Masuk"Ya Dewa! Kakak ipar muntah darah?" seru Mathilda, menutup mulutnya dengan tangan.
Leonhard mengepalkan kedua tangannya di sisi tubuh, rahang itu mengeras. 'Muntah darah?' Pikiran Leonhard penuh curiga. Baru sehari wanita itu tiba di sini, haruskah ada drama semacam ini? Akal-akalan apa lagi ini? Leonard teringat saat meninggalkan kamar itu dini hari tadi; wanita itu tampak lemah karena kejadian semalam, tapi tidak terlihat sakit parah. Bagaimana bisa tiba-tiba? Leonhard menatap tajam ke arah pelayan. "Apa kau yakin?!" tanya Leonhard dingin, menuntut kepastian. Pelayan itu mengangguk. "Ya, Yang Mulia Grand Duke. Saya melihat sendiri... Grand Duchess tampak sangat kesakitan sambil memegangi perutnya. Saya mencoba menenangkan beliau ... tapi ... tapi beliau tiba-tiba muntah darah ... dan langsung pingsan," jawab pelayan itu terbata-bata. Mathilda dengan lembut merangkul lengan Leonhard, wajahnya yang cantik tampak pucat nun gelisah. "Kak Leon..." panggil Mathilda lirih, "Dia istrimu. Ayo, kita lihat keadaan Kakak Ipar. Jika dibiarkan, kondisinya bisa gawat. Tadi waktu aku menemuinya untuk mengantar sarapan, wajah Lady Lavinia memang terlihat sangat pucat." Leonard mematung. Jika laporan ini benar, situasinya lebih serius. Semisal ini sandiwara, Leonhard tidak akan berbelas kasihan pada istrinya. Tanpa berkata-kata lagi, Leonhard mengambil langkah panjang menuju ke kamar Grand Duchess, langkahnya cepat. Mathilda bergegas menyamai langkah Leonhard, satu tangannya masih memegang lengan kakaknya itu. Brak! Leonhard mendorong pintu kamar tidur mewah itu hingga terbuka lebar tanpa peringatan. Pemandangan di dalam seketika menghentikan langkah mereka berdua di ambang pintu. Di sana, di atas ranjang besar berkanopi, Lyra tergeletak tak sadarkan diri. Gaun tidur putih gading yang Lyra kenakan kini ternoda bercak merah gelap di bagian depan. "Ya Tuhan! Kakak Ipar!" Mathilda menjerit pelan, segera berlari menghampiri Lyra. "Lady Lavinia! Bangun! Apa yang terjadi?" Mathilda menepuk pipi Lyra pelan, tangannya gemetar. "Kak Leon, dia dingin sekali!" serunya pada Leonhard, matanya membelalak panik. Leonhard melangkah masuk, tatapan birunya sedingin es menyapu ruangan, berhenti pada noda darah di gaun Lyra dan sedikit di seprai. 'Sudah dibersihkan?' pikir Leonhard marah. Leonard melihat beberapa pelayan berdiri gemetar di sudut ruangan sambil menunduk. "Apakah kalian sudah membersihkan muntahan Grand Duchess?" Seorang pelayan wanita yang lebih tua melangkah maju dengan gemetar. "Ma-maafkan saya, Yang Mulia Grand Duke. Sa-saya yang membersihkannya..." Leonhard menoleh cepat, tatapannya membunuh. "Kenapa?" "Saya ... saya panik melihat Yang Mulia Grand Duchess tergeletak ... dan ada darah ... Saya hanya berpikir untuk ... untuk membuat kamar terlihat rapi sebelum..." Sebelum pelayan itu selesai bicara, Leonhard sudah mencabut pedang dari pinggangnya. SRAASSH! Dalam satu tebasan brutal tanpa ampun, kepala pelayan tua itu terpisah dari tubuhnya, jatuh ke atas karpet mewah. Darah segar menyembur, menambah warna merah di ruangan itu. Para pelayan lain memekik tertahan, beberapa menutup mulut ngeri, tak ada yang berani menjerit keras. Mereka telah melakukan kesalahan fatal. Leonhard menyarungkan kembali pedangnya yang berlumuran darah dengan santai, ia seperti baru saja menepis lalat. Pandangan Leonhard menatap tajam para pelayan yang tersisa. "Jangan pernah sekali-kali menghilangkan barang bukti apapun sebelum aku tiba dan memeriksanya sendiri. Mengerti?!" ucap Leonhard tegas. "Me-mengerti, Yang Mulia!" jawab para pelayan serempak, suara mereka bergetar hebat. Mathilda memberanikan diri menoleh pada Leonhard. "Kak Leon, jangan menyalahkan mereka sepenuhnya. Mereka mungkin hanya takut. Lebih baik kita panggil Royal Physician sekarang. Keadaan Kakak Ipar bisa semakin buruk." Mathilda menunjuk pada Lyra yang masih tak sadarkan diri. Leonhard melirik adiknya, lalu pada Lyra. Ada benarnya. Kemarahannya pada pelayan bodoh itu tidak akan membantu wanita ini sekarang. Leonhard membuang pandangannya pada penjaga yang muncul di pintu karena keributan. "Panggil Royal Physician Valerius! Suruh dia segera ke sini!" Lalu, Leonhard kembali menatap para pelayan yang tersisa, "Bersihkan darah dan mayat ini. Segera!" ___ Di sudut kastil yang lain, Darren Vordane tersenyum puas sambil menjatuhkan beberapa koin perak ke telapak tangan seorang pelayan yang tampak gugup. "Kerjamu bagus semalam. Anggur itu sampai ke gelasnya tanpa masalah?" Pelayan wanita itu menunduk, menyembunyikan koin. "Y-ya, Yang Mulia. Saya mencampurkan... bubuk itu... tepat sebelum menyajikannya pada Yang Mulia Grand Duke saat makan malam." "Bagus." Senyum Darren melebar. Bubuk 'Akar Gairah' itu—afrodisiak kuat yang ia dapatkan dari pedagang pasar gelap—seharusnya cukup untuk membuat Leonhard kehilangan kontrol dan 'menyelesaikan' pernikahannya malam itu juga. "Ingat, jangan katakan pada siapapun tentang ini. Jika sampai bocor..." Mata Darren menyipit mengancam. "... lidahmu akan menjadi santapan gagak di menara benteng." Pelayan itu gemetar. "Sa-saya mengerti, Yang Mulia. Saya bersumpah." Pelayan itu membungkuk dalam-dalam lalu cepat-cepat pergi. Daren terkekeh saat sendirian. Ia menyesap anggurnya sendiri. 'Selesaikan pernikahanmu, Leonhard.' batinnya licik, senyum licik terpampang di wajah tampan Darre. ____ Royal Physician Valerius—pria paruh baya dengan jenggot tipis terawat rapi, tatapan mata yang tenang telah selesai memeriksa Lyra. Leonhard dan Mathilda menunggu hasilnya dengan ekspresi berbeda. Leonhard tampak dingin dan tidak sabar, sementara Mathilda terlihat sangat cemas. Physician Valerius berdiri tegak, menghadap Leonhard. "Yang Mulia Grand Duke, kondisi Grand Duchess memang serius, tapi sepertinya bukan karena racun." Leonhard mengangkat alis. "Lalu apa?" "Pemeriksaan saya menunjukkan tanda-tanda iritasi parah pada lapisan lambung... pendarahan kecil terjadi. Beliau juga sangat lemah karena kekurangan nutrisi akut." Physician Valerius menghela napas. "... Lambung yang kosong dalam waktu lama, jika kemudian terisi oleh sesuatu yang sangat asam—bahkan mungkin hanya asam lambung dari muntah itu sendiri—dapat memicu reaksi sehebat ini pada orang yang sudah sangat lemah." "Jadi ... ini bukan racun?" tanya Mathilda. Physician Valerius mengalihkan pandangannya ke arah Mathilda. "Saya tidak menemukan tanda racun umum, Lady Mathilda. Namun, penyebab utama pendarahan ini tampaknya adalah kondisi lambung yang kosong." Sang ahli medis pada zamannya itu menatap Leonhard dengan serius. "Yang Mulia, pelayan mengatakan beliau tidak makan sama sekali sejak tiba. Menolak sarapan. Kondisi seperti ini ... seringkali terjadi pada kasus ... seseorang yang dengan sengaja menahan lapar dalam waktu lama." "Maksudmu dia mencoba bunuh diri?" Physician Valerius menunduk sedikit. "Saya tidak bisa memastikannya, Yang Mulia. Tapi menahan lapar hingga kondisi separah ini ... adalah salah satu cara yang terkadang dipilih orang untuk ... mengakhiri penderitaan mereka."Empat Tahun Kemudian...Waktu adalah hakim yang paling adil. Ia tidak memihak pada raja ataupun pengemis; ia hanya terus berjalan, mengubur luka lama dan menumbuhkan benih baru. Empat tahun telah berlalu sejak jatuhnya Kaisar Edmure dan berdirinya Kerajaan Singa Utara yang baru. Dunia telah berubah, dan bagi mereka yang pernah terlibat dalam perebutan kekuasaan itu, takdir telah memberikan tempatnya masing-masing.Di pulau karang terpencil di tengah samudra yang ganas, sebuah "peradaban" kecil telah terbentuk. Bukan peradaban emas, melainkan peradaban batok kelapa.Di tengah pasir putih, berdiri sebuah gubuk miring yang menyedihkan. Dindingnya terbuat dari batang pohon kelapa yang diikat asal-asalan dengan akar gantung, dan atapnya dari daun-daun kering yang bocor di sana-sini. Di atas pintu masuk yang sempit, tergantung sebuah papan kayu hanyut bertuliskan arang "Mansion d'Argelline".Thalor mengenakan celana pendek dari karung goni bekas, sedang memukul-mukul kerang dengan batu.
Malam itu, setelah Lyra dan putri kecil mereka, Leona, tertidur lelap, Leonhard tidak bisa memejamkan mata. Hatinya terlalu penuh. Ia pergi ke ruang kerjanya yang diterangi lilin, mengambil pena bulu dan perkamen terbaik. Leonhard harus membagi kebahagiaan ini kepada satu-satunya keluarga yang tersisa di masa lalunya.Leonhard menulis dengan tangan yang mantap namun hati yang lembut.Surat untuk Darren:Kepada Saudaraku, Darren,Di tengah dinginnya salju Utara, kehangatan baru telah lahir. Malam ini, aku menjadi seorang Ayah. Putriku, Leona Valeska Vordane, telah hadir ke dunia dengan mata biru yang mengingatkanku pada Ibu, dan semangat yang kuharap setangguh dirimu di masa-masa terbaikmu.Saat aku menatap wajahnya, aku teringat masa kecil kita. Sebelum ambisi meracuni darah kita, sebelum dinding istana memisahkan kita. Aku menulis ini bukan sebagai Raja kepada pengasingan, tetapi sebagai adik kepada kakaknya.Darah Vordane terus mengalir, Darren. Dan aku berharap, di mana pun kau be
Malam itu, angin utara mengamuk di luar dinding batu Istana Singa Utara. Badai salju terburuk di musim itu menghantam jendela-jendela tinggi, menghasilkan suara siulan yang menakutkan. Di dalam kamar utama yang hangat oleh perapian raksasa, Lyra sedang duduk di kursi goyang, mencoba menyulam baju bayi kecil—kegiatan yang disarankan Tabib untuk menenangkan pikiran. Namun, jarum di tangan Lyra tiba-tiba berhenti.Sebuah rasa sakit yang tajam dan meremas menjalar dari punggung bawah ke perutnya. Bukan tendangan bayi biasa. Ini berbeda. Ini... mendesak."Ahhh..." desis Lyra, menjatuhkan sulamannya.Leonhard, yang sedang duduk di seberang ruangan membaca laporan perbatasan atau berpura-pura membaca sambil diam-diam memperhatikan istrinya, langsung melempar kertas-kertas itu ke udara."Lyra?! Ada apa? Apa itu? Apa kau tertusuk jarum? Apa ada pembunuh? Katakan padaku!" Leonhard elompat dari kursi, hampir tersandung karpet.Lyra mencengkeram lengan kursi, napasnya tertahan. "Leon... kurasa.
Dua bulan telah berlalu sejak kedatangan mereka di Istana Singa Utara. Perut Lyra kini telah membesar dengan megah, menandakan usia kandungan tujuh bulan.Sang Ratu, yang biasanya gesit, kini berjalan dengan gaya yang ia sebut anggun, namun Leonhard sebut bebek yang membawa telur di pantatnya. Pagi itu, udara musim semi mulai menghangatkan dataran salju, meski lapisan es masih menyelimuti taman istana. Rutinitas pagi telah ditetapkan oleh Tabib: jalan santai selama tiga puluh menit untuk melancarkan peredaran darah.Bagi Leonhard, ini bukan sekadar jalan pagi. Ini adalah operasi militer pengawalan tingkat tinggi.Leonhard berjalan di samping Lyra, matanya memindai setiap inci jalan setapak yang sudah dibersihkan dari salju. Tangannya melingkar di pinggang Lyra, siap menopang jika istrinya itu bahkan hanya berpikir untuk terpeleset."Hati-hati, ada kerikil di sana. Angkat kakimu sedikit lebih tinggi, Sayang.""Huuff!" Lyra mendesah panjang, memutar bola matanya. "Leon, itu kerikil seu
Angin utara berhembus, membawa butiran salju halus yang berkilauan seperti debu berlian di bawah sinar matahari sore yang pucat. Rombongan kereta kerajaan akhirnya melambat saat roda-rodanya menyentuh jalanan batu granit yang telah dibersihkan dari es.Di depan mereka, menjulang Istana Singa Utara. Berbeda dengan kemegahan emas Ibukota yang mencolok, istana ini memiliki keanggunan yang buas dan dingin. Menara-menaranya yang runcing terbuat dari batu hitam pekat, kontras dengan hamparan putih abadi di sekelilingnya.Namun, dari setiap jendela kaca yang tinggi, memancar cahaya oranye hangat dari perapian yang tak pernah padam, seolah jantung istana itu berdegup dengan api yang hidup.Kereta utama berhenti tepat di pelataran dalam yang tertutup atap kaca tinggi, melindungi mereka dari hujan salju.Pintu kereta dibuka oleh pengawal berzirah tebal berbulu serigala. Leonhard turun lebih dulu, sepatu botnya berdentum mantap di lantai batu. Ia berbalik, mengulurkan kedua tangannya ke arah Lyr
Perjalanan ke Utara adalah sebuah ekspedisi besar, bukan hanya perjalanan darat. Konvoi kerajaan yang mereka bawa tidak kurang dari dua puluh kereta, termasuk pengawal pribadi Leonhard, keluarga inti Theo, Vania, Geon, Grace, dan anak-anak, serta rombongan penting yang Lyra bawa dari Ibukota: tiga orang tabib spesialis kandungan, dua orang koki pribadi yang ahli dalam nutrisi, dan puluhan pelayan yang loyal. Perjalanan itu akan memakan waktu kurang dari seminggu berkat rute yang telah disiapkan sebelumnya, tetapi Lyra sedang hamil besar, memasuki trimester ketiga, dan setiap guncangan kecil terasa seperti goncangan besar bagi Leonhard. Kereta Leonhard dan Lyra adalah mahakarya teknik Utara. Interiornya dihiasi bulu binatang mewah dan kayu gelap, dilengkapi perapian kecil dan tempat tidur yang dilapisi peredam kejut hidrolik canggih yang meredam benturan. Namun, kemewahan ini tidak bisa sepenuhnya meredakan kecemasan Leonhard. Lyra berbaring di tempat tidur, perutnya yang membesar