sakit luar biasa, kesadaran Arcelia pun sedikit memudar. Dia berusaha mengerahkan tenaga terakhirnya untuk memohon, “Tolong … tolong aku ….”
Ternyata, jauh di lubuk Arcelia yang terdalam … dia masih ingin hidup.
Namun, semua orang hanya mendengus.
“Akan lebih baik kalau kau cepat mati!” ucap Eden yang sudah tidak lagi tahan dan langsung berbalik untuk pergi meninggalkan tempat itu.
Sementara itu, Nora menoleh kepada pengawal kediaman yang juga datang dengan ember berisi air garam. “Siram langsung! Biar cepat mati! Ha ha ha!”
Bertubi-tubi disiram air garam, Arcelia semakin kehilangan indera perasanya, dan kesadarannya pun mulai menggelap. Telinganya dipenuhi tawa Nora, Marla, dan Lydra yang senang melihatnya menderita.
Dalam hati, Arcelia memohon, ‘Siapa pun … tolong aku ….’
Tepat di saat itu, langit yang tadinya cerah … seketika berubah gelap.
Petir menghantam ke segala arah, angin berhembus kencang mengakibatkan beberapa pohon
di sekitar terangkat akarnya dan mulai tumbang, dan yang paling aneh … dari celah udara yang merekah, api hitam menyala berputar membentuk pusaran bercahaya merah dan ungu gelap.Sebuah portal.
“Apa itu!?” teriak Lydra panik seraya langsung menghampiri sang ibu.
Tepat di saat itu, dari dalam portal, muncul sosok tinggi menjulang dengan siluetnya seperti kabut pekat. Bentuk makhluk itu serupa manusia berwajah menawan sekaligus mengerikan.
Dengan matanya menyala semerah darah dan jubah hitam mengalir seperti asap hidup, pria berkulit pucat itu melihat sekeliling sebelum pandangannya mendarat pada sosok Arcelia yang terkapar tak berdaya.
Ekspresi dingin di wajahnya berubah marah dan dia berseru lantang, “Beraninya kalian memperlakukan Yang Mulia kami seperti ini!?”
Malam di dunia bawah tak lagi kelam. Langitnya tidak sepenuhnya gelap, tapi dihiasi garis-garis cahaya lembut seperti tenunan perak yang ditarik dari bintang-bintang tua. Dan di balkon tertinggi istana, di antara angin hangat dan harum bunga Aetheris yang mekar malam hari, Arcelia berdiri dalam diam.Rambutnya tergerai, jatuh lembut di punggung. Kain tipis tidurnya menari perlahan diterpa angin. Di tangannya, sebuah cangkir teh herbal yang masih mengepulkan uap pelan.Tapi bukan teh itu yang membuat jantungnya tenang. Melainkan langkah kaki yang ia kenali sejak dulu. Langkah yang bahkan dalam kehidupan sebelumnya… telah menggetarkan relung jiwanya.Azrael datang dari belakang. Tak berkata apa-apa. Ia hanya memeluknya dari belakang, seperti biasa.“Kau mencariku, Kaisar?” gumam Arcelia tanpa menoleh.“Aku tidak pernah berhenti.” Suara Azrael serak, namun tenang.“Bahkan ketika waktu membelah kita. Bahkan ketika dunia memaksa kita lupa. Hatiku... tetap mencari napasmu.”Arcelia menu
Hari itu, langit dunia bawah cerah. Tidak seperti biasanya.Bukan karena warna. Tapi karena suasana.Karena tidak semua cahaya berasal dari matahari.Beberapa berasal dari rumah. Dari ruang makan kecil. Dari suara tawa yang muncul tanpa dipaksa.Arcelia sedang memangku Caelion di teras istana. Kain hangat membungkus tubuh kecil itu, sementara Azrael duduk tak jauh, membaca gulungan kuno dengan mata yang tetap awas mengawasi keduanya.Di tengah kebiasaan sederhana itu, dunia terasa lengkap.Namun jauh di balik tawa lembut dan udara manis itu…dunia tak tidur.Dan Arcelia tahu.Ia bisa merasakannya dalam detak hati yang tiba-tiba tak serasi dengan alunan waktu.Dalam mimpi-mimpi aneh yang menyelinap seperti bayangan samar.Dalam keheningan yang terlalu panjang… bahkan untuk dunia bawah.Elder Daemon tidak mati.Mereka hanya berganti bentuk.Bukan menjadi monster.Bukan menjadi kabut berduri atau sosok bermahkota api.Tapi menjadi rasa.Mereka adalah keraguan dalam hati istri yang lelah
