Cari
Pustaka
Beranda / Historical / Istri Palsu Grand Duke / 7

7

Penulis: Kuldesak
2025-04-30 20:04:24

"Yang Mulia Count, apa kita akan mengundang menantu kita untuk sarapan bersama pagi ini? Sekadar formalitas penyambutan." Lady Celeste menyesap tehnya dengan anggun.

Count Albrecht Vordane, yang tengah merapikan kerah jubah di depan cermin besar berukir itu menjawab, "Seharusnya demikian, Celeste. Bagaimanapun, dia sekarang sudah menjadi menantu kita. Protokol harus dijaga, terutama karena pernikahan ini adalah titah Kaisar."

"Benar. Kita tidak ingin ada kesan..."

Tok, tok, tok!

Ketukan tergesa di pintu menginterupsi ucapan Celeste. Keduanya menoleh.

"Masuk!" seru Count Albercht.

Krek!

Pintu di buka, seorang pelayan pribadi masuk dengan membungkuk dalam, wajahnya pucat dan tampak gugup.

"Maaf mengganggu, Yang Mulia Count, Yang Mulia Lady. Saya membawa kabar mendesak dari kamar Grand Duchess."

Celeste meletakkan cangkirnya, alis terangkat. "Kabar apa?"

"Yang Mulia Grand Duchess Lavinia... ditemukan pingsan pagi ini... beliau... beliau muntah darah."

Count Albrecht dan Lady Celeste Serempak, kaget. "Apa?!"

Albrecht melangkah mendekat ke pelayan itu. "Muntah darah? Bagaimana bisa?!"

Wajah Lady Celeste tampak tegang. "Ya Dewa... Jika terjadi sesuatu padanya... bagaimana kita menjelaskan pada Kaisar? Dan keluarga d’Argelline... maksudku, keluarga Baron itu?"

Kekhawatiran mereka jelas lebih tertuju pada implikasi politik daripada kondisi sang menantu.

"Kita harus melihatnya sendiri. Celeste, ayo." Albrecht sudah bergerak menuju pintu.

Saat pintu terbuka lebih lebar, sosok Mathilda Vordane sudah berdiri di sana, wajahnya tampak sedih dan cemas, tetap memancarkan ketenangan yang anggun sebagai putri bangsawan.

"Ayahanda, Ibunda," sapa Mathilda lembut sambil membungkuk sedikit. "Saya baru saja dari sana."

"Bagaimana keadaannya? Apa kata Royal Pysician?"

"Kakak Ipar masih belum sadar sepenuhnya saat saya tinggal tadi. Royal Pysician Valerius sedang menanganinya." Mathilda melangkah masuk sedikit, menghalangi jalan Albrecht dan Celeste secara halus. "Ayahanda dan Ibunda tidak perlu repot-repot ke sana sekarang. Suasananya sedang... sedikit tegang."

"Tegang? Apa maksudmu?" Tanya Count Albercht.

Mathilda menatap lantai sesaat, ragu. "Kak Leon sedang menjaga Kakak Ipar di dalam. Beliau ... sangat terpukul dan khawatir." Mathilda mengangkat wajahnya lagi, matanya yang biru menatap kedua orang tuanya dengan polos. "Mungkin... alangkah baiknya kita biarkan Kak Leon lebih perhatian pada istrinya? Memberi mereka ruang? Ini mungkin bisa jadi awal yang baik untuk hubungan mereka."

Albrecht dan Celeste saling pandang. Saran Mathilda terdengar sangat masuk akal dan bijaksana. Lagipula, mereka tidak terlalu ingin terlibat langsung dalam 'drama' menantu baru itu jika tidak perlu.

Albrecht menghembuskan napas lega. "Kau benar, Mathilda. Mungkin lebih baik begitu. Beri kabar jika ada perkembangan signifikan."

Mathilda tersenyum tipis. "Tentu, Ayahanda."

___

Leonhard duduk kaku di kursi mewah dekat ranjang berkanopi empat tiang, matanya tak lepas dari sosok Lyra yang masih terbaring lemah dengan mata terpejam.

Royal Pysician Valerius sudah pergi setelah memberikan ramuan penenang dan instruksi perawatan. Mathilda juga sudah pamit beberapa saat lalu dengan alasan memberi ruang bagi Leonhard dan 'istrinya'.

Sendirian. Leonhard mendengus dalam hati. Ia benci situasi ini. Ia benci wanita di ranjang itu. Ia benci bagaimana kehadirannya saja sudah menimbulkan kekacauan.

"Menahan lapar hingga lambungnya terluka parah... mungkin mencoba bunuh diri." Diagnosis Pysician terus terngiang.

'Omong kosong!' sungut Leonhard getir. 'Wanita licik ini pasti punya rencana lain.

Pura-pura bunuh diri? Untuk apa? Menarik perhatianku? Simpati? Atau membuat Vordane terlihat buruk di mata Kaisar? Dasar ular!' Ia mengepalkan tangannya.

"Errgmm..!"

Tiba-tiba, Lyra bergerak pelan di atas ranjang. Kelopak matanya bergetar. Erangan lirih lolos dari bibirnya yang pucat.

Lyra mulai mengigau, suara serak dan penuh ketakutan. "Jangan... jangan siksa ibuku... Tolong... aku janji... aku akan patuh..." Air mata mengalir dari sudut mata Lyra yang masih terpejam.

Leonhard mengerutkan dahi mendengar racauan itu. Ibu? Patuh? Omong kosong apa lagi ini?

Leonard berdiri dari kursinya, melangkah mendekat ke sisi ranjang.

Di sana, ada peluh dingin membasahi dahi Lyra.

Sudut bibir Leonhard menyungging sinis. 'Trik murahan. Berani-beraninya dia bicara soal siksaan sementara rumor mengatakan jika Putri Lavinia hidup berfoya-foya dengan uang entah darimana di wilayahnya yang katanya terpencil itu? Sandiwara menjijikkan.'

Perlahan, kelopak mata Lyra terbuka. Pandangannya kabur sesaat, lalu ia melihat siluet tinggi Leonhard berdiri menjulang di samping ranjangnya.

Rasa sakit di perut Lyra kembali terasa saat ia mencoba bergerak sedikit. "Aaahh ...." Ia mengerang pelan.

Tanpa menunggu Lyra pulih benar, suara Leonhard langsung menghantam. "Sudah selesai sandiwaramu?"

Lyra tersentak, menatap Leonhard dengan mata sayu penuh keterkejutan.

"Lady Lavinia..." Leonard sengaja menggunakan nama itu dengan nada mengejek. "... Grand Duchess dari Vordane, tak makan seharian karena ingin bunuh diri?" Mata pria dingin itu menyipit kejam. "Apa kau ingin membuat rumor jika Vordane tak mampu memberikanmu makan? Atau..." Ia membungkuk tubuh sedikit. "... kau merasa sakit hati karena apa yang terjadi di ranjang ini semalam, putus asa, lalu ingin bunuh diri?"

Leonhard menegakkan tubuh lagi, tatapannya penuh cemoohan. "Mengapa tidak mati saja sekalian, hah? Menyusahkan! Jika memang ingin bunuh diri, lain kali usahakan langsung berhasil. Jangan tanggung!"

Ucapan menohok dan brutal itu menghantam Lyra lebih keras dari rasa sakit di tubuhnya. Ia teringat jelas sekarang. Pagi tadi, setelah pelayan dari Mathilda pergi, ia merasa sangat haus. Ia mengambil cawan emas berisi air putih yang sudah tersedia di meja samping ranjang sejak semalam—air yang dibawa pelayan lain—dan meminumnya beberapa teguk sebelum ia bersiap mandi.

Dan tak lama setelah itu, rasa sakit luar biasa seperti ribuan silet menyayat perutnya, lalu Lyra muntah darah, dan semuanya menjadi gelap.

Itu bukan masalah lapar. Itu karena air minum! Tapi siapa...?

Mendapati Leonhard menuduhnya dengan begitu kejam berdasarkan diagnosis yang salah... sesuatu di dalam diri Lyra yang sudah hancur terasa patah.

Keputusasaan membuat Lyra nekat. Toh, ia sudah dijadikan tumbal. Apa lagi yang perlu ditakutkan?

Lyra menatap Leonhard dengan mata yang kini berkilat dingin meski tubuhnya lemah. "Bunuh diri?" Ia tertawa lirih, tawa tanpa humor yang membuat Leonhard mengerutkan kening. "Mengapa saya harus repot-repot bunuh diri, Yang Mulia?"

"Untuk mati di tempat menyedihkan ini? Di tangan pria yang bahkan tidak bisa mengendalikan dirinya sendiri di malam pertama pernikahannya? Memalukan!" Lyra menambahkan.

Rahang Leonhard mengeras seketika mendengar sindiran tajam itu.

"Anda benar. Saya ini menjijikan dan menyusahkan." Senyum tipis yang lebih mirip seringai terbit di bibir wanita berparas anggun itu. "Tapi setidaknya, wanita menjijikan ini yang membuat tombak daging yang Mulia Grand Duke ereksi sampai hilang kendali, bukan?"

Sebelum Lyra sempat menarik napas lagi, tangan besar Leonhard bergerak secepat kilat, mencengkeram kedua pipi Lyra dengan kasar, memaksa wajah Lyra menatap lurus ke mata Leonhard yang kini berkilat berbahaya seperti badai hitam.

"Aaakhh..."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Bab Terkunci
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi