Aku menggeliat, tapi genggamannya di pergelangan tanganku menguat. “Diam,” perintahnya lembut tapi dalam. “Kau akan menerima semuanya malam ini. Tanpa membalas. Hanya merasakan.”
Aku terengah. Panas. Lemas. Tapi juga... menyala.
Tubuhku merespons setiap arahannya. Saat ia melepas bajunya, dan aku melihat matanya membara penuh gejolak dan luka, aku tahu—ini bukan sekadar gairah.
Ini pembuktian. Bahwa dia mencintaiku dengan cara yang tak pernah bisa setengah-setengah.
Dia masukiku dengan kekuatan yang membuat punggungku melengkung dan napasku terputus. Aku berteriak namanya, dan dia mencengkeram pinggangku, menarikku lebih dalam, lebih kuat, seolah aku adalah pusat semestanya yang tak boleh goyah.
“Lihat aku,” desisnya tajam, wajahnya hanya beberapa senti dari wajahku. “Jangan tutup mata. Aku ingin kau tahu siapa yang ada di dalam dirimu.”
Aku membuka mata, dan melihat—seluruh dunia yang terkumpul dalam satu tatapan: cemburu, cinta, dendam manis, dan obsesi.
Gerakannya s