Waktu berjalan berbeda di dunia bawah.Di antara rerimbun kristal hitam dan udara hangat yang mengalir dari inti bumi, Arcelia belajar kembali… menjadi ibu.Ia tidak memakai jubah kebesaran hari itu. Tak ada hiasan mahkota atau batu sihir di dahinya. Ia hanya mengenakan kain lembut berwarna kelabu pucat, rambutnya disanggul sederhana, dan di pelukannya, Caelion tertidur dengan napas damai.Azrael memperhatikannya dari balik tirai tipis ruang keluarga yang menghadap ke taman bawah tanah. Ratu yang dulu berdiri di medan perang dengan tatapan membakar kini duduk di atas permadani empuk, membacakan kisah kuno pada anaknya dengan suara seperti aliran sungai kecil.“Dulu ada seorang bayi,” ucap Arcelia pelan, membelai rambut Caelion, “yang lahir bukan dari rahim yang sempurna, tapi dari doa-doa yang terluka…”Azrael tersenyum tipis. Ia tahu cerita itu adalah kisahnya.Bukan hanya tentang Caelion, tapi tentang dirinya, tentang Arcelia, tentang setiap jiwa yang pernah nyaris tenggelam tapi ak
Gerbang sihir di langit dunia bawah terbuka perlahan, disertai desiran angin yang mengusik pilar-pilar batu. Awan hitam yang biasanya bergulung tenang seperti bergetar—menyambut kehadiran seorang yang tak hanya membawa tubuh… tapi juga nyawa-nyawa yang kembali menemukan harapan.Arcelia melangkah melewati celah itu.Langkahnya tenang. Bajunya tak semegah biasanya. Rambutnya sedikit berantakan oleh angin dunia fana. Tapi di matanya… ada cahaya yang tidak bisa dibeli oleh ribuan musim perang.Di tangannya, sebuah bunga liar tergenggam.Bunga yang mekar di tanah yang hancur.Dan ketika ia menuruni tangga altar, Azrael sudah berdiri menunggunya.Tak ada mahkota di kepala Kaisar Iblis itu hari ini. Tak ada jubah hitam panjang.Hanya seorang pria. Seorang suami.Yang merindukan istrinya.Caelion berlari lebih dulu dengan tertawa kecil, tangannya terjulur, mata bayinya yang bersinar menyala lebih terang dari biasanya.“Sayangku…” bisik Arcelia, menekuk lutut, memeluk sang bayi dengan kedua l
Langit di atas istana Eden tampak pucat. Bukan karena fajar—melainkan karena medan energi yang mulai berubah. Ujung-ujung sihir kegelapan mulai goyah oleh gelombang kecil dari dalam: suara-suara hati yang kembali mengenal nurani.Isara berdiri di pelataran belakang istana. Rambutnya dikepang sederhana. Pakaian lusuh sengaja ia kenakan untuk menyatu dengan para pelayan. Tak ada yang tahu bahwa gadis ini pernah duduk di hadapan Ratu Dunia Bawah dan menerima misi cinta.Ia menggenggam kain lap di tangannya. Tapi bukan untuk mencuci, melainkan untuk menutupi luka di telapak tangannya—luka yang muncul setiap kali ia terlalu dalam menyalurkan energi penyembuhan.“Jangan bersinar terlalu terang,” bisik Isara kepada dirinya sendiri, “atau mereka akan mencium niatku.”Di lorong yang gelap dan sunyi, Isara bertemu dengan seorang penjaga tua yang menatapnya sekilas, lalu tersenyum samar.“Kau dari kelompok baru?” tanyanya pelan.Isara mengangguk. “Dari desa barat. Aku datang... karena tak punya
Istana itu tetap megah. Tak ada dinding yang retak. Tak ada pilar yang runtuh.Tapi jiwa Eden—untuk pertama kalinya dalam waktu yang tak bisa ia hitung—mengalami getaran yang tak ia kenali.Ia duduk di atas singgasananya. Tapi hari itu, sorot matanya tidak mengarah ke pelataran… melainkan ke perempuan-perempuan yang berdiri di sisi ruang tahta. Mereka tetap memakai topeng seperti biasa.Tapi bagi Eden… topeng-topeng itu kini terasa mengerikan.Bukan karena bentuknya.Tapi karena ia sadar, ia yang meminta mereka memakainya—agar ia tak perlu menatap mata mereka.Agar ia tak perlu melihat kemanusiaan yang ia buang.Salah satu dari mereka—seorang wanita berambut hitam panjang—tertatih memanggul kendi air. Tangan kirinya gemetar, ada bekas luka lama di pergelangan tangan yang belum sepenuhnya pulih.Eden menatapnya… lama.Dan untuk pertama kali sejak bertahun-tahun, ia tidak melihat “Persembahan.”Ia melihat seseorang.Seorang anak perempuan yang mungkin dulu memiliki nama.Yang mungkin du
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen