MasukLyra Valeska, seorang anak haram dari keluarga bangsawan kelas bawah, terpaksa menyamar menjadi Putri Lavinia sesuai titah Kaisar demi menyelamatkan sang ibu, Tapi siapa sangka... itu semua justru mengantarkan Lyra pada pelukan Grand Duke Leonhard Vordane--Sang Iblis Perang dan pria yang bahkan Kaisar sendiri enggan hadapi..... Lantas, bagaimana nasib Lyra? Terlebih bila Grand Duke mengetahui identitas aslinya?
Lihat lebih banyak"Ibu... aku tidak mau." Suara Lyra Valeska d’Argelline bergetar, nyaris tenggelam oleh suara gemeretak rantai saat ia berlutut di depan sel. "Aku tidak ingin menikah dengan Grand Duke Vordane. Jika aku menerima tawaran Lady Ilmae ... bagaimana dengan Ibu di sini?"
Di hadapan Lyra, terkurung dalam sel sempit, duduk sosok wanita ringkih yang pernah menjadi Lady Serephina Elore d’Argelline. Dulu ia pernah menjadi wanita tercantik dan terpandai di lingkaran dalam bangsawan, kini yang terlihat hanya wanita kurus dengan tulang terbungkus kulit. Gaun penjara Serephina lusuh, rambut yang dulu seindah malam kini kusam dan acak-acakan, wajah wanita itu pucat dan tirus. Pergelangan tangannya memerah lecet karena belenggu besi kasar yang menahannya ke dinding – hukuman kejam atas tuduhan palsu perselingkuhan dan pengkhianatan. Serephina mengangkat kepala perlahan, matanya yang dulu bersinar kini redup penuh luka. "Lyra... Anakku." Suara Serephina serak sebab jarang digunakan. "Justru karena Ibu di sini... kau harus menerima tawaran tersebut dan pergi dari sini." Lyra menggeleng kasar, bibirnya bergetar. "Tidak! Aku tidak akan meninggalkan Ibu sendirian untuk disiksa oleh mereka!" Air mata panas mulai mengalir di pipi Lyra. Lyra tahu siapa 'mereka' – ibu tirinya, Lady Ilmae, dan putri kesayangannya yang angkuh, Putri Lavinia. Serephina menatap putrinya sendu, ia ingin Lyra pergi dari sini. Mungkin saja, ada kebahagiaan yang akan putrinya dapatkan daripada putrinya harus berakhir seperti dirinya. "Ini kesempatanmu, Lyra. Satu-satunya kesempatan. Kaisar Edmure sudah mengeluarkan titah absolut. Lavinia yang seharusnya menikah dengan Leonhard Vordane. Jika kau menggantikannya..." "Itu penipuan! Jika ketahuan, kepalaku yang akan menjadi taruhan! Mereka sengaja menjebakku, Bu!" Lyra memotong. "Lebih baik mati mencoba bebas daripada mati perlahan di sini seperti Ibu, atau hidup selamanya sebagai aib dan pelayan di rumah ayahmu sendiri!" sergah Serephina, tatapan matanya yang redup, kini menajam. "Dengar, Nak. Gunakan kesempatan ini. Pernikahan ini... kunci...." "Kunci apa yang kau maksud, wanita penzina?!" Suara dingin dan penuh racun memecah keheningan lembap. Lady Ilmae d’Argelline berdiri di mulut lorong, dagunya terangkat angkuh, diapit oleh beberapa pengawal dan Putri Lavinia yang menyeringai kejam. Jubah beludru mereka tampak berbanding terbalik dengan kotoran penjara. Lady Ilmae melangkah mendekat, kipas di tangan mengibas dengan jumawa. "Masih sempat meracuni pikiran anak harammu ini rupanya? Cepat, Lyra! Jangan buang waktu! Kau pikir Grand Duke Vordane mau menunggu pengantin penggantinya yang bau kotoran?" Putri Lavinia memutar matanya dengan jijik. "Lihat dirimu, Lyra. Menyedihkan. Menangis untuk wanita yang sudah mencoreng nama baik keluarga kita. Seharusnya kau berterima kasih padaku. Aku memberimu kesempatan merasakan menjadi Grand Duchess sebelum kau membusuk bersama ibumu." Gigi Lyra bergemelutuk, ia menghapus air matanya di pipi dengan kasar. "Aku lebih baik membusuk daripada harus terjebak dalam permainan kalian!" Sepasang mata Lady Ilmae menyalak mendengar Lyra berbicara lantang. "Berani sekali kau meninggikan suaramu!" Lady Ilmae maju dan mencengkeram lengan Lyra kasar. "Akhh!" Lyra meringis merasakan cengkeraman tangan Lady Ilmae pada lengannya. "Dengar, kau tidak punya pilihan! Sekarang ikut kami! Ibumu akan baik-baik saja... selama kau menuruti perintah," sungut Lady Ilmae. Ancaman terselubung itu membuat darah Lyra mendidih. "Pergilah, Nak. Jangan pikirkan Ibu ... ini demi kebaikanmu...," ucap Serephina lirih. Lyra mencoba meronta. Bagaimana bisa dia meninggalkan satu-satunya orang yang tulus menyayanginya, membiarkan ibunya terkurung sendirian di neraka lembab ini? "Tidak! Lepaskan aku!" Cengkeraman Ilmae semakin kuat, kuku-kukunya menusuk kulit lengan Lyra. "Diam kau, anak sialan! Seret dia, Lavinia!" Lavinia mencebik kesal. "Tikus ini merepotkan sekali! Bisakah kau menurut saja dan jangan membangkang? Kau seharusnya bersyukur menggantikanku. Tikus menjijikkan sepertimu sebentar lagi akan menggunakan gaun pengantin terbaik yang dikirim langsung oleh kaisar! Bukankah itu suatu kehormatan bagi wanita sampah sepertimu, Lyra?" hina Putri Lavinia, ia ikut menarik lengan Lyra yang lain. Lyra diseret paksa menjauh dari sel ibunya. "Persetan dengan gaun! Aku hanya ingin menemani ibuku!" Lyra menoleh ke belakang dengan putus asa. "Ibu, berjanjilah! Kau harus tetap kuat sampai aku datang menjemputmu!" ucap Lyra. Serephina menatap kepergian putrinya dengan sendu. "Nak, Ibu percaya padamu!" Itu adalah kata-kata terakhir yang Lyra dengar sebelum pintu besi berat di ujung lorong tertutup. * * Lyra berdiri kaku seperti patung kayu saat para pelayan memakaikan korset yang menyakitkan dan gaun pengantin bertabur berlian yang terasa asing di kulitnya. Lavinia mengamati Lyra dengan pandangan mencemooh. "Lihat korset itu, Ibu. Bahkan itu tidak bisa menyembunyikan postur pelayannya. Grand Duke pasti langsung tahu dia ini adalah barang palsu." Lady Ilmae memasang wajah acuh. "Setidaknya wajahnya lumayan. Dandani dia dengan benar, bodoh!" bentak Lady Ilmae pada pelayan yang tangannya gemetar. "Pakaikan perhiasan imitasi ini. Jangan sampai ada yang curiga jika pengantin wanitanya ini hanya wanita pengganti." Lyra menatap dua wanita itu di dalam pantulan cermin dengan wajah tanpa ekspresi, tatapan Lyra tajam. "Apakah dengan menghinaku membuat Anda merasa lebih baik tentang diri Anda sendiri, Lady Ilmae? Atau mungkin... menutupi ketakutan Anda jika rencana ini gagal?" sindir Lyra tajam. Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Lyra. Bukan dari Lady Ilmae, tapi Lavinia. "Jaga mulutmu, anak sialan! Kau pikir siapa dirimu? Kau hanya alat. Sekali pakai dan akan langsung dibuang!" Pipi Lyra terasa panas, ia menolak untuk menangis, Lyra menatap lurus ke mata Lavinia. "Alat bisa berbalik menusuk tuannya, Putri." "Kau ...." Sebelum Lavinia bisa membalas, pintu terbuka. Bangsawan rendah Thalor d’Argelline masuk. Ayah Lyra. Pria yang seharusnya melindungi Lyra, kini menatap Lyra dengan ekspresi jijik yang sama seperti Ilmae. Lyra yang melihat kehadiran ayahnya, naluri sebagai anak pun muncul. "Ayah... tolong. Hentikan ini. Ini salah. Ini akan menghancurkan kita semua jika Kaisar tahu..." "Jangan panggil aku Ayah," potong Thalor. Kedua pupil mata Lyra bergetar mendengar pernyataan dari sang ayah. Seharusnya, naluri bodoh dalam diri Lyra tak hadir. Padahal, dia tahu sendiri bagaimana ayahnya membencinya. Mata Thalor menyapu Lyra dari atas ke bawah. "Kau adalah bukti hidup sebuah aib keluarga ini. Hasil perselingkuhan ibumu yang tak tahu malu. Jangan berpikir sedetik pun aku menganggapmu darah dagingku." Harapan terakhir Lyra hancur berkeping-keping. Rasa sakitnya lebih perih dari tamparan Lavinia. "Satu-satunya tugasmu sekarang adalah menggantikan Lavinia tanpa membuat kesalahan. Pergi ke kerajaan Vordane, menikahlah dengan anak kedua dari Count Albrecht, dan jangan pernah kembali. Jangan permalukan nama d’Argelline lebih jauh dari yang sudah dilakukan ibumu." Thalor berbalik, tak sanggup menatap Lyra lebih lama. "Cepat selesaikan. Kereta sudah menunggu!" perintah Thalor sebelum berlalu tanpa menoleh lagi. Lady Ilmae tersenyum penuh kemenangan. Lavinia terkekeh sinis. "Kau dengar itu? Bahkan ayahmu sendiri muak padamu. Sekarang, selesaikan riasanmu. Kau harus terlihat seperti pengantin, bukan seperti mayat hidup." Lyra menatap pantulan dirinya di cermin, perkataan ayahnya sudah membuat Lyra semakin yakin dengan ucapan ibunya. 'Mencoba atau kau akan mati di sini dengan sia-sia.' Para pelayan selesai memakaikan veil pengantin tebal. Lady Ilmae mendorong tubuh Lyra kasar menuju pintu. "Sana, jalan! Ingat apa yang harus kau lakukan!" cetus Lady Ilmae. Putri Lavinia mencondongkan wajahnya di belakang telinga Lyra. "Ingat ini baik-baik, jika kau gagal... jika Leonhard Vordane menolakmu atau Kaisar mengetahui penipuan ini..." Senyum kejam Lavinia terpatri di bibirnya. "... bukan hanya kau yang akan digantung di alun-alun. Tapi aku pribadi akan memastikan ibumu di penjara itu merasakan neraka di bumi setiap hari sampai akhir hayatnya." Lady Ilmae tersenyum tipis. "Dan jangan lupa, kau harus menemukan bukti sesuai perintah Kaisar Edmure," Lady Ilmae menambahkan.Di kapel kecil yang di barat Istana kekaisaran, Lady Seraphina berlutut di depan altar. Hanya cahaya lilin yang menyinari wajahnya yang tegang.Setelah menyaksikan kematian Edmure yang mengerikan, Seraphina memutuskan untuk menenangkan diri di dalam kapel untuk mengirimkan doa kepada para leluhur dan yang gugur. "Ya, Dewa yang Maha Melihat," bisik Seraphina, tangan terkatup erat. "Lindungi mereka yang tersisa. Terima jiwa-jiwa yang telah pergi, baik yang jatuh dengan terhormat maupun yang tersesat." Napas wanita tertahan sejenak."Dengarkanlah permohonanku. Bimbing Leonhard dan Lyra. Berikan mereka kebijaksanaan, bukan hanya kekuatan. Dan untukku..." Suara Seraphina semakin lirih, hampir seperti desahan. "Berikan aku kejelasan. Di tengah semua darah dan pengorbanan ini, tunjukkan padaku jalan yang benar. Apakah yang kulakukan untuk Istana ini sudah cukup? Atau justru... sudah terlalu jauh?"Air mata diam-diam mengalir di pipinya, menghilang di lipatan jubahnya yang hitam. Di ruang ya
Malam setelah pemakaman Lady Celeste terasa panjang, sebuah perbandingan antara kesyahduan yang baru ditemukan dan pesta kemenangan yang mengguncang Istana. Saat Lyra dan Leonhard mencari kedamaian di kamar pribadi mereka, sisa-sisa pasukan Koalisi menikmati euforia akhir perang di Ruang Jamuan Bawah.Di kamar Lyra dan Leonhard, perapian memancarkan kehangatan jingga yang memecah dinginnya malam. Tirai tebal telah ditarik, menghalangi pandangan ke Ibukota yang kini berada di bawah kendali sementara.Leonhard, setelah mencuci wajahnya yang sembab karena air mata, berdiri di depan jendela sesaat, sebelum akhirnya Lyra memanggilnya kembali ke tempat tidur.Leonhard, kini hanya mengenakan celana tidur linen, menjatuhkan diri di kasur, menarik selimut beludru hingga dagu. Sang suami itu menatap Lyra yang sedang menyisir rambut hitamnya. "Datanglah ke sini, My Queen. Tubuhku terasa sangat dingin, duka hari ini seakan-akan telah menyerap semua kehangatan dari tulangku."Lyra tersenyum lemb
Dua hari setelah deklarasi politik Lyra yang mengguncang, hari pemakaman Lady Celeste sudah tiba. Lyra, mengenakan gaun beludru hitam sederhana, berdiri tegak di samping Leonhard.sedangkan Suaminya mengenakan pakaian formal—bukan jubah Duke atau Raja, tetapi setelan formal mourning tanpa lambang kekuasaan Vordane—namun di balik kain mahal, ia hanyalah seorang putra yang hancur.Pemakaman ini adalah acara kenegaraan yang dikelola oleh Dewan Pemerintahan Sementara Solenzia atas perintah Lyra. Sebagai pernyataan politik dan pengakuan terakhir atas kehormatan Lady Celeste.Katedral di istana kekaisaran masih berdiri kokoh. Dan saat ini, katedral itu dipenuhi karangan bunga snowdrop dan lily putih, melambangkan martabat yang direbut dan kini dikembalikan. Rakyat berkumpul di pelataran Katedral, memberikan penghormatan terakhir pada Celeste, wanita terhormat yang tewas sebagai martir."Malang sekali nasib mantan Duchess kerajaan Vordane, ia mati karena racun, kan? Benar-benar keji!” ucap
Pagi yang dingin memanggil tugas terakhir mereka di Istana Kekaisaran. Lyra telah menyelesaikan detail kecil dan memastikan semua urusan logistik untuk pemakaman Lady Celeste lusa. Kini, yang tersisa hanyalah langkah formal dan politik yang akan membebaskan mereka sepenuhnya: pengunduran diri Leonhard dan deklarasi Kekaisaran Lyra.Leonhard, mengenakan jubah kerajaan Vordane yang resmi dan gelap, tampak tegang. Lyra menemukan suaminya itu di ruang ganti.Lyra berjalan mendekat dan merapikan kerah jubah Leonhard—pakaian Duke Vordane terakhir yang ia kenakan.“Kau terlihat tegang, Leonhard,” Lyra mencoba menenangkan.Leonhard menarik tangan istrinya itu perlahan. "Aku harus menghadapi para bangsawan yang sama yang diam-diam mendukung Ayah, yang sama-sama tersenyum saat Ibu diracun. Ini terasa seperti aku berada di dalam peti mati, Lyra.""Kalau begitu, lepaskan jubah ini setelah selesai upacara. Kau tidak akan pernah memakainya lagi," Lyra membalas, meraih wajah Leonhard dengan kedua t
Malam yang panjang dan brutal akhirnya menyerahkan diri pada fajar yang dingin. Keheningan di sayap barat Istana kekaisaran yang masih berdiri kokoh terasa tebal, dipenuhi bau mesiu, hujan, dan darah kering. Lyra, meskipun matanya merah karena kurang tidur, telah berganti pakaian dan mengambil alih kendali. Dengan langkahnya yang tenang, ia menjadi jangkar yang kokoh. Para Jenderal yang tersisa—termasuk Jenderal Abraham dan beberapa komandan setia Vordane—menunggu instruksinya, memandang Lyra sebagai satu-satunya otoritas yang tidak terhuyung.Sementara Lyra sibuk mengurus keadilan, Leonhard tenggelam dalam kehancuran batin. Lyra menemukannya di balkon pribadinya, membeku seperti patung, menatap kabut pagi yang menyelimuti kota yang hancur. Kematian ibunya, pengkhianatan ayahnya, dan keputusan fatal kakaknya telah merobek jiwanya.Lyra berjalan perlahan dan berdiri di samping Leonhard. "Leonhard," panggil Lyra pelan."Aku gagal," bisik Leonhard tanpa menoleh. Suaranya serak, penuh k
Jedar!Tembakan meriam terakhir masih bergema di telinga Leonhard saat ia berdiri di atas puing-puing sayap timur istana. Hujan mulai turun, membasahi wajahnya yang dipenuhi debu dan darah yang bukan miliknya.Di hadapannya, Count Albrecht tersungkur, tangan kanannya hancur, tapi mata tua itu masih membara dengan kebencian yang jelas tak pernah padam."Sudah cukup, Ayah," suara Leonhard berat, terdengar parau di antara deru angin dan rintik hujan. "Istana telah jatuh. Pengawalmu telah menyerah. Ini sudah berakhir."Albrecht tertawa terbahak, meski darah mengalir dari sudut mulutnya. "Kau pikir ini tentang istana? Tentang tahta? Kau masih terlalu naif, Leonhard."Leonhard mengangkat pedangnya, mata birunya membeku seperti es di musim dingin. "Aku memberi kesempatan terakhir. Menyerahlah dengan hormat.""Hormat?" Albrecht mendesis. "Kau bicara tentang hormat padahal kau berdiri di sana dengan pengkhianat di sampingmu? Wanita rendahan yang kau jadikan istri?"Dari bayangan di belakang pi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen